Share

Bab 6. Resah

Diipandangnya wajah Laras sesaat. Ruangan ganti cafe yang memang sepi, karena jam pulang sudah berakhir dari tadi.

Tangan Ardi bergerak pelan menuju dua gundukan kenyal yang masih terbalut kemeja rapi. Ardi meremas keduanya dengan kedua tangan tangannya, pelan. Laras kaget dan hendak menyingkirkan tangan itu. Tapi apa daya, tangan Ardi begitu kokoh menyerang dua aset miliknya. Gerakan meremas, memutar dari bawah gundukan itu membuat Laras yang baru pertama kali merasakan hal itu, merasa nyaman dan enak. Mata Laras terpejam merasakan pijatan tangan Ardi, satu kepalan pas dalam genggaman tangan itu.

"Ishh ..." Laras mendesis nikmati hal tersebut, antara sakit dan enak. Ardi tak berusaha membuka kemeja milik Laras. Dia hanya meremas-remas gundukan itu, menemukan dua ujungnya yang sudah berdiri. Jari Ardi semakin lihay, memainkannya, penutup bra-nya, sedikit terangkat ke atas. Masih berbalut kain kemeja, Ardi terus menikmati benda kenyal dalam tangannya tersebut. Seakan sudah lama Ardi tak bersentuhan dengan benda tersebut.

Laras memandang wajah Ardi. Ardi memandang wajah Laras dalam tatapan sendu. Tak lama gerakan itu melemah.

"Pergilah, aku pesankan greb, untuk kau pulang."

Laras bingung, atas sikap kakak iparnya ini. Mengapa? Apa nggak pernah menyentuh barang punya istrinya? Kok gragas sekali meremas punyaku, pikir Laras .

Laras hanya mengangguk dan menyingkir pelan dari hadapan Ardi.

***

Dalam kamarnya, Laras masih juga merasakan ciuman dan remasan itu, apa tidak salah?

Jadi selingkuhan? Aku? Laras menunjuk dirinya. Maksudnya apa? Apakah sedang ada perang dingin antara Puspa dan Ardi?

Tapi? Tak sadar, Laras menyentuh dadanya sendiri. Ah, aku ternoda. Mengapa aku mau saja, punya ku ini diremes-remes. Tapi kok enak. Laras meremas punyanya sendiri.

Dan kembali merasakan kenikmatan saat tangan Ardi memainkannya. Ah ... Apa aku keterlaluan hingga aku pun juga menikmati rasa itu? Laras segera mengenyahkan rasa itu, dan segera bangkit keluar dari kamarnya, dan mencari mamanya yang sedang duduk menonton televisi sendirian.

"Mama, mau bicara denganmu, Laras. saat ini ... mama mau kontrak saja, kau ikut mama, atau tinggal di sini.'

"Apa! maksud Mama?! mama mau kontrak rumah?!" Laras terkejut.

Brak! Laras menggebrak meja rias milik kakaknya. Puspa mendelik atas perbuatan Laras tersebut.

"Maksud kamu apa hah! pakai gebrak meja depan aku!"

"Kakak punya otak nggak sih? mengapa menyuruh mama keluar dari rumah ini? nggak tahu diri amat!"

"Hai! tolol! tahu nggak ini rumah sudah aku bayarin semuanya. Aku sudah menebusnya dari Bank. hutang-hutang mama selama ini siapa yang bayarin? enak sekali nuduh aku nggak punya otak. itu terserah mama, pokoknya aku sudah peringatkan mama untuk menghentikan hobi mama yang suka dengan kredit mengkredit itu, kalau mama nggak suka aturan aku, ya udah sana ... keluar saja dari rumah ini, ' jelas Puspa lantang.

Laras hanya terdiam, "tapi tidak menyuruh mama, pergi dari rumah ini kali, kak!'

"Sudah aku bilang , kalau nggak mau turuti perintahku, mama boleh tinggalkan rumah ini, kalau mau tinggal ya, turuti perintahku, enak toh."

Dari dulu memang sifat Puspa yang pemarah dan arogan bikin Laras selalu saja berselisih paham dengannya.

"Aku ikut mama, "

"Oh, terserah ... baguslah kalau begitu. aku tak perlu keluarkan uang untuk biaya makan mi."

"Dari dulu aku pun tak pernah minta makan darimu, Kak!"

Laras langsung keluar dari kamar kakaknya dan membanting pintunya keras-keras.

Saat baru keluar kamar dirinya berpapasan dengan kakak iparnya. Mata mereka saling beradu. Laras segera menunduk dan cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.

***

Tak ada suara yang macam-macam, bahkan Puspa yang bicaranya kasar kali ini hanya diam saja, Tatkala Ardi ingin meninggalkan rumah.

"Aku sudah cukup sabar menghadapi kamu, Puspa. tapi kau tak mengindahkan keputusanku. Jadi jangan halangi aku." Ardi memakai tas gunungnya. Dengan tak banyak kata dirinya keluar dari rumah. Tanpa pamit pada Mama.

Mama melihatnya pun tak mencegahnya. Mama tahu tabiat Puspa. Mama hanya menghela napasnya panjang, dan masuk ke dalam kamarku.

"Besok, Mama mau cari rumah kontrakan. Temani Mama ya, oh ya, kalau ada sedikit tabungan, pinjamkan dulu lah sama Mama, nanti tak ganti."

Laras mengangguk, "Iya, Mah " jawabnya pelan. Lalu mengambil dompet, dan menyerahkan uang hampir sebesar satu juta lebih.

"Ini, Mah, cari kontrakan nggak usah yang besar-besar ya, Mah."

Mama, hanya mengangguk. "Sekarang tidurlah. pasti sebentar lagi ada yang mengamuk. tutup pintu kamarmu." Lalu, Mama keluar dari kamar.

kebiasaan Puspa yang selalu mengamuk. kelabilan hatinya terkadang membuat Laras sebal.

Benar saja, kata Mama. sekilas samar-samar Laras, mendengar berbagai benda pecah dari kamar kakaknya itu. Entah apa yang pecah. Laras sudah tak peduli lagi pada Puspa.

***

Malam ini, tampak Ardi berada di sebuah kamar bersama salah satu temannya.

"Maafkan aku bro, jadi numpang di rumahmu, tadinya aku mau ke cafeku, tapi aku lagi ingin punya teman bicara."

"Santai sajalah, bro. Ceritakan apa yang telah terjadi. bukan karena perempuan kan?"

Ardi tersenyum kecut. Selama hidupnya, rasanya sudah puas bergelimang wanita. kini saat hidupnya ingin lebih tenang, dengan memilih Puspa sebagai pelabuhan terakhirnya, ternyata gagal. Ardi bak mendapat buah busuk. Malam pertama pun menjadi aib baginya. Mendapati Puspa sudah tak perawan lagi. Mungkin ini bisa saja karma bagi dirinya. Tapi , perilaku Puspa yang membuatnya tak bisa menahan emosi.

"Ar ... jangan melamun, ini kopimu. Maafkan bila kata-kataku menyinggungmu."

"Tidak, Bas. Aku ingin ... oh ya ... masih kau simpan nomer Mister Road?"

Baskoro, terdiam, "Mengapa kau tanya, apakah?"

"Tidak, aku hanya ingin bertemu saja, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."

Baskoro hanya mengangguk mengerti. Lalu menyerahkan nomor tersebut.

***

Pagi ini, Ardi kembali seperti biasa, kegiatannya yaitu menjadi koki di cafenya, menu andalan nasi goreng spesial menjadi favorite para pengunjung pagi ini.

Banyak para pekerja kantoran yang tak sempat sarapan, di jam bebas tugasnya, menyempatkan diri mampir ke cafe Ardi hanya untuk sekedar minum kopi ataupun mencari menu spesial tersebut.

Andai, Ardi tak punya kharisma pasti drinya sangat kesusahan mencari pelanggan cafenya.

Hem, sebagian mereka mengenal Ardi dari masih lajang. Seorang yang jagoan di jalanan. Sudah mendarah daging, setiap trek motor besar, dirinya pasti menang. Pundi-pundi uang dikumpulkan hanya untuk bersenang-senang saja. Memuaskan masa muda.

Banyak teman wanita dalam pelukan Ardi.

Lamunan itu, terhenti, kala Laras tak sengaja, menyenggol beberapa barang dekat pintu.

Semua mata memandangnya, termasuk Ardi. Laras segera membungkuk meminta maaf, dan membetulkan kembali barang-barang yang terbuat dari plastik tersebut. Untung saja, tidak pecah, batin Laras.

Waktu berlalu biasa saja. Laras bekerja tanpa banyak kata. Merasa ada yang janggal saja hari ini. Ingatannya tak pernah lupa atas perlakuan Ardi tempo hari.

Tiba-tiba, telepon Laras, berdering. Laras segera menerima panggilan ponsel itu yang ternyata dari Mamanya.

"Iya, Mah."

Mama mengabarkan kalau sudah mendapatkan sebuah kontrakan yang tak jauh dari tempat kerja Laras.

Laras tersenyum, "Iya, Mah. semoga ini yang terbaik, ya Mah. Maafkan Laras nggak bisa bantu beres-beres deh, tapi besok Laras mau ijin seharian biar bisa secepatnya pindah."

Tak lama panggilan tersebutpun berhenti.

Laras tak menyadari, ada seseorang di belakang Laras.

"Kenapa, pindah? di usir Mak Lampir?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status