Mika menatapku penuh emosi. Seenggaknya aku melihat ia salah tingkah. Tapi tak lama, napasnya berembus kasar. “Skip! Balik ke Vina,” katanya malas. Selalu saja begitu, dia mengalihkan pembicaraan jika pembahasan sudah merujuk pada kisah cintanya yang abu-abu.“Orangnya baik gak Vin? Gak kasar?” tanyaku. “Baik. Aku pernah beberapa kali ngobrol dengannya,” jawab Vina.“Seharusnya kalau lu udah tau gimana-gimananya dia, lu bukan butuh mau apa gaknya lagi sama dia, tapi lu butuh yakinin diri untuk sama dia. Ikutin kata hati lu aja maunya gimana,” ujar Mika.“Ya deh. Aku harus salat istikharah.”Seketika itu Mika memukul pahaku. “Nah. Harusnya lu kemarin juga salat istikharah, Sha.” “Jangankan salat istikharah. Gue napas aja belum sempat udah keburu nikah aja.”Mika tertawa terbahak-bahak seakan memang senang banget temannya berada di situasi yang bikin jumpalitan. “Menari-nari di atas penderit
“Asha, hubungan kamu dengan Pak Ezar ada perkembangan?” tanya Vina berbisik saat antrian di kasir sedang senggang. Aku menoleh sebentar ke arah Vina. Lalu, kembali memandang layar komputer di hadapanku. “Belum ada yang bisa gue katakan,” jawabku menghela napas berat. “Gak coba ngobrol dari hati ke hati? Minimal ngasih tau perasaan kamu ke Pak Ezar.”Tanpa menjawab, aku menghempaskan bokong ke kursi dengan kasar.“Gue juga gak tau perasaan gue. Gak yakin kalau ada cinta.”“Hah, gimana?” Vina memicingkan matanya ingin mendengar jawaban yang mungkin lebih panjang dan jelas. Sayangnya, aku hanya membalas dengan gelengan. Rasanya, saat ini tak bisa banyak bicara. “Eh, eh.” Vina memukul pelan lenganku beberapa kali. “Pak Ezar sama Manda.”Aku menoleh ke arah pintu masuk di mana Pak Ezar dan Manda berjalan beriringan memasuki toko. Melihatnya bersama, seperti ada tangan tak kasat mata yang sengaja meremas-remas jantung dengan begitu kerasnya. Menyangkut Manda, dia bisa punya banyak wak
Pak Ezar diam seribu bahasa seakan memang tak berminat untuk menjawab. Padahal, aku hanya ingin tahu keputusan apa yang akan diambil di situasi sekarang ini? “Mbak Manda kayaknya sayang banget sama Bapak. Saya jadi merasa bersalah,” ucapku saat Pak Ezar tak kunjung berbicara. “Sebaiknya saya balik ngekos aja, Pak. Nanti Mbak Manda makin marah.” Aku menunduk sembari meneguk ludah susah payah. Sebenarnya berat kalau harus aku yang mengalah. Perjuanganku sudah sejauh ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dari awal kan kami menikah karena dijodohkan. Apalagi, seorang Asha punya 3 prinsip dalam menjalin hubungan; pertama, tidak menyakiti perempuan lain. Kedua, tidak menjadi orang ketiga. Dan ketiga, tidak mengemis perhatian. Poin-poin itu akan kuingat sampai kapan pun. “Saya ke kamar dulu, Pak,” pamitku langsung berlalu. "Tunggu!” Langkahku terhenti mendengar suara Pak Ezar. A
Aku meringis pelan menahan sakit dan perih yang bergumul menjadi satu di dalam sana.Sakit perut seperti ini memang paling kutakutkan karena nyaris membuat pingsan ketika sudah datang. Sialnya, karena sampai sekarang aku tak bisa mengenali kapan ia datang? Sebab kupikir ketika akan datang bulan, tapi tidak melulu sakit seheboh ini juga. “Sha, kamu kenapa?” tanya Vina cemas.Dia berusaha menyentuh wajah, lengan, hingga kaki yang kurasakan sudah dingin. “Perutku sakit,” lirihku menarik napas. Nada suara Vina terdengar panik. “Habis makan kebanyakan daging kamu?” Baik Vina ataupun Mika memang sudah tahu kalau perutku bukan perut Omnivora. Bahkan bisa dibilang sensitif perihal daging. Tapi, bukan berarti tak suka daging. Aku tetap makan, tapi harus sedikit. Sedikit pun masih mungkin membuat perutku kesetanan. “Mana ada gue makan daging.” “Haid?”“Belum juga, tapi emang mungkin mau.”“Nah itu, nyeri haid pasti,” cicit Vina. “Aku punya balsem, mau diolesi gak perutnya?”“Kok lu kayak
Paling tidak, saat ini aku merasakan kesenangan luar biasa bisa berdekatan dengan Pak Ezar. Ditelisik dari semenjak awal menikah, sepertinya kami tak pernah sedekat ini tanpa ada insiden terjatuh gara-gara kecoak. Bukan juga karena menyamar jadi pasangan bahagia di depan keluarga. Ini murni, tapi waktunya di saat aku tak berdaya. Kalau sakit bisa membuatku sedekat ini dengan suami sendiri, bagusnya sakit terus saja. Biar diberi perhatian lebih. ‘Ah, tolol! Cuma lu Asha yang pengen sakit terus.’“Soal Manda kemarin, saya minta maaf, ya. Saya sudah bilang kalau kamu sibuk, tap—”“Gak apa-apa, Pak. Sudah terjadi juga,” ucapku memotong kalimatnya. “Mbak Manda sering nginap di sini ya, Pak?” tanyaku. “Sebelumnya tidak pernah. Baru tadi malam dia berani nginap di sini. Itu pun karena ada kamu juga.”Aku membulatkan mulut membentuk O. Setidaknya, aku merasa senang kalau hubungan mereka nyatanya belum terlalu jauh.
“Oh, ini ... bukan apa-apa. Hanya proposal usaha teman saya,” jawab Pak Ezar. Aku berusaha mencari kejujuran lewat ekspresinya, tapi yang kulihat adalah semburat keraguan di wajahnya.Apakah ada sesuatu yang ditutupi Pak Ezar dariku? “Oh,” lirihku pura-pura percaya.Paling tidak, aku juga sedikit tahu bentuk proposal itu seperti apa? Dan yang dibikin Pak Ezar bentuknya lain, tidak seperti proposal pada umumnya. Apa temannya Pak Ezar punya format khusus saat bikin proposal?Tampak aneh, tapi aku tak akan mendesaknya untuk memberitahuku kebenarannya. Aku sadar posisiku di mana. Aku tak sepenting itu untuk tahu segala hal tentangnya. “Kamu kenapa bangun? Emang perutmu sudah mendingan?” tanya Pak Ezar sembari menutup sedikit laptopnya. Lalu, menatapku sebentar. Aku menyangga kepala di punggung sofa, lalu meliriknya sekilas. “Haus tadi, Pak.”“Hmm. Oh, ya ... skripsimu sudah sampai m
Dada ini mendadak sesak melihat kedekatan suami dan perempuan muda yang entah datang dari belahan dunia mana?Aku meneguk ludah berkali-kali dengan tatapan yang tak lepas mengamati dua insan yang tengah tertawa-tawa bahagia. Apa Pak Ezar tak memikirkan perasaanku? Istrinya ada di sini, tapi mengapa ia menganggap seperti tak ada. Baru saja tadi malam ia melambungkan harapanku, nyatanya kembali dihempaskan ke dasar bumi. Ah, salahnya juga karena aku terlalu mudah melambungkan harapan setinggi-tingginya pada orang seperti Pak Ezar. Ini belum masuk kategori cemburu, kan? “Sha, lu gak kenal cewek itu siapa?” tanya Mika yang kubalas dengan gelengan. “Labrak gak, nih?” tanya Vina. Setidaknya, aku bisa melihat kilat kekesalan pada kedua bola matanya.“Pliss, jangan cari keributan di sini,” kekeh Mika. “Nah, iya. Nanti kita dipecat Bu Aina karena bikin kegaduhan di acarnya. Gak lucu!” timpalku.
“Tau gak kak? Dia pernah nyuap pihaknya stasiun TV, cuma biar dia yang isi itu salah satu acara di sana.”“Uwah! Mantep mainnya!” “Mantep apaan kek gitu, Kak?”“Mantep stresnya tuh orang.” Aku terkekeh pelan. “Kamu kok bisa tau semua tentang dia? Personilnya lambe turah ya?”“Ya kan sempat trending waktu itu, Kak.”Sungguh, tak bisa dipungkiri jika muka polos dengan segala kelembutannya juga terdapat duri-duri yang menancap sempurna di tubuhnya. Aku sampai tertipu dengan wajah cantik dan polosnya Manda selama ini. Ternyata, hatinya tak begitu mencerminkan kecantikan luarnya. Padahal, aku sempat mengaguminya. Batal, ah! Segala pujian yang sempat terlontar lebih baik kutarik lagi. Ah, intinya sudah lost respect! Tapi, yang masih jadi pertanyaan adalah mengapa Pak Ezar masih menjalin hubungan dengan Manda hingga saat ini? Bukankah Manda sudah menyakitinya? Lalu? Apa lagi