Malam kini semakin larut. Entah kenapa, perasaan Cecil mendadak tidak tenang. Seperti ada dorongan keras yang menuntunnya untuk pergi ke rumah sakit, Cecil pun menuruti kata hatinya. Dengan gelisah, Cecil meminta agar Devan segera mengantarnya ke rumah sakit."Mas Devan," panggil Cecil lirih.Devan yang fokus menyetir, sekilas menoleh pada gadis itu. Atensinya beralih, kala melihat perubahan raut di wajah Cecil."Ada apa?" tanyanya dingin.Tanpa beralih pandangan, Cecil berujar, "Malam ini aku mau ke rumah sakit, saja. Tolong antar ke sana."Devan mengangkat bahunya, ia terlihat acuh tak acuh. "Terserah kamu saja."Dalam perjalanan, tiba-tiba seekor kucing berwarna hitam legam disertai warna mata yang menyala melintas begitu saja. Cecil berteriak kala mobil Devan hampir menabraknya."Awas!!!" teriak Cecil panik.Refleks, kaki Devan bergerak menginjak rem. Suara decitan mobil sampai terdengar cukup keras.Cecil memegang jantungnya yang bertalu, ia bernapas lega saat kucing berhasil lew
Cecil memandang Devan dengan tatapan kosongnya. Gadis itu merasa, tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi dalam hidupnya. Ia merasa sangat percuma menerima kontrak nikah itu, sebab jantungnya sudah berhenti berdetak setelah kepergian ibunya. "Mas, gak ada yang perlu dilanjutkan lagi. Gak ada yang bisa kamu harapkan lagi dari aku. Cecil yang kamu kenal udah mati! Sekarang, anggap saja jika yang ada di hadapanmu saat ini hanyalah raga yang kehilangan jiwanya."Setetes bulir bening mengalir dari sudut matanya. Cecil kembali terisak kala mengingat nasibnya yang hanya sebatang kara."Kamu bicara apa?! Omongan kamu ngelantur! Sudah, kamu istirahat dulu sana, biar ucapanmu gak ngelantur! Pokoknya, gak ada satu pun orang yang berhak batalin pernikahan ini, termasuk kamu!" Devan mengacungkan telunjuknya tepat di wajah murung milik Cecil. Laki-laki itu terlihat sangat marah, lalu melenggang pergi begitu saja. Devan tidak ingin emosinya membuat Cecil semakin kacau.Entahlah, Cecil sendiri tidak
Devan menutup tubuh Cecil dengan selimut yang tebal, agar bajunya yang terkoyak tidak terlihat sang Mama."Awas aja kalau berani ngadu!" ancamnya lalu berjalan mendekat ke arah pintu. Ia memasang kuncinya lalu memutar berlawanan jarum jam."Iya, Ma ? Kenapa?" Setelah pintu terbuka, seseorang muncul dari ambang pintu. Ia hanya ingin memastikan keadaan Cecil."Nggak papa. Mama cuman mau lihat kondisi Cecil. Dia kenapa? Kok selimutan?"Devan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Perempuan itu terlihat menggigil ketakutan. Namun, ia tak berani bicara macam-macam."Nggak papa, Ma. Cecil cuman sedikit kedinginan. Badannya agak panas, pas Devan cek tadi. Nanti dikasih makan sama obat juga sembuh." 'pintar sekali pria itu membuat alasan? Bisa-bisanya aku berurusan dengan laki-laki tak berperasaan sepertinya!' gerutu Cecil dalam hatinya.Utari berjalan menghampiri Cecil. Perempuan itu tampak khawatir. "Kamu tidak apa, Sayang? Apa mau ke rumah sakit saja? Kalau masih lemas, periksa saja, biar D
Cecil memandang nyalang pada Devan. Matanya syarat akan kebencian. Bahkan, mendengar lelaki itu bernapas saja sudah salah di mata Cecil. Dengan berani, Cecil memberi ancamannya untuk Devan. "Kalau kamu berani sentuh aku, aku gak akan segan aduin kamu ke Tante Utari. Beliau pasti sangat kecewa dengan kelakuan menjijikkan putranya. Jangan mentang-mentang kamu orang kaya, bisa berbuat seenaknya!"Devan menyeringai licik. Laki-laki itu seperti tak gentar dengan ancaman yang Cecil beri. Dibalasnya tatapan mata Cecil. Pandangannya melembut syarat akan ejekan. Tak perlu menunjukkan kekuasaan di depan Cecil bukan?"Silakan saja kamu mengadu. Palingan, Mama cuma nyuruh aku tanggung jawab dengan langsung menikahkan kita. Beliau pasti akan senang mendapat cucu darimu. Kalau begitu, siapa yang lebih sial? Masih mau macam-macam?"Cecil menatap Devan semakin nyalang. Mata itu seperti berkobar menunjukkan kekesalannya. Senyumnya terlontar, namun bukan senyum tulus yang diberikan, tapi senyum masam p
Cecil yang geram, akhirnya memutuskan untuk diam. Ia memilih menidurkan matanya yang cukup berat, daripada meladeni Devan, yang ada malah membuatnya semakin pusing.Cecil yang tak bersuara, membuat Devan akhirnya diam. Laki-laki itu semakin mengikis jaraknya dan Cecil lalu mengeratkan pelukannya pada gadis itu. Cecil sendiri tidak peduli dengan apa yang Devan lakukan padanya. Gadis itu nampaknya sudah lelah dengan kelakuan Devan yang membuatnya naik pitam.Tak lama, Cecil pun menjumpai alam mimpinya yang damai, meski pikirannya masih terbayang-bayang akan sosok ibunya yang telah tiada.Devan pun turut menyusul Cecil di alam mimpi karena matanya yang sangat mengantuk setelah seharian begadang menunggu jenazah ibu Cecil.Tidur lelap Devan mulai terganggu saat mendengar suara cecil mengigau.Meski dalam tidur lelapnya, gadis itu masih memikirkan sang ibu yang sudah berpulang."Ibu, jangan tinggalin Cecil, Bu. Kalau ibu pergi, Cecil hanya sebatang kara. Cecil mohon, kembalilah! Hanya Ibu
Sudah satu jam Cecil meninggalkan kamar itu, tapi Devan tak kunjung keluar.Bosan menunggu di luar, Cecil pun menggerutu karena Devan masih ada di sana. Ia hanya bisa mengintip keberadaan lelaki itu dari pintu yang sedikit membuka."Duh, kenapa gak keluar-keluar sih? Sengaja banget tuh orang!"Di sela gerutuan Cecil. Tiba-tiba Cecil merasakan ada sesuatu yang hinggap di kakinya. Saat berusaha memastikan, ternyata ada serangga kecil bernama kecoa bergerak lincah. Cecil berlari ketakutan hingga tak sadar gadis itu masuk ke dalam kamar dan menabrak tubuh Devan yang sedang berbaring di atas ranjang. Gadis itu tejengkang di atas tubuh Devan yang kekar.Devan sendiri tampak terkejut. "Kamu ngapain lari-larian? Kalau mau dipeluk bilang saja, gak usah modus."Tari bergegas bangun. Ia tidak ingin membuat Devan GR. Laki-laki itu terlihat sangat percayalah diri membuat Cecil ingin muntah dibuatnya."Pede banget jadi orang? Tadi ada kecoa di kakiku. Aku takut, mangkanya lari."Devan tampak mereme
Dengan santainya, Devan berjalan keluar dari kamar itu, tak lupa dirinya mengambil kunci di saku celana, lalu memasangnya di dekat gagang pintu. Sebelum benar-benar pergi, Devan sempat memberi pesan untuk Cecil. "Istirahat ya, Manis, jangan suka membantah, aku tidak suka. Selamat siang!"Tanpa membalas ucapan Devan, Cecil membuang muka. Ia arahkan pandangannya ke penjuru arah. "Gak usah sok peduli!" ketusnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada Devan.Selepas kepergian Devan, cecil terduduk di bawah ranjang, sambil memeluk kakinya yang terbungkus celana jeans berwarna abu. Ia menyembunyikan kepala di balik lengannya yang terlipat. Air matanya meluruh ketika mengingat nasib malang yang dialami. Hidup sebatang kara ternyata tidak mudah. Dulu, Cecil merasa bahagia, meski hidup dalam kesederhanaan."Ya Allah, kenapa nasibku malang sekali? Cobaan apa lagi yang harus kuterima."Utari yang bermaksud mengantar puding buatannya, tak sengaja mendengar keluh kesah Cecil. Hatinya ikut sesak mend
Devan memperingati Cecil melalui tatapan matanya. Sorot matanya menajam, seolah mengatakan jangan macam-macam.Bukan Cecil namanya, kalau mudah ditaklukkan begitu saja. Ini justru kesempatannya untuk meminta pembelaan. Tak mungkin menyiakan kesempatan emas begitu saja, Cecil pun mencoba menghiraukan Devan. Sorot matanya membalas tajam Tatapan Devan, lalu beralih menatap Utari lembut.Kepalanya tergerak menggeleng pelan. "Nggak, Ma! Mas Devan yang bohong. Mas Devan maksa Cecil buat jadi kekasihnya."Devan menyangkal, "Gak Ma, dia bohong, orang Cecil yang kejar-kejar aku."Utari terkekeh, jelas saja dirinya lebih percaya Cecil daripada Devan–putranya. Utari sangat hapal dengan sifat Devan yang arogan, dirinya tidak bisa melepas sesuatu yang diincar begitu saja. Lelaki itu pasti melakukan sesuatu agar Cecil tak berkutik."Devan, Devan. Ngapain bohong sama Mama? Tanpa kamu kasih tahu pun, Mama tahu siapa yang jujur. Puluhan tahun kamu hidup sama Mama, jadi Mama tahu luar dalam, gimana k