Share

Identitas yang Tersembunyi
Identitas yang Tersembunyi
Author: Suniversal

1. Mendapatkan Kepercayaan

[Virginia, Amerika Serikat]

Bekerja di Badan Intelijen Pusat tentu mengharuskan tiap anggotanya untuk punya kecerdasan di atas rata-rata. Mereka adalah manusia pilihan yang siap melakukan apa pun demi kepentingan negara. Salah satunya adalah pria berumur 28 tahun itu, si pemilik alis tebal dan iris mata biru tua yang sering kali disebut dengan Agen Ice Peak.

Sebelum resmi bergabung dengan lembaga tersebut, dia lebih dulu menjalani latihan panjang dan kejam. Latihan-latihan berat layaknya tentara yang hendak berperang di medan tempur. Lebih dari itu, egonya sering kali ditindas, dia dilarang untuk merasa kecewa jika tidak mendapatkan pujian. Mentalnya dilatih lebih keras daripada fisik, agar dia punya daya tahan tinggi untuk berurusan dengan sesuatu yang dapat menyerang pikiran. Sebab, otak yang baik dan sehat adalah senjata utamanya di lapangan.

Agen Ice Peak dikenal sebagai orang yang sangat cerdas di lingkungan sekitarnya. Bahkan, dia mendapatkan skor sempurna ketika lulus dari universitas ternama di Amerika Serikat, lebih tepatnya adalah Harvard University.

Sekarang adalah tahun keempat dia resmi menjadi seorang petugas intelijen, dan dia sedang menanti misi pertamanya di luar negeri. Pekerjaan seperti ini mungkin mengharuskannya untuk bertemu dan beradaptasi dengan para manusia aneh. Misalnya saja rakyat utopis, penyuap dan koruptor, pemuja kekuasaan, teroris, orang-orang anti-Amerika, atau bahkan ilmuwan gila yang bisa menghancurkan dunia! Yang paling penting, dia sudah punya banyak bekal untuk berurusan dengan itu semua.

"Nathan Lee, lulusan Universitas Pennsylvania yang menjadi pemilik sekaligus pendiri Edenma Corp. di New York. Kau lajang, berdarah Amerika-Korea dan punya banyak koneksi dengan perusahaan di negara tersebut, kau juga baru mendirikan cabang perusahaan di Korea Selatan. Kau tidak terlalu fasih berbahasa Korea karena sudah lama tinggal di Amerika, tapi kau tetap bisa mengerti apa yang para penutur bicarakan. Kau juga boleh menambahkan cerita apa pun sesuka hatimu. Dan ini adalah dompet barumu." Wanita pemakai kacamata itu memberikan sebuah dompet hitam kepada pria di depannya.

"Terima kasih," balas pria itu, Ice Peak.

"Sama-sama. Informasi pribadimu sudah selesai, tinggal informasi tentang perusahaan. Nicholas belum mengabariku, mungkin kau bisa menemuinya untuk berdiskusi."

"Ya, aku akan menemui Ketua terlebih dahulu."

Beralih dari ruangan itu, dia terus berjalan seorang diri menyusuri lorong yang pada tiap kolomnya tergantung bendera Amerika Serikat. Mengagumkan sekaligus menyeramkan. Terlepas dari beratnya pekerjaan, Ice Peak sering merasa bangga tiap menginjakkan kaki di atas logo bulat yang terpatri pada lantai, pun bangga memakai jas dan kacamata hitam layaknya aktor tampan dalam tayangan televisi. Mari kita lihat, apakah misinya kali ini juga serupa dengan film-film aksi? Atau malah berujung tragedi?

Sekali lagi, tidak ada yang tahu. Namun sebagai insan intelijen, dia harus bisa memprediksi masa depan.

Kini, ruangan luas dengan meja bundar sebagai tempat rapat itu telah diisi oleh dua orang pria, Ice Peak dan pemimpinnya, Ketua Abraham. Mereka duduk berhadapan dan salah satu dari mereka terus membolak-balik lembaran kertas di tangannya. Lelaki yang terlihat jauh lebih tua itu akhirnya membuka suara.

"Seperti yang kita tahu, sejak pergantian presiden Korea Selatan 2 tahun lalu, hubungan diplomatik antara Amerika dan Korea Selatan yang pada awalnya merupakan sekutu dan sahabat dekat, kini berada di ambang kehancuran. Penyebabnya adalah karena saat ini, Korea Selatan sedang dipimpin oleh presiden yang pro-Rusia. Mereka menyepakati kerja sama dengan Rusia di sektor migas tanpa sepengetahuan Amerika. Hubungan ini belum juga membaik sampai sekarang, ditambah mereka yang tampaknya tak acuh dengan gembar-gembor dari kita."

"Kemudian, enam bulan lalu agen kita mendapat informasi bahwa sebuah perusahaan di Korea Selatan sedang merancang senjata baru yang dinilai bisa melebihi teknologi Amerika. Sejak dulu, dua negara ini memang selalu menjalin kesepakatan baik tentang persenjataan. Tapi, beda cerita jika keadaannya seperti ini, militer Korea sudah melarang konsumen dari luar termasuk Amerika, serta menutup rapat-rapat kegiatan mereka dari publik. Mungkin, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mereka sembunyikan. Jadi, kau akan datang ke sana lewat celah bisnis untuk mencari tahu tentang rancangan besar mereka secara rahasia."

"Yes, Sir. Adakah tambahan mengenai Han Hillen? Mengingat direktur dari perusahaan itu adalah teman kuliahmu."

Abraham lantas mengernyitkan dahi, kemudian terkekeh tipis dan segera berbalas, "Astaga, kau ini. Yah, memang benar, tapi sudah sangat lama kami tidak berkomunikasi lagi. Saat masih muda, dia adalah orang yang mudah percaya tapi juga sangat pilih-pilih. Pastikan kau tidak membuatnya kesal hingga menolak tawaran kerja sama itu mentah-mentah."

"Dimengerti."

"Satu lagi, Korea Selatan memandang fisik, sempurnakanlah tampilanmu, dan kau akan aman. Itu saja, apa kau sudah siap untuk melakukan tugas ini?"

"Siap." Lelaki di depan sana menyahut tanpa ragu. "Semua informasi yang saya butuhkan sudah lengkap, tim sudah siap dan persiapannya juga sangat matang. Sebagai agen utama, saya pasti akan bertugas dengan baik."

"Bravo! Perkiraannya, jika kau cukup lihai untuk menyamar sampai rencana mereka terungkap, kau tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk bertarung sedikitpun. Namun, tugas baru bisa diberikan kapan saja kepadamu, bersiaplah," ujar Abraham, dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Kita sudah merencanakan ini sejak lama, saya harap kau berhasil melakukannya dengan baik. Tetaplah terhubung dan berkomunikasi dengan pusat, laporkan setiap kejadian dan jangan terima perintah dari luar."

"Siap."

"Ini pertemuan terakhir kita sebelum kau meninggalkan Langley. Selamat bertugas, Agen Ice Peak. Ah, maksud saya, Nathan Lee."

Di penghujung rapat, Ketua Abraham beranjak lebih dulu dari tempat dan pergi meninggalkan satu anggotanya dalam keheningan.

Nathan Lee, nama itu terdengar cocok untuknya. Sangat mencirikan bahwa dia adalah keturunan Korea, padahal nyatanya tidak seperti itu. Nathan Lee lahir dari orang tua berdarah Amerika, namanya tentu tidak akan memiliki unsur Korea, bukan?

Ssstt! Ini rahasia! Austin Noran Davis adalah nama asli pria itu. Tetapi untuk saat ini, jangan panggil dia dengan nama Austin ataupun 'Ice Peak', panggillah dia dengan nama Nathan Lee. Dia bahkan mewarnai rambut pirangnya jadi lebih gelap, hingga rekan kerjanya pangling dan mengira kalau Nathan memanglah keturunan Asia. Itu adalah salah satu alasan kenapa Nathan dipilih.

Sekarang, tugasnya adalah menjalankan operasi intelijen di Korea Selatan. Dia ditugaskan untuk hidup dan beradaptasi dengan orang-orang baru, menggunakan keahliannya dalam berkomunikasi alih-alih menyusup untuk dapatkan dokumen rahasia. Karena dalam operasinya, penyusupan tidak terlalu sering digunakan oleh mata-mata. Kadang, akan lebih mudah untuk berbaur dan mendapatkan kepercayaan dari para targetnya.

Ketika Nathan hendak meninggalkan ruangan tersebut, sebuah panggilan dari salah satu ponselnya menghentikan langkah pria itu. Tanpa tunggu lama, dia segera menempelkan ponsel pada telinganya.

"Ada apa?"

"Datang ke kantorku sekarang, aku butuh tanda tanganmu untuk menyelesaikan proyek perusahaanmu ini. Tolong sekalian minta dokumen nomor 20 dari Victor saat kau melewati ruangannya, dan bawa juga DVD yang dia pinjam dariku."

"Baik. Omong-omong, sangat tidak profesional membahas pekerjaan lewat nomor pribadi," cibir Nathan, sengaja, sebab yang menghubunginya itu adalah teman dekat tidak tahu diri.

"Apa salahnya? Berhenti mencari kesalahanku dan datang ke sini sekarang juga!"

*****

[Seoul, Korea Selatan]

 

"Silakan duduk."

Seorang pria paruh baya terus menampilkan senyum ketika mengajak rekan spesialnya untuk duduk di sofa tamu. Pagi itu, direktur Han Hillen kedatangan seseorang dari Amerika yang mengaku tertarik untuk menjalin kerja sama bisnis.

Siapa lagi kalau bukan Nathan Lee? Lelaki itu datang dengan penuh percaya diri dalam balutan jas hitam layaknya pengusaha ternama. Firasatnya kian membaik karena mendapat sambutan yang teramat sangat ramah dari si tuan rumah. Bahkan Nathan juga mendapat undangan acara makan bersama.

Barangkali karena sebelumnya Nathan Lee dan James Park sudah pernah terhubung melalui rapat daring, direktur berusia 53 tahun itu jadi sangat antusias terhadap kedatangan Nathan. Lihatlah senyuman yang tak pernah luntur di bibirnya, hingga sesaat membuat Nathan waspada. Karena jujur saja, itu cukup berlebihan.

"Terima kasih banyak," tutur Nathan selagi mendudukkan tubuhnya.

"Bagaimana perjalanannya? Apa kau sempat berkeliling di Kota Seoul? Sekarang ini awal musim panas, banyak yang bilang kalau musim panas adalah waktu yang paling menyenangkan di Korea. Kalau begitu, cobalah minuman ini, sikhye akan menyegarkan tubuhmu."

"Ah, terima kasih. Perjalanannya cukup melelahkan, namun itu tidak lagi berarti karena saya disambut dengan baik seperti ini." Nathan tersenyum ramah, kemudian meraih dan mencicip minuman yang masih terasa asing dalam lidah baratnya itu.

"Kau datang seorang diri ke Korea? Tidak mengajak asisten atau istrimu?" tanya James Park kemudian.

"Saya biasa melakukan perjalanan bisnis sendiri, selama keperluannya masih bisa ditangani tanpa bantuan asisten."

"Begitukah? Padahal menurut saya, dengan membawa seseorang bersamamu itu akan jauh lebih menyenangkan. Apalagi jika tempatnya cukup jauh, bisa sekalian berlibur bersama istri, misalnya." James terkekeh ringan. "Memangnya kau tidak punya istri?" tanyanya kemudian.

Tidak ada yang bisa Nathan lakukan selain tersenyum dan menjawab, "Belum, saya belum berkeinginan untuk punya pasangan, yang menjadi prioritas saya saat ini adalah pekerjaan. Saya ingin memperbanyak relasi, dan saya cukup percaya diri untuk menawarkan kerja sama dengan perusahaan yang Anda pimpin." Terdengar mulus sekali caranya dalam mengalihkan topik obrolan, hingga James Park termangu menerima penjelasannya.

Nathan segera mengoperasikan laptopnya, menunjukkan informasi kompleks dari program yang akan ditawarkan kepada sosok di hadapannya. Bukan tipuan, yang Nathan perlihatkan itu sungguhlah eksperimen buatan Angkatan Darat, dan sama sekali belum dibocorkan kepada publik.

"Lembaga saya, Edenma adalah perusahaan riset teknologi yang baru saja membuka cabang di Seoul, dan saya tertarik untuk ikut andil dalam pengembangan senjata berbasis teknologi yang lebih maju dengan Han Hillen. Salah satu produk yang telah diteliti dan dikembangkan oleh Edenma adalah peluru pintar ini. Punya kaliber 7,62 x 51 milimeter, dia bisa mengikuti arah targetnya dan punya akurasi yang sangat tinggi, tapi peluru ini harus memakai senapan yang punya sistem pemandu agar sensor di dalam pelurunya bisa bekerja. Maka dari itu, kami ingin senjata tipe baru yang sama canggihnya dengan produk ini, dan saya rasa Han Hillen adalah pilihan yang tepat."

"Ini menarik," kata James. "Ilmuwan saya juga punya inovasi senjata yang jauh lebih unggul dari senjata lama, dan itu masih dalam tahap pengembangan. Sepertinya joint venture memang bisa meningkatkan keberhasilan proyek ini. Tapi ada yang ingin saya tanyakan padamu, apa kau terikat dengan pemerintah?"

"Oh, tidak, kami independen," balas Nathan.

"Kalau begitu, apa kau bersedia untuk tidak menyebarluaskan proyek ini ke negara lain setelah semuanya selesai? Termasuk Amerika. Tapi pastinya untuk pembagian keuntungan, kau tidak akan merasa rugi."

Nathan lantas mengangguk. Semua kebohongannya seolah mencapai puncak saat dia mengatakan, "Saya bersedia."

James Park beralih menyandarkan punggungnya pada sofa selagi terus menimbang-nimbang tawaran tersebut. Sedangkan Nathan, dengan sabar ia menunggu tanpa sedikit pun terlihat jemu.

Setelah pertimbangan yang cukup lama, James akhirnya angkat bicara. "Sebenarnya, saya tidak pernah setuju untuk bekerja dengan perusahaan asing. Kebetulan saja yang datang sekarang adalah dirimu, saya jadi tertarik. Baiklah, saya akan menerima kerja sama ini tapi dengan satu syarat, kau harus bersedia untuk dijodohkan dengan anak saya."

Nathan tetap bergeming, namun senyuman di wajahnya perlahan memudar dan tergantikan oleh raut kebingungan.

"Dijodohkan?"

"Iya. Jika kau bersedia untuk jadi menantu, maka saya juga akan dengan senang hati untuk jadi mitra bisnismu, dan kita bisa mengadakan pertemuan yang lebih besar di lain hari," kata James dengan gembira.

"Setahu saya, Anda hanya punya satu anak, dan namanya adalah ...."

"Diana Park. Kau tahu tentangnya? Dia perempuan paling cantik di dunia ini, dia penyanyi dengan suara terindah, sayangnya dia selalu menutup diri dari orang-orang yang ingin mendekatinya. Padahal usia saya sudah tidak muda dan ingin sekali melihat anak itu menikah. Jadi, cara yang paling cepat adalah dengan menjodohkannya, karena saya yakin dia tidak akan membantah perintah saya. Percaya atau tidak, saya telah lama melakukan pencarian, dan insting saya mengatakan kalau dirimu adalah orang yang paling cocok."

"Ah, begini, daripada perjodohan, barangkali ada syarat yang lebih menguntungkan untuk kedua belah pihak? Atau mungkin saya akan berkenalan dengan anak Anda terlebih dahulu, tidak langsung menikah—" Nathan sedang berusaha menawar, namun ucapannya tidak selesai karena James malah tertawa dan bersikap dingin seolah sedang meremehkan kehadiran Nathan.

"Jadi, kau tidak mau menikah dengan anakku? Baiklah, itu bukan masalah, kau bisa membatalkan semuanya dan tidak perlu datang lagi ke sini."

Nathan benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi dia ingin menolak perjodohan itu mentah-mentah, karena bukan itu tujuannya datang kemari! Nathan tidak pernah mengharapkan ini. Apalagi sekarang dia sedang berada dalam misi, memiliki hubungan dengan orang asing pasti akan memberatkannya. Namun di lain sisi ia berpikir, tugasnya mungkin tak akan berjalan dengan lancar kalau dia sampai membuat James Park kecewa. Yang berarti itu juga tidak akan bagus untuk kariernya.

Baiklah. Barangkali tiada salahnya Nathan mempertimbangkan perjodohan itu. Lagi pula, Nathan bisa berkamuflase menjadi siapa saja, setidaknya sampai tugas dia selesai. Termasuk menjadi seorang suami? Ya, tentu saja!

Nathan tersengih tipis, kemudian membalas, "Izinkan saya untuk memikirkannya terlebih dahulu. Karena pernikahan itu sangat sakral, butuh pertimbangan matang untuk melakukannya. Tapi, saya jamin Anda akan mendapat kabar dalam dua minggu kedepan. Saya harap Anda juga serius tentang perjanjian ini."

Lelaki pemilik alis tebal itu akhirnya pasrah, namun dia merasa bahwa rencananya akan berjalan dengan baik setelah melihat kegembiraan James.

"Masalah bisnis, kau tenang saja. Sekarang pikirkanlah untuk menjadi pendamping anakku. Kalian bisa melakukan kencan atau pendekatan untuk memantapkan hati masing-masing. Nanti akan saya berikan kartu namamu kepadanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status