Share

Cegatan Di Jalan

Dering ponsel membuyarkan lamunanku, benda persegi panjang yang tergeletak di bawah sofa berbunyi dan menampilkan panggilan dari Nyonya Arinda, Ibu mertuaku.

"Astaga, bagaimana ponselku bisa ada di sini?" Aku berjongkok dan mengambil benda itu, tidak sengaja aku melihat sebuah kertas. Ya, hanya sebuah kertas tapi entah kenapa aku sangat tertarik mengambilnya. Tapi, karena ponselku terus berdering aku memilih menerima panggilan telepon dari Nyonya Arinda terlebih dahulu.

"Halo, Ma?" Sapaku.

"Halo, sayang. Kamu sudah bangun? Mama kira masih tidur, maaf ganggu, ya?" Nada bicaranya yang sangat ramah membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.

"Eh tidak apa-apa, Ma. Tidak ganggu sama sekali."

"Bagaimana semalam? Lancar? Kamu sama David ... Bikin cucu buat Mama, kan?"

Mataku melotot, pertanyaan Nyonya Arinda sukses membuatku tersipu, padahal jarak kami jauh. Aku tertawa cengengesan pelan, malu jika harus menjawab pertanyaan itu.

"Bella?" Tegur Nyonya Arinda karena aku diam sesaat.

"I-iya Ma, semuanya berjalan dengan lancar," Jawabku gugup.

"Bagaimana persiapan acara hari ini?" Aku segera mengalihkan topik pembicaraan.

"Bagus! Mama senang dengarnya, kalau bisa kalian bulan madu saja keluar negeri, supaya begitu pulang kamu sudah hamil!" Ujarnya, ternyata caraku tidak berhasil, Nyonya Arinda hanya mengatakan apa yang ingin dia bahas. Memang terkesan sangat buru-buru, dia menuntut aku untuk segera hamil padahal menikah saja baru kemarin, tapi aku mengerti posisinya, mungkin karena banyak orang yang membicarakan kekurangan David dia tidak tahan dan ingin membuktikannya, tidak ada orang tua yang rela anaknya diremehkan, Nyonya Arinda sangat ingin membungkam mulut-mulut jahat yang mencemooh putranya.

"Iya Ma, aku dan suamiku akan berusaha." Hanya kalimat itu yang dapat aku ucapkan untuk meresponsnya.

"Ya sudah sayang, nanti kita bicarakan lagi, kamu pasti akan datang ke sini, bukan? Mama ingin memperkenalkan kamu pada kerabat dan teman-teman Mama."

"Iya Ma, aku akan datang!"

Sepanjang berbincang di telepon, aku hanya memberikan jawaban kepatuhan, lalu ada seseorang yang memanggil nyonya Arinda yang membuat percakapan kami terhenti, sebelum sambungan ditutup Nyonya Arinda menyuruhku untuk berkata bahwa aku adalah anak seorang pengusaha, jika ada yang bertanya mengenai keluargaku. Lagi-lagi aku hanya menurut, mungkin dia malu jika orang-orang tahu siapa aku dan latar belakangku.

"Hasil pemeriksaan?" Aku membaca untaian kata di kertas yang ada dalam genggamanku. Itu adalah tes hasil pemeriksaan milik David, inti informasi yang dapat aku pahami adalah, David sulit memiliki keturunan, kemungkinanya hanya 9%, nyaris mustahil dan itu semua disebabkan oleh kecelakaannya di masa lalu.

"Ada riwayat kecelakaan, kenapa tanggalnya sama persis seperti tanggal saat aku dan keluargaku juga kecelakaan?" Tanyaku pada diri sendiri, ini aneh atau memang kebetulan? Beberapa tahun yang lalu, aku sekeluarga pernah kecelakaan, Kakak laki-lakiku meninggal sedangkan aku dan orangtuaku selamat. Kecelakaan itu terjadi karena Kakakku belum mahir menyetir namun dia bersikeras mengajak kami jalan-jalan.

Apa mungkin ini semua ada kaitannya? Aku harus memastikannya pada orang tuaku!.

Aku amankan hasil tes pemeriksaan itu ke dalam tas selempangku, kemudian aku bersiap-siap untuk pergi ke rumah keluarga Kalingga.

Setelah siap, aku turun ke lantai dasar dan berjalan menuju dapur, berharap ada sesuatu yang bisa aku makan, sebenarnya aku bisa memasak sarapan sendiri tapi waktunya sudah mepet, belum lagi aku harus menghadapi kemacetan di jalan yang pastinya memakan waktu yang tidak sebentar.

Aku membuka kulkas dan mengambil sekotak susu siap minum dan roti isi cokelat. Setelahnya aku bergegas dan meminta sopir mengantarkanku ke rumah keluarga Kalingga.

"Mang, sudah berapa lama bekerja pada David?" Tanyaku pada Mang Ujo, sopir yang David sediakan untukku, di sela-sela menunggu jalanan senggang, hari ini macetnya cukup parah karena akhir pekan.

"Sudah lama Nyonya, sekitar delapan tahun, waktu Den David masih kuliah." Sahutnya, aku menganggukan kepala. Sekarang usia David dua puluh delapan tahun, artinya Mang Ujo sudah bekerja sebagai sopirnya sejak David berusia dua puluh tahun.

"Sebelumnya, tugas Mang Ujo antar jemput mantan istrinya David, ya?" Tanyaku lagi.

"Tidak Nyonya, saya hanya antar jemput Den David kalau diperlukan, selebihnya mengangkut barang-batang atas perintah Den David. Kalau Nyonya Ajeng tidak mau pakai sopir, dia menyetir sendiri," Jelas Mang Ujo padaku.

"Nyonya masih muda ya? Kelihatannya seperti anak remaja!" Ujar pria paruh baya itu yang membuat aku senang, aku lebih suka disebut seperti anak kecil, karena itu artinya aku awet muda.

"Yang benar Mang? Dari mananya terlihat seperti remaja?" Tanyaku penasaran seolah haus pujian.

"Wajahnya masih lugu, make upnya tipis, bajunya berwarna cerah, pokoknya seperti remaja, beda dengan dandanan perempuan yang sudah dewasa."

"Hehe, iya Mang, saya memang masih termasuk remaja, sekarang usia saya masih sembilan belas, bulan depan dua puluh tahun!" Sahutku, usiaku memang masih terlalu muda untuk sebuah pernikahan, apalagi jika harus bersanding dengan iblis kejam seperti David, seharusnya aku masih bersenang-senang, belajar, dan mengejar mimpi.

"Wah, kalau begitu seumuran dengan anak saya Nya, dia juga perempuan masih kuliah,"

"Saya juga kuliah Mang, niatnya mau fokus pendidikan dan karir dulu, tapi malah disuruh menikah."

"Ya, namanya juga jodoh Nya, tidak bisa ditunda atau dipercepat kalau sudah waktunya pasti bertemu dan bersatu, sudah takdir ditambah menikahnya dengan Den David, masa depan dan hidup Nyonya pasti terjamin."

Aku tersenyum miris mendengarnya, mungkin secara finansial memang terjamin, tapi kebahagiaanku tidak.

Aku teringat soal kecelakaan itu, aku ingin memastikan apakah tragedi itu berkaitan dengan keluargaku atau tidak, mungkin sopir yang sudah lama bekerja pada David tahu sesuatu, aku sedikit memiringkan kepala dan bertanya, "Mang, tahu soal kecelakaan yang pernah menimpa David beberapa tahun yang lalu?"

Mang Ujo kelihatan gugup, aku bisa melihat wajahnya lewat cermin kecil di dashboard bagian atas. "Tahu Nya, tapi waktu itu saya sedang pulang kampung karena Ibu saya meninggal, saya dapat kabar dari Riko, sopirnya Non Amel, katanya Den David kecelakaan parah terus dirawat di rumah sakit luar negeri." Ungkapnya, Mang Ujo tampaknya jujur, dia tidak berusaha menyembunyikan apapun, lagipula siapa yang tega menjadikan kematian orang tua sebagai alasan untuk berbohong.

"Jadi, Mang Ujo tidak tahu detailnya ya? Kalau korbannya?"

"Tidak tahu Nya, kalau kabar yang saya dapat tidak ada korban atau pelaku. Den David sedang buru-buru dan pihak sana juga ada kecerobohan."

Penjelasan dari Mang Ujo membuat aku semakin curiga, bisa saja kecelakaan itu melibatkan David dan aku sekeluarga.

Lama berpikir, aku hanyut dalam berbagai skenario yang kubuat sendiri di dalam kepala, mencoba mengingat-ingat kejadian empat tahun lalu, ketika aku dan keluargaku kecelakaan. Menatap keluar jendela, aku tersadar bahwa kami sudah lolos dari kemacetan dan memasuki area pondok indah, perumahan elit dengan bangunan mewah di setiap sisi, sukses membuat atensiku teralihkan. Sayang sekali jika aku melewatkan pemandangan ini, meski rumah yang aku tempati bersama David  tidak kalah mewah dan megah.

"Suatu hari, aku ingin memiliki rumah besar yang nyaman hasil dari keringatku sendiri dan aku ingin mengajak orang tuaku tinggal bersama" Anganku dalam hati.

Tiba-tiba Mang Ujo berhenti mendadak, seorang pria pengendara motor menghalangi jalan, lebih tepatnya dia mencegat mobilku. Pria itu melepas helmnya dan turun dari motor, dia berjalan ke arah jendela mobil.

Tokk tokk tokk

Dia mengetuk kaca jendela hingga Mang Ujo membukanya.

"Ada apa, Mas?" Mang Ujo tampak heran.

"Di mana Bella?" Pria itu memasukkan kepalanya dan mengedarkan pandangan pada seisi mobil. Saat menemukanku matanya menajam, aku yang terkejut hanya bisa memalingkan wajah.

"Bella, turun kamu! Kita harus bicara!"

Astaga, kenapa dia harus melakukan ini? Jantungku berdebar, aku tidak siap jika harus berhadapan dengannya apalagi bicara berdua, aku menggelengkan kepala menandakan jika aku menolak untuk bicara dengannya.

"Kita harus bicara Bella, kamu tidak bisa seperti ini!" Dia terlihat semakin kesal.

"Mang, tutup jendelanya, lanjut jalan!" Titahku pada Mang Ujo dengan tergesa-gesa.

"Kenapa Nya? Memangnya dia siapa?" Mang Ujo menoleh ke arahku dan menatap penuh tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status