"Lukman, biarkan karyawan istirahat dulu, aku juga mau makan, aku ajak adikku."
Lukman hanya mengacungkan jempolnya tanda mengerti.Laras terus mengikuti Ardi yang juga adalah kakak iparnya. Kali ini, mereka makan siang di sebuah warung kecil, namun bersih dan makanannya tergolong enak. Walaupun Ardi adalah seorang koki namun, dirinya pun sering menikmati semua makanan buatan orang lain.semua berlalu biasa-biasa saja.***"Nggak bisa Mah, bulan ini aku banyak pengeluaran, kayaknya nggak bisa bantu deh, Mama jual apa dulu,kek."Akhirnya, pembicaraan lewat telepon itupun berakhir.Wanita bertubuh langsing, wajah oval, berambut panjang, nampak mengembuskan napasnya pelan."Siapa? Mama kamu lagi? Minta uang lagi?""Iya, Den, entahlah, mengapa juga aku selalu menjadi tumpuan keluargaku, padahal ada Laras yang juga sudah kerja."ungkapnya."Sudahlah, nanti aku bantu. Mintalah dulu pada keuangan, tapi ...."Wanita itu tersenyum sumringah, lelaki berkacamata, ini betul-betul royal pada wanita bernama Puspa ini."Benar kah?""Asal ...""Asal apa?""Biasa temani aku makan malam, Deal?"Puspa tersenyum dan mengangguk pelan. Gila., nih orang. udah tahu aku sudah nikah, tali masih juga peduli banget denganku, pikir Puspa dan kembali ke tempat duduknya. Rok spannya agak tersingkap sedikit, agaknya, tangan lelaki itu sudah lama terparkir di lahan yang mulus milik Puspa.***"Mas Ardi aku pulang terlambat ya, maaf meetingnya belum selesai." Begitu Puspa membuat voice mail untuk suaminya.Sore terlihat syahdu, warna semburat orange di ufuk langit membuat dua insan tersebut terbuai dalam suasana. Denny, bos dari Puspa. walaupun, 10 tahun usianya di atas Puspa, namun tak terlihat berusia 40 tahun lebih."Kita ke Anyer, yuk. kayane enak tuh, di situ tuh ...." Denny mengedipkan sebelah matanya.Puspa tersenyum, "Ayok, tapi malam ini nggak bisa nginep, kita langsung pulang ya?""Oke, sayang."Denny yang bertampang baby face langsung mengecup pipi Puspa. Keduanya pun berlenggang pergi dari kantor.Suara mobil Denny menderu pelan membelah jalanan yang tak begitu macet.Entah salah siapa? keduanya sudah dalam posisi berumah tangga, Denny, status pimpinan direktur, beristri cantik, kurang apa lagi. Punya dua putri yang sudah beranjak dewasa. Secara materi sudah lebih dari cukup. Namun kebutuhan biologisnya masih kurang terpuaskan. Hingga, Puspa yang notebene karyawan yang loyalitasnya tinggi. Setiap pertemuan membuat mereka semakin akrab. Puspa haus akan kemewahan, impiannya belum terwujud, sementara suaminya sepertinya bertambah dingin saja padanya. Apalagi tuntutan dari keluarga suami yang selalu menanyakan anak. Ah, Puspa jadi tak berselera bila berhubungan dengan suaminya. Bukan kenikmatan yang didapatnya, malah tuntutan yang tak bisa dia penuhi.Lagi-lagi, Tangan Denny selalu membuatnya dirinya nyaman, entahlah, walaupun mereka tak pernah berbuat lebih.Hanya usapan-usapan nakal saja. Terkadang pun, Puspa yang ingin merasakan tangan kekar itu memanjakannya.Seperti kali ini, tangan Denny tak pernah lepas dari paha mulus milik Puspa. Terkadang jari jemari Denny, menyentuh gundukan yang masih berbalut kain. Hanya mengelusnya saja. Setelahnya mereka saling pandang lalu tersenyum.Ah, cinta macam apa ini.***"Aaahhg!" jerit Laras keras dari kamar mandi."Kenapa Ras?" tanya Mama kaget."Anu, Mah ... ada kecoa! Aaaa!" Laras menjerit lagi."Mama! tolong Ma! kecoanya ada dua! ""Ardi, tuh ada Kecoa, hiiii ...' Mama sudah lari menyelamatkan diri masuk kamar dan menutupnya rapat-rapat."Ahhh ..." Ardi kaget luar biasa, pasalnya Laras, lari ketakutan dan menabrak dirinya.Dalam keadaan bugil!Sementara itu, jauh di sebuah tempat, nampak, seseorang lelaki perlente duduk di belakang meja kerjanya. Dua orang bodyguardnya ada di samping pintu masuk."Bos, kira-kira apa masih bisa 'on'?" tanya seseorang yang berada di depan lelaki perlente itu."Hem, kau tahu, sebenarnya hanya ada satu yang bisa melakukan ini semua. Dia jagonya. Tapi sayang, dirinya sudah berjanji padaku tak akan kembali lagi.""Siapa dia, bos. Apa perlu aku cari?""Tidak, aku pun sudah berjanji padanya, tidak akan mencarinya. Apa lagi aku –aku sudah pernah menorehkan luka di hatinya."Kedua lelaki yang usianya sangat berbeda itu terdiam , tenggelam dalam pikirannya masing-masing."Aku akan coba mencarinya, bos."Bos besar itu menggelengkan kepalanya."Dia bukan orang yang gampang kau bujuk.""Benarkah, aku penasaran Bos.""Ha ha ha , simpan rasa penasaranmu. Dia bukan tandinganmu." Bos besar masih tetap tertawa. Tawanya terdengar meremehkan lelaki di depannya."Sudahlah, tak perlu di cari. Kini, aku mau lihat kiprahmu, Sudah aku beri fasilitas banyak untukmu, Termasuk satu perusahaan, apa sudah menghasilkan ?"Pertanyaan itu justru membuat lelaki itu nyengir, "Beri saya waktu, untuk laporan Bos."Lagi-lagi ada gelak tawa dari bibir gelap milik bos besar."Pergilah! kau membuatku mual saja. Aku tunggu janji laporanmu."Tak lama, lelaki berjas itupun keluar dari ruangan tersebut. Sepeninggalnya."Awasi terus anak konglomerat itu. Cuma lagaknya saja yang belagu. Aku curiga, nanti malah usaha kita terciduk.""Baik, Bos." ucap kedua bodyguard bebarengan.Bos besar tersenyum, dan kembali menghisap kuat-kuat cerutunya.***Dalam, kamarnya, ibu Kartika, masih asik menghitung uang hasil pinjaman dari salah satu temannya."Hem, bisa untuk satu babak. Aku tuh gemes, Sama ci Amay. Awas lu ci. ntar uang lu yang pindah ke tangan gue." katanya bermonolog pada diri sendiri.Tak menyadari, sudah terjadi kekonyolan antara anaknya dan menantunya.Tak lama, ibu Kartika menelepon seseorang, lalu asik berbincang lama terkadang tertawa bahagia."Bagaimana, ci? jadi kan?""Jadi lah. Eh, ajak orang lain lain, satu orang Lima ratus,""Ah, yang bener? oke aku nanti ajak temenku."Tak lama, sambungan telepon itupun berhenti.Kembali ibu Kartika, menghubungi seseorang lagi."Besok ya. jangan lupa." katanya lantang di ponselnya.Wah beres deh, Hem ... apa lagi ya?Kejadian sore itu, masih terngiang diingatan Ardi. Bagaimana tidak? tubuh Laras, jatuh tepat di atas tubuhnya. Yang membuatnya tak bisa lupa, Laras dalam keadaan bugil!Mata liar Ardi menangkap dua gundukan daging yang putih mulus dan montok, menempel tepat di dadanya. Bukannya, cepat bangun, Laras justru memeluk Ardi, saking takutnya pada kecoa yang ada di kamar mandi. Rambut panjang Laras masih masih, dan berbusa. Menyebabkan, lantai pun ikut basah dan akhirnya menjadi licin.Imbasnya, pas Laras mau berdiri bukannya berdiri dengan tegak, malah kepleset dan lagi-lagi, Ardi harus menangkap tubuh Laras yang hampir limbung."Ah, sialan! kenapa juga aku ingat terus!" gerutu Ardi dan memuku pelanl kepalanya sendiri.Segera disambarnya, jaket kulitnya, "lebih baik aku ke rumah Lukman aja," Ardi segera pergi tanpa berpamitan pada ibu mertua dan adik iparnya.Mendengar suara deru motor besar milik Ardi, Ibu mertuanya langsung keluar, dan memanggilnya."Ardi, coba kau tengok ke kantor Puspa.
Sosok Ardi sedang terlihat diantara pacuan balap motor liar. Suara deru motor, meraung-raung dalam keriuhan malam ini."Bro, nggak biasanya lu, ikutan trek."Ardi tersenyum pada dua teman nongkrongnya. Tanpa menjawab."Lu lagi galau? tentang istri lu?"Ardi menatap keduanya, dan segera menatap arena balap, jalanan tol yang baru saja jadi, tapi belum diresmikan, menjadi lahan trek mereka."SIAP!". Terdengar aba-aba. Ardi memutar gas, bersiap menerjang jalanan malam ini.Helm full face itu, membantunya, menyamarkan ada air mata mengalir malam ini.DOR! bunyi tanda melajunya motor. Ardi langsung melesat meliuk-liuk dalam mengendalikan lajunya. Ada sekitar lima puluh lebih para trackers beradu malam ini.Ardi tak peduli lagi dengan sakit hatinya, melihat istri yang selama ini dinikahinya berbuat api di belakanganya. kesalahan fatal saat menerima dirinya menjadi seorang pendamping hidupnya. Dirinya berpikir Puspa akan bisa merubah gaya hidupnya, wanita cantik yang memang di taksirnya sejak
Grombyang!!!! kali ini beberapa peralatan dapur berhamburan dari tempatnya. Dua karyawan segera keluar dari ruangan tersebut. Tinggal Laras, berdiri terpaku melihat Kakak Iparnya, dalam keadaan marah yang amat sangat.bukannya menjauh, Laras justru mendekat pada Ardi."Mas ... Mas Ardi lagi marah?"Diam. Hanya suaranya yang memburu."Kalau marah jangan dibawa ke tempat kerja, Mas. kasihan yang lain pada takut kalau Mas Ardi marah." sambung Laras polos. Maksud hati ingin menenangkan emosi kakak iparnya.Saat, Ardi berbalik, Laras kaget, wajah sembab dari Ardi."Mas, habis nangis ya?"Ardi mengusap wajahnya kasar. Ardi tahu, adik istrinya ini begitu lugu. Rasanya tak mungkin melampiaskannya dalam marah di hadapannya.tiba-tiba, Ardi langsung menarik tangan Laras, berjalan ke depan, semua mata karyawan memandang mereka hingga deru motor besar pun meraung.Laras, memeluk pinggang Ardi kencang-kencang, karena lelaki yang sedang rapuh itu, melajukan motornya sangat kencang.Hingga, mata Lara
Diipandangnya wajah Laras sesaat. Ruangan ganti cafe yang memang sepi, karena jam pulang sudah berakhir dari tadi.Tangan Ardi bergerak pelan menuju dua gundukan kenyal yang masih terbalut kemeja rapi. Ardi meremas keduanya dengan kedua tangan tangannya, pelan. Laras kaget dan hendak menyingkirkan tangan itu. Tapi apa daya, tangan Ardi begitu kokoh menyerang dua aset miliknya. Gerakan meremas, memutar dari bawah gundukan itu membuat Laras yang baru pertama kali merasakan hal itu, merasa nyaman dan enak. Mata Laras terpejam merasakan pijatan tangan Ardi, satu kepalan pas dalam genggaman tangan itu."Ishh ..." Laras mendesis nikmati hal tersebut, antara sakit dan enak. Ardi tak berusaha membuka kemeja milik Laras. Dia hanya meremas-remas gundukan itu, menemukan dua ujungnya yang sudah berdiri. Jari Ardi semakin lihay, memainkannya, penutup bra-nya, sedikit terangkat ke atas. Masih berbalut kain kemeja, Ardi terus menikmati benda kenyal dalam tangannya tersebut. Seakan sudah lama Ardi tak
"Mas Ardi ..." Laras kaget, dan mengelus dadanya sendiri."Iya? di usir Mak Lampir?"Laras diam, dirinya paham maksud kakak iparnya ini. Laras mengangguk pelan."Dimana?" Laras menatap wajah lelaki di depannya, dan menyebutkan sebuah alamat."Ayo ....""Ah ... maksudnya?"Ardi tak pedulikan lagi, masih pakai pakaian seragam kokinya, Ardi mengantarkan Laras menuju alamat yang disebutkan tadi.Sesampainya di sana, sudah ada Mama yang sedang membereskan beberapa baju yang di bawanya, agaknya Mama pun tak membawa baju banyak."Assalamuallaikum ...""Wallaikumsalam.""Ardi?!" kata Mama kaget, menantunya malah mengantar Laras ke tempat tinggal barunya."Puspa berulah lagi, Mah?" tanya Ardi."Ah, paling cuma gertakan saja, Ardi. Mama juga nggak ambil pusing. ini mungkin untuk semetara saja. Mama hanya kasihan sama Laras, tiap hari berantem terus sama kakaknya. makanya dia aku ajak.." jelas Mama masih menutupi kekurangan Puspa depan suaminya.Ardi melihat keadaan rumah tersebut. "Apa tidak t
Perkelahian malam itu menjadi heboh, Ardi tak melepas orang yang mencoba merendahkan, emosi yang tak terkendali kembali melandanya. Kalau saja tidak ada yang melerai mereka, pasti Ardi akan bermasalah dengan polisi."SUDAH!! CUKUP!" Lalu, bunyi senapan terdengar tiga kali.Ardi tanpa pendamping, dirinya hanya beberapa orang saja yang kenal. Sedang orang yang dipukulnya nampak melihatnya dengan api kemarahan."Tunggu! pembalasan gue!!" ancamnya dan pergi meninggalkan tempat tersebut.Ardi pun menyambar helmnya, dan segera naik ke motornya, hendak pergi pula."Tunggu! kau belum ambil uangmu, aku tunggu satu jam di sini, bila kau tak datang uang taruhan hangus!" teriak seseorang pada Ardi.Ardi pun memutar motornya dan mendekati lelaki yang memang sudah memegang uang taruhan."Ini, malam ini kau punya nyali juga!" timpalnya pada Ardi dan menyerahkan uang berjumlah cukup banyak.Tanpa banyak bicara Ardi langsung melesat pergi meninggalkan lokasi. Ada rasa berdenyut dalam hati dan isi kepa
Ardi duduk di sebuah rumah usang, ini adalah rumah milik ibu tirinya. Sudah dua tahun yang lalu ibunya sudah kembali menikah dengan seseorang, dan kini sudah tidak ada di luar kota, mengikuti suaminya. Anak-anak mereka pun ikut. Ardi hanya lah anak sambung, dan sudah berkeluarga, jadi punya urusan sendiri, dan kehidupannya tak menarik di mata ibu tirinya.Di rumah yang masih di tempati adik dari ibunya yang agak sedikit terganggu jiwanya. Tapi, Ardi selalu memberi sedikit uang untuknya.Ardi mengeluarkan, uang dari dalam jaketnya, tumpukan uang itu cukup tebal juga, pikir Ardi. Pelan dirinya menghitung uang hasil trek malam itu. Hem, hampir tujuh juta lebih.Di ambilnya sebuah rokok dan mengisapnya. Pikiran seorang Ardi mulai berkelana.Bila dirinya, tak kembali. bagaimana bisa dapat uang berjuta-juta dalam semalam. Tangan Ardi meraba luka yang kini sudah tertutup sebuah plester."Laras ... " bisiknya sambil geleng-geleng kepala.Niatnya hanya mengertak gadis imut itu. Entah semua tin
Puspa, memandang suaminya, kilat matanya membuatnya semakin marah atas kata-kata Ardi barusan."Aku tahu, aku nggak ada artinya di matamu Mas! apa pantas untuk dipertahankan?""Aku mengharapkan kau bisa berubah, untuk saat ini pun aku berharap kau mau merubah seluruh sifat dan sikapmu.""Kau tahu Mas! aku sudah merasa terhina saat malam pertama. Kau bilang akan menerima aku sepenuhnya , tapi nyatanya?""Bila kau bilang siapa ayah anak itu, akan akan lebih menghormatimu, tapi kau malah menutupi, bahkan di belakangku kau mengugurkan kandungan itu tanpa ijin mama atau pun aku, suamimu. Di sini aku sudah tahu sifatmu, Aku bukan lelaki bodoh, aku tahu, kau sudah hamil di saat malam pertama kita!"Puspa terdiam, benar saja, suaminya sudah tahu hal tersebut. Makanya dirinya amat sangat benci pada dirinya. Ini yang membuatnya semakin terhina, juga sikap dan perilaku Ardi kala itu."Sudahlah, kau mau menceraikan aku kan?"Ardi menggeleng pelan."Aku beri kesempatan padamu, lagi. dan aku selalu