Share

Harus Ikut

Setelah mendapat panggilan mendadak dari David yang memaksaku untuk datang ke kantornya, aku tidak punya pilihan lain, selain mengikuti kemauan pria itu. Aku menghampiri Nyonya Arinda dan mengatakan David menyuruhku ke kantornya karena ada urusan penting, aku meminta izin padanya untuk pergi meski seharusnya aku masih di sini sampai acara benar-benar selesai.

"Ma, boleh ya? David sudah menungguku." Pintaku saat dia seolah keberatan aku akan pergi.

"Lagi pula David ada-ada saja, baru menikah kemarin hari ini sudah bekerja, padahal pagawainya banyak, tinggal suruh saja mereka menyelesaikan semua urusan kantor. Huh, ya sudah kamu boleh pergi, hati-hati ya, sayang!" Akhirnya Nyonya Arinda mengizinkan meski sempat menggerutu.

Aku mengamit tangannya dan menciumnya, lalu berbalik hendak pergi namun dia menghentikanku, "Sebentar, Bella!"

"Ya, Ma?" Aku kembali menghadapnya.

"Mungkin David mau memperkenalkan kamu kepada para petinggi perusahaan, sebaiknya kamu pulang dan ganti pakaian dulu, yang kamu pakai sekarang kurang cocok jika untuk acara kantor." Ujarnya yang aku angguki dan aku balas senyuman.

Setelah itu aku bergegas pergi ke kator David di antar Mang Ujo karena pria itu hanya memberi waktu dua puluh menit.

"Nyonya, nanti habis mengantarkan Nyonya ke kantor Den David, saya langsung pergi ke Bogor ada barang yang harus diambil, ini perintah langsung dari Den David. Nanti Nyonya pulangnya bagaimana?" Tanya Mang Ujo.

"Hem..." Aku berpikir sebentar.

Apa David sengaja memerintahkan sopirnya ke Bogor agar nanti tidak ada yang mengantarku pulang? Tapi tidak masalah, kendaraan umum banyak, aku tidak akan kesulitan.

"Gampang Mang, saya bisa pesan ojek mobil online," Kataku tanpa beban.

"Oh oke kalau begitu."

Aku memutuskan untuk langsung ke kantor David dan tidak menuruti saran Nyonya Arinda agar aku ganti baju terlebih dahulu. Menurutku pakaian yang kini melekat di tubuhku, sudah bagus dan sopan, lagi pula pulang dan berganti pakaian akan memakan waktu cukup lama, David pasti akan marah jika aku telat.

Kami berhenti tepat di depan kantor perusahaan David, gedung pencakar langit yang sangat elit dan berkelas, aku sangat takjub melihatnya.

Pria itu memang sangat kaya, tidak heran kalau dia sombong. Dengan uang, aset, dan kekuasaan yang David miliki, dia pasti merasa seolah dunia ada dalam genggamannya.

"Permisi, maaf, saya ingin bertanya ruangan Pak David Mario di mana, ya?" Tanyaku pada seorang staf yang kebetulan lewat di depanku.

"Di lantai tiga puluh, ruangan yang ada plat emasnya, nanti ada tulisannya, kok!" Jawab staf itu padaku.

"Baik, terimakasih Pak!" Aku tersenyum ramah lalu bergegas menuju lift untuk ke lantai tiga puluh.

Sesampainya di depan ruangan David aku dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang keluar dari ruangan itu. Rambutnya panjang bergelombang ditata rapi, pakaian khas kantoran membuatnya terlihat anggun, dia terkesan sexy dengan rok mini dan kaki jenjangnya yang terekspos, walau sesama wanita aku kagum melihatnya.

"Kamu, Bella ya? Istrinya David?" Tiba-tiba dia bertanya.

"I--iya!" Jawabku sedikit terbata, ada secercah rasa insecure saat melihatnya, aku jadi minder karena wanita itu sangat cantik.

"Aku Karina, sahabat sekaligus sekretarisnya David, kamu sudah ditunggu tuh di dalam."

Aku hanya mengangguk, dia tersenyum lalu pergi meninggalkan semerbak aroma parfumnya yang begitu feminim. Aku masuk ke ruangan David dengan jantung yang berdebar tak menentu seolah akan melompat dari tempatnya.

Ruangan David dingin dan beraroma maskulin, warna hitam dan emas mendominasi seisi ruangan itu, lagi-lagi aku terperangah sebab baru pertama kali aku melihat ruangan kerja sebagus ini.

Pria itu duduk di kursi kebanggaannya, kakinya berselonjor di atas meja, dia sedang sibuk menghisap rokoknya. Saat dia mengeluarkan asap dari mulutnya, mata pria itu yang berwarna abu-abu menatapku.

"Lama sekali!" Katanya ketus.

"Maaf..." Lirihku.

"Kemarilah, kamu terlalu jauh!"

Aku mendekat dan berdiri di depan mejanya.

"Masalah apa yang kamu buat hari ini?" Pria itu bertanya dengan mata yang tertunduk, namun aura yang terpancar dari dirinya berubah menyeramkan, tubuhku menegang, aku tidak tahu apa kesalahanku. Dan masalah? Aku merasa tidak membuat masalah apapun. 

Mungkin... Aku membuat kesalahan saat menjawab pertanyaan teman-teman dan kerabat Nyonya Arinda, tapi apakah itu menjadi masalah? Bahkan Nyonya Arinda sendiri tidak menegur atau memarahiku.

David menyingkirkan kakinya dari atas meja, tubuhnya lebih condong untuk memperhatikan wajahku dan menuntut jawaban, aku sendiri kebingungan harus berkata apa.

"Jawab!" Bentak David.

Tubuhku tersentak, dia membuatku terkejut, aku tidak selemah itu tapi aura, ekspresi, dan cara bicara David mampu mengintimidasi sampai aku ketakutan.

"A--aku... Aku tidak melakukan kesalahan apapun hari ini, semuanya berjalan lancar." Jawabku akhirnya, aku yakin David dapat dengan jelas mendengar suaraku yang bergetar.

Pria itu berdiri, dia mengambil ponselnya dari saku jas, aku semakin menegang, detik berikutnya dia melempar ponselnya ke meja hingga sebuah foto terpampang jelas di depanku.

Itu adalah foto saat aku berbicara dengan James, bagaimana bisa dia mendapatkannya? Apakah Mang Ujo yang mengambil foto itu dan mengirimkannya pada David? Astaga, aku sudah berpesan padanya untuk tidak mengatakan kejadian tadi pada David tapi dia malah melaporkannya.

"Kenapa? Terkejut?" Tanya David seraya berjalan ke arahku.

"Jangan salahkan Mang Ujo, dia bekerja padaku, yang dia patuhi adalah perintahku karena aku yang memberinya gaji, bukan kamu!" Pria itu menekankan ucapannya dengan tegas agar aku sadar bahwa aku tidak memiliki hak atau pengaruh apapun.

"Aku bisa menjelaskannya David." Aku berusaha tenang dan menormalkan ritme jantungku.

"Ya, tentu saja hanya kamu yang bisa memberi penjelasan. Silakan, lima menit dari sekarang!"

Aku gelagapan tidak tahu harus mulai dari mana, kenapa juga David memberi waktu sesingkat itu, aku jadi semakin panik padahal ini bukan masalah besar.

"Dia James, mantan pacarku. Di-dia... Dia mencegatku dan membicarakan hubungan kami yang dia anggap belum selesai, tapi semua itu tidak ada artinya untukku." Pelan-pelan aku menjelaskan maksud foto itu pada David.

"Aku sudah memperingatinya agar tidak menggangguku lagi, sudah tidak ada hubungan apa-apa di antara kami." lanjutku.

"Oh, mantan pacar rupanya. Kamu bilang pada Ibuku kamu tidak punya pacar, sekarang punya. Aneh!" David mengerutkan dahinya lalu mengeluarkan asap rokok dari mulutnya, sontak itu membuat aku batuk-batuk.

Aku menarik napas dalam-dalam, asap rokok itu membuat dadaku sesak. "Memang tidak punya pacar, aku dan James sudah mengakhiri hubungan sejak dia ketahuan tidur dengan sahabatku!" Terpaksa aku membeberkan alasanku putus dengan James, itu informasi yang amat tidak penting, pasti David akan menertawakanku dan mengatakan bahwa aku memang gadis yang pantas ditinggalkan karena semua kekurangan yang ada pada diriku.

Tapi, pria itu diam saja entah apa yang dia pikirkan, aku rasa dia sedang mempertimbangkan sesuatu.

"David, menurutku ini bukan masalah, bukankah pernikahan kita hanya formalitas? Jadi aku pikir soal aku dan James tidak perlu dibahas, aku juga tidak masalah jika kamu punya kekasih."

"Kamu mengaturku?" Tanya pria itu dengan delikan mata yang tajam membuat aku susah payah menelan saliva.

"Bukan begitu, aku hanya tidak mau terlalu banyak konflik dalam hubungan kita, jangan sampai aku atau kamu stress, itu bisa menghambat untuk memiliki keturunan!"

"Kamu mengajariku?" Tanyanya lagi.

"Ck, astaga... Ya sudah terserah kamu saja, jika mau marah silakan, aku akan mendengarkan suaramu yang keras dan penuh emosi itu dengan senang hati!" Aku kesal, bicara dengannya sangat rumit.

Melihat sofa empuk yang seakan-akan memanggilku untuk duduk di atasnya, aku tidak bisa menahan diri, aku berjalan menuju sofa itu dan duduk nyaman di sana.

"Siapa yang menyuruhmu duduk?" Pria itu menatapku tidak suka.

"Tidak ada, aku sendiri yang ingin duduk." Jawabku cuek.

"Berdiri! Kita belum selesai bicara!"

"Tidak mau! Ini ... anu ... masih sakit, aku tidak kuat berdiri lama-lama."

Aku malu sekali jika harus mengatakannya terang-terangan. Aku harap David mengerti apa yang aku maksud, lagi pula yang aku rasakan sekarang adalah akibat dari ulahnya.

"Anu?" David mengangkat sebelah alisnya tidak mengerti.

"Iya, anu ... Gara-gara semalam!"

"Oh itu" David tersenyum berseri-seri, aku sampai terkejut melihat reaksinya, apa maksud dari senyuman itu? Apa dia menganggap semalam adalah momen yang indah? Berbanding terbalik denganku yang tiap kali teringat kejadian semalam aku jadi malu dan salah tingkah sendiri, masih tidak percaya kalau aku sudah melakukannya dan itupun bersama pria arogan yang menyebalkan.

"Sayaaaaannggggg!!!"

Terdengar panggilan dari seorang wanita, suaranya melengking membuat telingaku berdegung, selang beberapa detik sesosok wanita yang tidak terlalu cantik muncul di tengah-tengah aku dan David. Aku tebak, wanita yang tidak cantik itu adalah Shela, kekasih David.

Ya, dia tidak cantik, hanya dandanannya saja yang tebal. Apakah David dalam keadaan sadar saat menjadikan wanita itu sebagai kekasihnya? 

Matanya yang memakai lensa kontak berwarna biru membulat lebar ketika melihatku kemudian dia menghampiri David dan mengalungkan tangannya dengan manja pada leher pria itu.

"Baru beberapa jam berpisah aku sudah rindu padamu, bisa kita makan siang bersama, sayang?" Tanyanya, suara Shela yang sengaja dibuat menggemaskan itu membuat aku merinding. 

David menatapku sekilas, aku tidak tahu apa arti dari tatapannya itu. Aku tidak terganggu dengan kehadiran Shela lantaran secara tidak langsung dia menyelamatkanku dari kemarahan David.

Kalau begini, David pasti mengusirku pulang agar tidak mengganggu kebersamannya dengan Shela.

Bagus sekali!

"Baiklah, kita akan makan siang bersama dan Bella juga akan ikut dengan kita." Ujar David seraya menyeringai kearahku. Tidak mungkin, ini bukan hal yang bagus, pasti dia mau mengerjaiku, entah kenapa aku tidak bisa berpikir positif tentang ajakannya.

"Apa? Dia ikut? Tidak boleh! Dia bisa merusak keromantisan kita sayang, kita berdua saja yang makan siang bersama, suruh dia pulang!" Shela merengek dengan suaranya yang cempreng. Delikannya padaku mengisyaratkan rasa jijik, tapi aku santai saja dan memilih mengabaikannya, sebab statusku adalah istri David, yang artinya lebih terhormat darinya.

"Dia benar David, lebih baik aku tidak ikut selain akan merusak keromantisan kalian, aku juga tidak terbiasa makan di restoran mewah, aku tidak mau cara makanku yang kampungan mempermalukanmu," Aku merendah agar lolos dari makan siang yang tidak akan membuatku kenyang, yang ada aku akan muntah melihat dua sejoli itu bermesraan.

"Tidak, kamu harus ikut!" David menarik pergelangan tanganku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status