Share

Bab 3. Mesra

Kejadian sore itu, masih terngiang diingatan Ardi. Bagaimana tidak? tubuh Laras, jatuh tepat di atas tubuhnya. Yang membuatnya tak bisa lupa, Laras dalam keadaan bugil!

Mata liar Ardi menangkap dua gundukan daging yang putih mulus dan montok, menempel tepat di dadanya.

Bukannya, cepat bangun, Laras justru memeluk Ardi, saking takutnya pada kecoa yang ada di kamar mandi. Rambut panjang Laras masih masih, dan berbusa. Menyebabkan, lantai pun ikut basah dan akhirnya menjadi licin.

Imbasnya, pas Laras mau berdiri bukannya berdiri dengan tegak, malah kepleset dan lagi-lagi, Ardi harus menangkap tubuh Laras yang hampir limbung.

"Ah, sialan! kenapa juga aku ingat terus!" gerutu Ardi dan memuku pelanl kepalanya sendiri.

Segera disambarnya, jaket kulitnya, "lebih baik aku ke rumah Lukman aja," Ardi segera pergi tanpa berpamitan pada ibu mertua dan adik iparnya.

Mendengar suara deru motor besar milik Ardi, Ibu mertuanya langsung keluar, dan memanggilnya.

"Ardi, coba kau tengok ke kantor Puspa. jemputlah, karena jam segini kok belum pulang juga."

"Iya, Mah," jawab Ardi sambil lalu.

Laras memandang kakak iparnya berlalu dari teras rumah, lewat jendela kamarnya. Dirinya tak berani bertemu apa lagi menatap wajah kakak iparnya itu. Kejadian tadi sore membuatnya sangat malu, Dengan terseok-seok akhirnya dirinya mampu berdiri dan segera masuk ke dalam kamarnya. Sempat tanpa sengaja tangan Ardi memegang pantat polosnya.

Karena spontan membantunya untuk berdiri, sepertinya tak mungkin memegangi tangan Laras yang sibuk menutupi dadanya yang terbuka.

Laras tersenyum, konyol sekali, wajah Ardi terlihat merah, tatapannya tak bisa Laras lupakan, tak sadar ada rasa bahagia atas kejadian tersebut.

Untung saja, kejadian tersebut, tak diketahui oleh Mamanya..

"Laras! ngapain kamu? dari tadi ngerem aja di kamar!"

"Iya, Mah., Badan Laras sakit semua, nih lagi rebahan." seru Laras dari kamar.

"Sudah makan?"

"Sudah, Mah!"

Suasana kembali sepi. Sepertinya Mamanya kembali lagi ke kamarnya.

Laras menatap dirinya dalam cermin. Teringat kalau kakaknya, Puspa belum juga pulang. Dilihatnya jam di dinding, sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

***

Dari jauh, Ardi menatap dua pasangan yang baru saja keluar dari sebuah mobil yang terparkir di depan kantor Puspa.

Begitu Mesranya mereka. Ardi hanya diam, saja. Tidak mendekat ataupun melabrak kelakuan istrinya itu.

keduanya masuk bersama ke dalam kantor, dalam senyum yang sumringah.

Pelan Ardi, meninggalkan tempat tersebut. Deru motornya melengking menembus jalanan ibu kota.

Dalam sebuah ruangan kantor, tampak Puspa sedang menerima sebuah amplop berwarna cokelat.

"Ini, yang aku janjikan, ingat, yah, aku tak memberimu imbalan, ini murni dari aku pribadi,"

Puspa tersenyum dan duduk di samping bosnya tersebut.

"Ok, nanti aku ganti, deh."

"Ini bukan hutang, ah, kamu ini." Denny menjawil ujung hidung Puspa.

Wanita berkulit putih bersih itu, tertawa renyah, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.

"Ah, kau masih cantik.saja dengan senyum dan tawamu yang menawan itu, pantas saja aku tak bisa berpaling darimu, Puspa."

"Ah, masa sih?"

"Jangan meledekku, Puspa."

Puspa langsung menghentikan tawa dan senyum, kini berganti dengan tatapan manjanya.

"Sudahlah, kita di kantor, aku khawatir ada yang dengar dan tahu tentang ini semua." Deny segera menepis wajah Puspa.

"Apa aku antar kau ...."

"Tidak, aku telepon suamiku saja, aku tadi sudah janji minta di jemput."

"Aku cemburu pada suamimu, Puspa. mengapa juga kau menikah dengannya?*

"Sudahlah, kalau aku tak menikah, kedokku akan ketahuan ibuku. Aku masih menghormati beliau, sebagai wanita yang melahirkanku."

Puspa mencoba menghubungi Ardi, tapi ponselnya tak juga aktif.

Hampir 15 menit berkali-kali, panggilan tak terjawab.

"Sudahlah, ayo, aku antar kau pulang."

Puspa akhirnya menurut saja, karena memang sudah larut malam.

Pas di lobbi, ada dua karyawan menatap Puspa dan bos mereka saat mereka dengan berjalan saling bergandengan.

***

Puspa sampai juga di rumahnya, Tampak sang ibu memperhatikan tingkah anaknya dari jendela ruang tamu. Alibi sudah terpampang di depan mata ibunya, Anaknya selingkuh. Puspa tak menyadari dirinya sedang diawasi dari jauh.

Puspa cuek saja melangkah masuk ke dalam rumah.

"Eh, Mama, belum tidur Mah?"

"Siapa dia? kau– selingkuh?"

"Ah, dia cuma teman dekat saja, Mah."

"Sampai berciuman bibir, kau bilang teman biasa saja!"

Plak! sebuah tamparan keras mengenai pipi sang anak.

"Dengar, Nak. sebejad-bejadnya mama,, tak mau berselingkuh!"

"Mengapa Mama menamparku!"

"Karena kau salah. Kurang apa lagi, Ardi. Dia rela tinggalkan segalanya untukmu. kau sia-sia kan!"

"Mah! mama tidak tahu rasa sakit aku Mah! kalau mama tahu, aku sudah tak disentuh sejak malam pertama yang terkutuk itu!"

"Cukup! jangan salahkan suamimu. Kau yang salah tak jaga kehormatanmu, untung saja suamimu tak tahu kalau kau mengugurkan kandunganmu!"

"Mah! aku tak mau mengikuti jejak mama, yang hanya pinjam uang hanya untuk melampiaskan hasrat judi mama!"

Ibu Kartika terdiam melihat kata-kata anaknya dalam membabi buta. Memang dirinya bersalah. Hobinya berjudi, tak bisa ditinggalkan.

"Mama mau bilang apa lagi? memang aku muak dengan cara Mama. Apa Laras tahu, siapa Bapak kandungnya?"

Plak! kembali tamparan itu, mendarat di pipi Puspa.

"Jangan pernah katakan itu lagi, kau akan tahu akibatnya!"

Lagi-lagi, Puspa hanya mengelus pipi kirinya, yang dua kali mendapat tamparan dari mamanya.

Beruntung, malam ini, rupanya, pertengkaran Mama dan Puspa, tak di dengar oleh Laras. Gadis cantik itu, sedang tertidur pulas dalam buaian mimpi indahnya.

Ibu Kartika, terduduk lemas. Ingatannya kembali ke masa itu, di saat susah-susahnya mencari uang untuk hidupnya, karena sepeninggal suaminya tak ada yang bisa untuk bertahan hidup, jadilah ibu Kartika menjadi juru pijat di sebuah panti pijat.

Lalu kemudian, terjadilah hal yang amat membuat dirinya trouma, dirinya menjadi korban pemerkosaan dari beberapa pelanggannya. Dirinya segera melaporkan hal tersebut pada pihak berwajib, namun apa? mereka anggap bahwa itu adalah bagian dari layanan pijat ++ yang saat itu ibu Kartika kerjakan. Sungguh sangat amat terhina, bukannya mendapat perlindungan, justru caci maki yang dia dapatkan.

Brengsek lelaki itu, geram ibu Kartika masih teringat jelas wajah lelaki yang telah berbuat kurang ajar padanya. Yang masih sangat jelas teringat adalah tulisan sebuah tato di lengan lelaki itu, dan menamakan sama dengan Laras .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status