Devan menutup tubuh Cecil dengan selimut yang tebal, agar bajunya yang terkoyak tidak terlihat sang Mama."Awas aja kalau berani ngadu!" ancamnya lalu berjalan mendekat ke arah pintu. Ia memasang kuncinya lalu memutar berlawanan jarum jam."Iya, Ma ? Kenapa?" Setelah pintu terbuka, seseorang muncul dari ambang pintu. Ia hanya ingin memastikan keadaan Cecil."Nggak papa. Mama cuman mau lihat kondisi Cecil. Dia kenapa? Kok selimutan?"Devan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Perempuan itu terlihat menggigil ketakutan. Namun, ia tak berani bicara macam-macam."Nggak papa, Ma. Cecil cuman sedikit kedinginan. Badannya agak panas, pas Devan cek tadi. Nanti dikasih makan sama obat juga sembuh." 'pintar sekali pria itu membuat alasan? Bisa-bisanya aku berurusan dengan laki-laki tak berperasaan sepertinya!' gerutu Cecil dalam hatinya.Utari berjalan menghampiri Cecil. Perempuan itu tampak khawatir. "Kamu tidak apa, Sayang? Apa mau ke rumah sakit saja? Kalau masih lemas, periksa saja, biar D
Cecil memandang nyalang pada Devan. Matanya syarat akan kebencian. Bahkan, mendengar lelaki itu bernapas saja sudah salah di mata Cecil. Dengan berani, Cecil memberi ancamannya untuk Devan. "Kalau kamu berani sentuh aku, aku gak akan segan aduin kamu ke Tante Utari. Beliau pasti sangat kecewa dengan kelakuan menjijikkan putranya. Jangan mentang-mentang kamu orang kaya, bisa berbuat seenaknya!"Devan menyeringai licik. Laki-laki itu seperti tak gentar dengan ancaman yang Cecil beri. Dibalasnya tatapan mata Cecil. Pandangannya melembut syarat akan ejekan. Tak perlu menunjukkan kekuasaan di depan Cecil bukan?"Silakan saja kamu mengadu. Palingan, Mama cuma nyuruh aku tanggung jawab dengan langsung menikahkan kita. Beliau pasti akan senang mendapat cucu darimu. Kalau begitu, siapa yang lebih sial? Masih mau macam-macam?"Cecil menatap Devan semakin nyalang. Mata itu seperti berkobar menunjukkan kekesalannya. Senyumnya terlontar, namun bukan senyum tulus yang diberikan, tapi senyum masam p
Cecil yang geram, akhirnya memutuskan untuk diam. Ia memilih menidurkan matanya yang cukup berat, daripada meladeni Devan, yang ada malah membuatnya semakin pusing.Cecil yang tak bersuara, membuat Devan akhirnya diam. Laki-laki itu semakin mengikis jaraknya dan Cecil lalu mengeratkan pelukannya pada gadis itu. Cecil sendiri tidak peduli dengan apa yang Devan lakukan padanya. Gadis itu nampaknya sudah lelah dengan kelakuan Devan yang membuatnya naik pitam.Tak lama, Cecil pun menjumpai alam mimpinya yang damai, meski pikirannya masih terbayang-bayang akan sosok ibunya yang telah tiada.Devan pun turut menyusul Cecil di alam mimpi karena matanya yang sangat mengantuk setelah seharian begadang menunggu jenazah ibu Cecil.Tidur lelap Devan mulai terganggu saat mendengar suara cecil mengigau.Meski dalam tidur lelapnya, gadis itu masih memikirkan sang ibu yang sudah berpulang."Ibu, jangan tinggalin Cecil, Bu. Kalau ibu pergi, Cecil hanya sebatang kara. Cecil mohon, kembalilah! Hanya Ibu
Sudah satu jam Cecil meninggalkan kamar itu, tapi Devan tak kunjung keluar.Bosan menunggu di luar, Cecil pun menggerutu karena Devan masih ada di sana. Ia hanya bisa mengintip keberadaan lelaki itu dari pintu yang sedikit membuka."Duh, kenapa gak keluar-keluar sih? Sengaja banget tuh orang!"Di sela gerutuan Cecil. Tiba-tiba Cecil merasakan ada sesuatu yang hinggap di kakinya. Saat berusaha memastikan, ternyata ada serangga kecil bernama kecoa bergerak lincah. Cecil berlari ketakutan hingga tak sadar gadis itu masuk ke dalam kamar dan menabrak tubuh Devan yang sedang berbaring di atas ranjang. Gadis itu tejengkang di atas tubuh Devan yang kekar.Devan sendiri tampak terkejut. "Kamu ngapain lari-larian? Kalau mau dipeluk bilang saja, gak usah modus."Tari bergegas bangun. Ia tidak ingin membuat Devan GR. Laki-laki itu terlihat sangat percayalah diri membuat Cecil ingin muntah dibuatnya."Pede banget jadi orang? Tadi ada kecoa di kakiku. Aku takut, mangkanya lari."Devan tampak mereme
Dengan santainya, Devan berjalan keluar dari kamar itu, tak lupa dirinya mengambil kunci di saku celana, lalu memasangnya di dekat gagang pintu. Sebelum benar-benar pergi, Devan sempat memberi pesan untuk Cecil. "Istirahat ya, Manis, jangan suka membantah, aku tidak suka. Selamat siang!"Tanpa membalas ucapan Devan, Cecil membuang muka. Ia arahkan pandangannya ke penjuru arah. "Gak usah sok peduli!" ketusnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada Devan.Selepas kepergian Devan, cecil terduduk di bawah ranjang, sambil memeluk kakinya yang terbungkus celana jeans berwarna abu. Ia menyembunyikan kepala di balik lengannya yang terlipat. Air matanya meluruh ketika mengingat nasib malang yang dialami. Hidup sebatang kara ternyata tidak mudah. Dulu, Cecil merasa bahagia, meski hidup dalam kesederhanaan."Ya Allah, kenapa nasibku malang sekali? Cobaan apa lagi yang harus kuterima."Utari yang bermaksud mengantar puding buatannya, tak sengaja mendengar keluh kesah Cecil. Hatinya ikut sesak mend
Devan memperingati Cecil melalui tatapan matanya. Sorot matanya menajam, seolah mengatakan jangan macam-macam.Bukan Cecil namanya, kalau mudah ditaklukkan begitu saja. Ini justru kesempatannya untuk meminta pembelaan. Tak mungkin menyiakan kesempatan emas begitu saja, Cecil pun mencoba menghiraukan Devan. Sorot matanya membalas tajam Tatapan Devan, lalu beralih menatap Utari lembut.Kepalanya tergerak menggeleng pelan. "Nggak, Ma! Mas Devan yang bohong. Mas Devan maksa Cecil buat jadi kekasihnya."Devan menyangkal, "Gak Ma, dia bohong, orang Cecil yang kejar-kejar aku."Utari terkekeh, jelas saja dirinya lebih percaya Cecil daripada Devan–putranya. Utari sangat hapal dengan sifat Devan yang arogan, dirinya tidak bisa melepas sesuatu yang diincar begitu saja. Lelaki itu pasti melakukan sesuatu agar Cecil tak berkutik."Devan, Devan. Ngapain bohong sama Mama? Tanpa kamu kasih tahu pun, Mama tahu siapa yang jujur. Puluhan tahun kamu hidup sama Mama, jadi Mama tahu luar dalam, gimana k
Cecil meraung kala Devan semakin memperdalam ciumannya. Sekuat tenaga gadis itu mendorong tubuh Devan agar jauh darinya, tapi percuma saja, bila tenaga lelaki itu 10X lebih kuat darinya."Lep pash!" ucap Cecil kesusahan. Bukan melepas, lelaki itu malah semakin tertantang. Aroma cherry dan rasa legit yang tercecap dari bibir gadis itu, membuat Devan semakin tertantang untuk menerobos langit-langit mulut Cecil yang masih tertutup rapat. Tak kunjung terbuka, Devan menghentikan aksinya. Napasnya yang mulai terengah, mencoba dinetralkan kembali. Devan pun memasok oksigen banyak-banyak, sama halnya dengan Cecil yang terengah-engah. Ia pun menarik napas panjangnya.Sebelum Devan meraih kembali bibir itu, Cecil memalingkan wajahnya. Emosinya mendidih, kurang ajar sekali Devan mengambil ciuman pertamanya.Tanpa mneoleh pada Devan, Cecil melontarkan makian. "Kurang ajar banget! Beraninya kamu ambil ciuman pertamaku."Devan memaksa Cecil untuk menatapnya. Lelaki itu memegang dagu Cecil dengan p
Setelah berhasil mencecap manisnya bibir Cecil untuk yang ke dua kalinya, akhirnya Devan melepas pangutan itu. Cecil menatap Devan nyalang, karena lelaki itu hampir membuatnya kehilangan napas.Dengan napas memburu, Cecil mantap melayangkan tangannya di pipi Devan. Saking kerasnya tamparan Cecil, pipi putih mulus milik Devan sampai memerah.Lelaki itu memegangi wajahnya yang memanas, ia berusaha maklum jika Cecil emosi atas kekurang ajaran yang dirinya lakukan. Tapi lelaki itu juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan diri sendiri atas hasratnya yang memburu.Berada di dekat Cecilia, membuat otaknya sedikit gila. Bahkan, lelaki itu menyadarinya.Tatapan Cecil dan Devan saling beradu. Tubrukan manik coklat Keduanaya, terlihat menjam. Sekuat tenaga, Cecil berusaha tidak menangis."Kamu pantas dapat itu. Dasar laki-laki berengsek!" Cecil memukul dada Devan dengan brutal. Ia merasa sakit hati atas apa yang Devan lakukan.Dengan tenaga yang penuh, Devan berusaha mendekap tubuh Cecil yang mero