Diipandangnya wajah Laras sesaat. Ruangan ganti cafe yang memang sepi, karena jam pulang sudah berakhir dari tadi.
Tangan Ardi bergerak pelan menuju dua gundukan kenyal yang masih terbalut kemeja rapi. Ardi meremas keduanya dengan kedua tangan tangannya, pelan. Laras kaget dan hendak menyingkirkan tangan itu. Tapi apa daya, tangan Ardi begitu kokoh menyerang dua aset miliknya. Gerakan meremas, memutar dari bawah gundukan itu membuat Laras yang baru pertama kali merasakan hal itu, merasa nyaman dan enak. Mata Laras terpejam merasakan pijatan tangan Ardi, satu kepalan pas dalam genggaman tangan itu."Ishh ..." Laras mendesis nikmati hal tersebut, antara sakit dan enak. Ardi tak berusaha membuka kemeja milik Laras. Dia hanya meremas-remas gundukan itu, menemukan dua ujungnya yang sudah berdiri. Jari Ardi semakin lihay, memainkannya, penutup bra-nya, sedikit terangkat ke atas. Masih berbalut kain kemeja, Ardi terus menikmati benda kenyal dalam tangannya tersebut. Seakan sudah lama Ardi tak bersentuhan dengan benda tersebut.Laras memandang wajah Ardi. Ardi memandang wajah Laras dalam tatapan sendu. Tak lama gerakan itu melemah."Pergilah, aku pesankan greb, untuk kau pulang."Laras bingung, atas sikap kakak iparnya ini. Mengapa? Apa nggak pernah menyentuh barang punya istrinya? Kok gragas sekali meremas punyaku, pikir Laras .Laras hanya mengangguk dan menyingkir pelan dari hadapan Ardi.***Dalam kamarnya, Laras masih juga merasakan ciuman dan remasan itu, apa tidak salah?Jadi selingkuhan? Aku? Laras menunjuk dirinya. Maksudnya apa? Apakah sedang ada perang dingin antara Puspa dan Ardi?Tapi? Tak sadar, Laras menyentuh dadanya sendiri. Ah, aku ternoda. Mengapa aku mau saja, punya ku ini diremes-remes. Tapi kok enak. Laras meremas punyanya sendiri.Dan kembali merasakan kenikmatan saat tangan Ardi memainkannya. Ah ... Apa aku keterlaluan hingga aku pun juga menikmati rasa itu? Laras segera mengenyahkan rasa itu, dan segera bangkit keluar dari kamarnya, dan mencari mamanya yang sedang duduk menonton televisi sendirian."Mama, mau bicara denganmu, Laras. saat ini ... mama mau kontrak saja, kau ikut mama, atau tinggal di sini.'"Apa! maksud Mama?! mama mau kontrak rumah?!" Laras terkejut.Brak! Laras menggebrak meja rias milik kakaknya. Puspa mendelik atas perbuatan Laras tersebut."Maksud kamu apa hah! pakai gebrak meja depan aku!""Kakak punya otak nggak sih? mengapa menyuruh mama keluar dari rumah ini? nggak tahu diri amat!""Hai! tolol! tahu nggak ini rumah sudah aku bayarin semuanya. Aku sudah menebusnya dari Bank. hutang-hutang mama selama ini siapa yang bayarin? enak sekali nuduh aku nggak punya otak. itu terserah mama, pokoknya aku sudah peringatkan mama untuk menghentikan hobi mama yang suka dengan kredit mengkredit itu, kalau mama nggak suka aturan aku, ya udah sana ... keluar saja dari rumah ini, ' jelas Puspa lantang.Laras hanya terdiam, "tapi tidak menyuruh mama, pergi dari rumah ini kali, kak!'"Sudah aku bilang , kalau nggak mau turuti perintahku, mama boleh tinggalkan rumah ini, kalau mau tinggal ya, turuti perintahku, enak toh."Dari dulu memang sifat Puspa yang pemarah dan arogan bikin Laras selalu saja berselisih paham dengannya."Aku ikut mama, ""Oh, terserah ... baguslah kalau begitu. aku tak perlu keluarkan uang untuk biaya makan mi.""Dari dulu aku pun tak pernah minta makan darimu, Kak!"Laras langsung keluar dari kamar kakaknya dan membanting pintunya keras-keras.Saat baru keluar kamar dirinya berpapasan dengan kakak iparnya. Mata mereka saling beradu. Laras segera menunduk dan cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.***Tak ada suara yang macam-macam, bahkan Puspa yang bicaranya kasar kali ini hanya diam saja, Tatkala Ardi ingin meninggalkan rumah."Aku sudah cukup sabar menghadapi kamu, Puspa. tapi kau tak mengindahkan keputusanku. Jadi jangan halangi aku." Ardi memakai tas gunungnya. Dengan tak banyak kata dirinya keluar dari rumah. Tanpa pamit pada Mama.Mama melihatnya pun tak mencegahnya. Mama tahu tabiat Puspa. Mama hanya menghela napasnya panjang, dan masuk ke dalam kamarku."Besok, Mama mau cari rumah kontrakan. Temani Mama ya, oh ya, kalau ada sedikit tabungan, pinjamkan dulu lah sama Mama, nanti tak ganti."Laras mengangguk, "Iya, Mah " jawabnya pelan. Lalu mengambil dompet, dan menyerahkan uang hampir sebesar satu juta lebih."Ini, Mah, cari kontrakan nggak usah yang besar-besar ya, Mah."Mama, hanya mengangguk. "Sekarang tidurlah. pasti sebentar lagi ada yang mengamuk. tutup pintu kamarmu." Lalu, Mama keluar dari kamar.kebiasaan Puspa yang selalu mengamuk. kelabilan hatinya terkadang membuat Laras sebal.Benar saja, kata Mama. sekilas samar-samar Laras, mendengar berbagai benda pecah dari kamar kakaknya itu. Entah apa yang pecah. Laras sudah tak peduli lagi pada Puspa.***Malam ini, tampak Ardi berada di sebuah kamar bersama salah satu temannya."Maafkan aku bro, jadi numpang di rumahmu, tadinya aku mau ke cafeku, tapi aku lagi ingin punya teman bicara.""Santai sajalah, bro. Ceritakan apa yang telah terjadi. bukan karena perempuan kan?"Ardi tersenyum kecut. Selama hidupnya, rasanya sudah puas bergelimang wanita. kini saat hidupnya ingin lebih tenang, dengan memilih Puspa sebagai pelabuhan terakhirnya, ternyata gagal. Ardi bak mendapat buah busuk. Malam pertama pun menjadi aib baginya. Mendapati Puspa sudah tak perawan lagi. Mungkin ini bisa saja karma bagi dirinya. Tapi , perilaku Puspa yang membuatnya tak bisa menahan emosi."Ar ... jangan melamun, ini kopimu. Maafkan bila kata-kataku menyinggungmu.""Tidak, Bas. Aku ingin ... oh ya ... masih kau simpan nomer Mister Road?"Baskoro, terdiam, "Mengapa kau tanya, apakah?""Tidak, aku hanya ingin bertemu saja, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."Baskoro hanya mengangguk mengerti. Lalu menyerahkan nomor tersebut.***Pagi ini, Ardi kembali seperti biasa, kegiatannya yaitu menjadi koki di cafenya, menu andalan nasi goreng spesial menjadi favorite para pengunjung pagi ini.Banyak para pekerja kantoran yang tak sempat sarapan, di jam bebas tugasnya, menyempatkan diri mampir ke cafe Ardi hanya untuk sekedar minum kopi ataupun mencari menu spesial tersebut.Andai, Ardi tak punya kharisma pasti drinya sangat kesusahan mencari pelanggan cafenya.Hem, sebagian mereka mengenal Ardi dari masih lajang. Seorang yang jagoan di jalanan. Sudah mendarah daging, setiap trek motor besar, dirinya pasti menang. Pundi-pundi uang dikumpulkan hanya untuk bersenang-senang saja. Memuaskan masa muda.Banyak teman wanita dalam pelukan Ardi.Lamunan itu, terhenti, kala Laras tak sengaja, menyenggol beberapa barang dekat pintu.Semua mata memandangnya, termasuk Ardi. Laras segera membungkuk meminta maaf, dan membetulkan kembali barang-barang yang terbuat dari plastik tersebut. Untung saja, tidak pecah, batin Laras.Waktu berlalu biasa saja. Laras bekerja tanpa banyak kata. Merasa ada yang janggal saja hari ini. Ingatannya tak pernah lupa atas perlakuan Ardi tempo hari.Tiba-tiba, telepon Laras, berdering. Laras segera menerima panggilan ponsel itu yang ternyata dari Mamanya."Iya, Mah."Mama mengabarkan kalau sudah mendapatkan sebuah kontrakan yang tak jauh dari tempat kerja Laras.Laras tersenyum, "Iya, Mah. semoga ini yang terbaik, ya Mah. Maafkan Laras nggak bisa bantu beres-beres deh, tapi besok Laras mau ijin seharian biar bisa secepatnya pindah."Tak lama panggilan tersebutpun berhenti.Laras tak menyadari, ada seseorang di belakang Laras."Kenapa, pindah? di usir Mak Lampir?""Mas Ardi ..." Laras kaget, dan mengelus dadanya sendiri."Iya? di usir Mak Lampir?"Laras diam, dirinya paham maksud kakak iparnya ini. Laras mengangguk pelan."Dimana?" Laras menatap wajah lelaki di depannya, dan menyebutkan sebuah alamat."Ayo ....""Ah ... maksudnya?"Ardi tak pedulikan lagi, masih pakai pakaian seragam kokinya, Ardi mengantarkan Laras menuju alamat yang disebutkan tadi.Sesampainya di sana, sudah ada Mama yang sedang membereskan beberapa baju yang di bawanya, agaknya Mama pun tak membawa baju banyak."Assalamuallaikum ...""Wallaikumsalam.""Ardi?!" kata Mama kaget, menantunya malah mengantar Laras ke tempat tinggal barunya."Puspa berulah lagi, Mah?" tanya Ardi."Ah, paling cuma gertakan saja, Ardi. Mama juga nggak ambil pusing. ini mungkin untuk semetara saja. Mama hanya kasihan sama Laras, tiap hari berantem terus sama kakaknya. makanya dia aku ajak.." jelas Mama masih menutupi kekurangan Puspa depan suaminya.Ardi melihat keadaan rumah tersebut. "Apa tidak t
Perkelahian malam itu menjadi heboh, Ardi tak melepas orang yang mencoba merendahkan, emosi yang tak terkendali kembali melandanya. Kalau saja tidak ada yang melerai mereka, pasti Ardi akan bermasalah dengan polisi."SUDAH!! CUKUP!" Lalu, bunyi senapan terdengar tiga kali.Ardi tanpa pendamping, dirinya hanya beberapa orang saja yang kenal. Sedang orang yang dipukulnya nampak melihatnya dengan api kemarahan."Tunggu! pembalasan gue!!" ancamnya dan pergi meninggalkan tempat tersebut.Ardi pun menyambar helmnya, dan segera naik ke motornya, hendak pergi pula."Tunggu! kau belum ambil uangmu, aku tunggu satu jam di sini, bila kau tak datang uang taruhan hangus!" teriak seseorang pada Ardi.Ardi pun memutar motornya dan mendekati lelaki yang memang sudah memegang uang taruhan."Ini, malam ini kau punya nyali juga!" timpalnya pada Ardi dan menyerahkan uang berjumlah cukup banyak.Tanpa banyak bicara Ardi langsung melesat pergi meninggalkan lokasi. Ada rasa berdenyut dalam hati dan isi kepa
Ardi duduk di sebuah rumah usang, ini adalah rumah milik ibu tirinya. Sudah dua tahun yang lalu ibunya sudah kembali menikah dengan seseorang, dan kini sudah tidak ada di luar kota, mengikuti suaminya. Anak-anak mereka pun ikut. Ardi hanya lah anak sambung, dan sudah berkeluarga, jadi punya urusan sendiri, dan kehidupannya tak menarik di mata ibu tirinya.Di rumah yang masih di tempati adik dari ibunya yang agak sedikit terganggu jiwanya. Tapi, Ardi selalu memberi sedikit uang untuknya.Ardi mengeluarkan, uang dari dalam jaketnya, tumpukan uang itu cukup tebal juga, pikir Ardi. Pelan dirinya menghitung uang hasil trek malam itu. Hem, hampir tujuh juta lebih.Di ambilnya sebuah rokok dan mengisapnya. Pikiran seorang Ardi mulai berkelana.Bila dirinya, tak kembali. bagaimana bisa dapat uang berjuta-juta dalam semalam. Tangan Ardi meraba luka yang kini sudah tertutup sebuah plester."Laras ... " bisiknya sambil geleng-geleng kepala.Niatnya hanya mengertak gadis imut itu. Entah semua tin
Puspa, memandang suaminya, kilat matanya membuatnya semakin marah atas kata-kata Ardi barusan."Aku tahu, aku nggak ada artinya di matamu Mas! apa pantas untuk dipertahankan?""Aku mengharapkan kau bisa berubah, untuk saat ini pun aku berharap kau mau merubah seluruh sifat dan sikapmu.""Kau tahu Mas! aku sudah merasa terhina saat malam pertama. Kau bilang akan menerima aku sepenuhnya , tapi nyatanya?""Bila kau bilang siapa ayah anak itu, akan akan lebih menghormatimu, tapi kau malah menutupi, bahkan di belakangku kau mengugurkan kandungan itu tanpa ijin mama atau pun aku, suamimu. Di sini aku sudah tahu sifatmu, Aku bukan lelaki bodoh, aku tahu, kau sudah hamil di saat malam pertama kita!"Puspa terdiam, benar saja, suaminya sudah tahu hal tersebut. Makanya dirinya amat sangat benci pada dirinya. Ini yang membuatnya semakin terhina, juga sikap dan perilaku Ardi kala itu."Sudahlah, kau mau menceraikan aku kan?"Ardi menggeleng pelan."Aku beri kesempatan padamu, lagi. dan aku selalu
Ardi memandang Tommy, Dialah partnernya dulu. Dua lelaki yang sangat mencolok penampilannya. Ardi yang berbadan besar bak bodyguard, wajah sangar berbeda jauh dengan Tommy yang good looking, tampan, sekilas mirip artis Korea, berkulit putih bersih. Dua magnet yang saling klop."Aku mohon satu kali ini saja. setelah ini aku tak akan memakai jasamu lagi." ucap Baskoro bersungguh-sungguh.Ardi terdiam, dialah leadernya."Apa yang harus aku bawa?""H" Baskoro hanya menyebutkan inisial barang itu."Kau tahu bukan aku pemasok barang itu. kali ini aku tak bisa melindungimu.""Apa! kalau begitu aku tolak!""Pure, upah milikmu semua. ini karena pembawa paket tak berani lewati batas itu. Hanya kau yang bisa!"Tommy memandang Ardi, lelaki lajang pasti akan tergiur dengan jumlah tersebut."Aku pikirkan lagi. Maaf ... aku memburu waktu." Ardi pun berjalan melewati Baskoro, tapi tangan Baskoro, menepuk dadanya tiba-tiba, di tangannya, terlihat segepok uang berwarna merah."Aku minta, ini hanya perm
Ardi menarik tangan Laras, dan kini masuk dalam pelukannya, mencium bibir gadis manis itu. Laras mengikuti alurnya saja, tangannya menahan dada Ardi, tubuhnya yang besar terasa menghimpit tubuh mungil Laras, hingga Laras kehabisan napas karenanya. Ardi pun melepaskan ciumannya, dan memandang Laras dalam tatapan sendunya.Laras, yang memang sudah jatuh cinta pada kakak iparnya ini, tak pedulikan lagi dengan apa tindakannya yang salah itu. Tangan Laras pelan mengeser ke arah belakang leher Ardi, dengan berjingkat, Laras kembali mendapatkan bibir Ardi. lelaki itu tersenyum, dan mengangkat pinggang Laras dan mendekapnya erat. Baru kali ini, Ardi mendapatkan sensasi ciuman yang dahsyat dari Laras. Tubuhnya semakin menegang, tangan lelaki kekar itu sudah bergerilya seputar dada Laras. Napasnya semakin memburu, rasa kangen yang tertahan tertumpah kan malam itu.Namun, Ardi tak mau merusak pagar ayu milik Laras, ditutupnya lagi dada yang sudah terbuka itu, Laras bingung.Mereka saling mena
Deny nampak melihat ponselnya, ada sambungan telepon, nomor yang tak ada namanya, tapi dirinya gagal dengan nomor tersebut."Bagaimana? target sudah siap?""Belum. ada kendala sedikit. sabar.""Hah!! lakukan dengan benar.""Baik."kemudian sambungan itupun terhenti .Deny memandang laptop yang ada di mejanya. Berapa kurva pemasukan dalam setahun sedang dibuatnya untuk laporan."Huh, edan! dasar tua bangka!" Deny memaki geram, lalu berdiri, mendekati jendela kaca, terlihat dari jauh hotel di mana Baskoro menginap."Brengsek!" Makinya lagi.Kemudian Deny mengambil ponselnya dari sakunya, dan menghubungi seseorang."Datanglah ke ruang kerjaku."Tak lama, pintu terketuk, masuklah seseorang laki-laki."Buatkan aku laporan keuangan dalam dua tahun terakhir ini, tapi buat laporan tak ada anggaran sama sekali. semua habis di properti. nanti kau aku bayar mahal.""Tapi , Pak.""Kerjakan atau kau aku pecat?""Baik, Pak."***motor melaju kencang menuju suatu tempat, satu yang dituju sebuah cafe
Ardi diam saja atas keras kepala Laras. "Dengar , kau masih muda, perjalananmu masih panjang. nggak harus sampai di sini saja, Laras." Mama sudah senewen pada Laras.Pertengkaran ini, akhirnya Ardi mengajak anak dan ibu mertuanya ke sebuah tempat, agar cafenya terhindar dari pertengkaran Laras dan mamanya."Mah, Laras sudah besar, sudah boleh kan mengambil keputusan sendiri. aku merasa bego aja kalau berada di rumah itu. serba-serba ngga di anggap!" berang Laras sambil bersedekap."Siapa yang tak anggap kamu, Laras? semua mama buat seadil-adilnya, makan sama, mama tak membedakan kalian." Kartika semakin memanas.Ardi sebenarnya tahu kegundahan hati ibu mertuanya ini, sepertinya ibu Kartika tahu sepak terjang segalanya. Kartika terlihat tak peduli dengan anaknya. tapi sebenarnya dia mengamati dan mulai mengendus kesalahan yang sudah terjadi.Ardi merasa malu sendiri, akhirnya."Nanti, aku bicara lagi dengan istriku,mah. "Mendengar Ardi bicara tentang 'istrinya' ada terbersit cemburu