Share

3. Momen Kecil yang Manis

Nathan berjalan lambat laun memasuki rumah bernuansa modern milik Diana. Sekarang adalah hari kedua setelah mereka menikah, Nathan baru saja pulang dari pertemuannya dengan keluarga besar Park. Jam dinding hampir menunjukkan pukul 12 malam dan tidak ada siapa pun di sekitar Nathan.

Seperti menyusuri museum, pria tampan itu terus mengamati setiap inci rumah dengan mata elangnya. Melihat-lihat vas bunga besar di sekitar ruang tamu, lukisan dan karya seni yang terpampang di dinding hingga sudut-sudut atas ruangan. Hanya ada satu CCTV yang terpasang di ruang tamu itu dan mengarah ke pintu masuk utama, maka Nathan berjalan menuju titik buta, lebih tepatnya mendekati kabinet yang terletak di samping tangga. Nathan langsung meletakkan benda seukuran kuku orang dewasa di antara tumpukan buku dan hiasan bunga. Bukan apa-apa, itu hanya alat perekam sederhana yang akan ia sembunyikan di kamarnya juga. Untuk berjaga-jaga.

Kemudian Nathan berangsur menaiki tangga, dia tetap harus melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, karena mungkin saja Diana sudah tidur lebih dulu di kamar mereka. Namun ternyata dugaan Nathan meleset, di dalam ruangan gelap itu masih ada sumber cahaya dari lampu tidur dan ponsel yang sedang dimainkan oleh Diana. Perempuan manis itu tampaknya tidak sadar akan kehadiran Nathan.

"Di mana sakelar—"

"AHH!"

Suara jeritan yang sangat tiba-tiba itu juga mengejutkan Nathan. Mereka berdua sama-sama terdiam sampai akhirnya Nathan berhasil menyalakan lampu kamar. Oh, malangnya, Nathan hanya bisa tersengih tipis melihat Diana yang benar-benar ketakutan hingga menutupi mulutnya dengan tangan.

"Aku minta maaf, aku tidak mengetuk pintu karena kukira kau sudah tidur," ucap Nathan.

"Aku hampir pingsan."

Diana belum terbiasa dengan semua perubahan yang mendadak ini, dia lupa kalau kamar itu bukan lagi miliknya seorang, tetapi juga milik Nathan. Dan ternyata, ini adalah pertama kalinya mereka bertatap muka di dalam kamar. Pasalnya kemarin malam Diana tidur lebih dulu akibat kelelahan, lalu paginya dia bangun dan mendapat kabar dari Ibu bahwa Nathan telah pergi bersama Ayah serta saudaranya. Alhasil Diana mengira kalau pernikahan mereka benar-benar hanya satu hari. Namun sekarang Diana melihat pria itu lagi, sedang tersenyum sambil melepaskan arlojinya.

"Sekali lagi aku minta maaf. Kenapa kau belum tidur?" tanya Nathan.

"Aku ... menunggumu pulang." Diana bergumam dengan sangat pelan, namun suara kecil itu tetap terdengar jelas di telinga Nathan.

"Kau sangat manis."

Diana tercenung mendengar kalimat biasa yang sering ia dapatkan dari penggemarnya. Tetapi kali ini sangat berbeda, yang mengatakan itu adalah Nathan. Jantungnya berdegup lebih kencang, menjalarkan rasa hangat pada sekujur tubuh sampai-sampai wajahnya pun ikut memanas.

Kenapa Diana jadi salah tingkah? Padahal Nathan terlihat biasa saja, dia menaruh arlojinya di dalam lemari kecil dan pergi menuju kamar mandi dengan tenang. Sudahlah. Lebih baik Diana juga menyibukkan diri dengan cara menyapa penggemarnya di media sosial.

Pertama-tama, dia membuka fitur kamera dan berpose dengan manis di depannya, kemudian dia memilih beberapa gambar yang paling bagus untuk diunggah. Sesekali Diana juga memberi tanggapan pada postingan para penggemarnya. Penyanyi berusia 27 tahun itu sangat populer di kalangan penggemar musik berkat suara dan visualnya yang paripurna. Selain berbakat di bidang musik, Diana juga berbakat dalam melumpuhkan hati penggemarnya. Tidak heran kalau dia sering disebut-sebut sebagai kekasih mereka, sampai berbondong-bondong menggunakan hastag patah hati setelah mendengar berita bahwa Diana akan menikah. Sakit perut Diana akibat tertawa melihatnya.

"Sedang menyapa penggemarmu?" Pertanyaan yang sangat tepat itu keluar dari bibir Nathan, dia masih menyisir rambutnya ketika berjalan menghampiri kasur.

"Ya, you're right," balas Diana sambil tersenyum. Segeralah dia menyudahi kegiatan itu dan menyimpan ponselnya di atas nakas. "Kau pasti lelah, biar kumatikan lampunya agar kau bisa cepat tidur," katanya, kemudian beranjak untuk mematikan tombol lampu.

Ruangan itu kembali gelap, hanya tersisa pencahayaan dari lampu tidur di kedua sisi kasur. Diana beringsut merebahkan dirinya lagi di samping Nathan, namun karena perasaan canggung yang masih meliputi hati, mereka berdua enggan untuk lebih mendekatkan diri.

Tetapi bukannya cepat-cepat tidur, Nathan malah membuka percakapan. "Bagaimana tanggapan mereka saat tahu kau menikah?" tanyanya.

"Penggemarku? Ya ... pastinya banyak yang merasa sedih dan kecewa, tapi sebagian besar dari mereka mendukung dan mengirimkan banyak ucapan selamat kepadaku."

"Baguslah. Selalu dengarkan orang-orang yang mendukungmu, kau tidak perlu membaca komentar buruk."

Diana mengangguk setuju, kemudian ada sekelebat persoalan di benaknya yang mendorong dia untuk bertanya, "Ehm ... aku masih penasaran, kenapa kau menerima perjodohan ini?"

Tidak langsung menjawab, Nathan lebih dulu tersenyum dan melirik Wanita di sampingnya. Dia berkata, "Awalnya aku menolak, tapi setelah mengetahui siapa yang akan menjadi jodohku, keputusanku berubah. Aku pernah melihat beritamu di TV dan internet, benarkah kau menjadi relawan? Ternyata kau bukan hanya populer, tapi juga punya empati dan jiwa sosial yang tinggi. Aku selalu menghormati orang-orang seperti itu. Sungguh seperti mimpi saat ayahmu memilihku untuk jadi menantunya. Bagaimana denganmu?"

"Ehm, terima kasih banyak. Sepertinya alasanku agak aneh, aku hanya ... menuruti keinginan Ayah. Dia selalu berkata bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, dan selalu ingin melihatku menikah. Tapi, ini bukan berarti aku terpaksa untuk menerimamu sebagai suamiku, entah kenapa aku malah merasa senang." Diana tersenyum kecil sambil terus menundukkan pandangan. "Kukira kau tidak mengenalku dan akan menganggapku seperti orang biasa, ternyata kau sama seperti penggemarku."

"Aku memang penggemarmu yang paling beruntung. Aku akan sangat bahagia jika kau menyanyikan sebuah lagu untukku dengan suaramu yang indah itu," ucap Nathan yang serta merta membuat Diana tersipu.

"Nanti saja, ini sudah malam, kita perlu tidur."

*****

Denting alat makan saling bersahutan dari arah dapur, dua orang penghuninya terlihat duduk bersebelahan dan asyik menyantap sarapan. Mereka tidak bertengkar, namun tiap kali Nathan mengatakan sesuatu atau sekadar basa-basi memuji makanan, Diana hanya meresponnya dengan singkat. Mungkin karena canggung atau memang tidak ingin bicara. Nathan jadi segan untuk kembali bersuara.

Padahal nyatanya, Diana sedang memikirkan cara yang tepat untuk mengajak Nathan berkeliling kota. Mungkin bisa saja dia berkata dengan lugas seperti 'Ayo berkeliling denganku!' atau 'Aku ingin jalan-jalan,' tetapi Diana terus merasa kalau itu akan terdengar aneh. Ini semua karena perintah ayahnya, ingin sekali Diana menolak dan berkata 'Kalau begitu kenapa tidak Ayah saja yang mengajak Nathan jalan-jalan?' namun itu juga pasti terdengar aneh.

"Kau belum memakannya sedikitpun."

Ucapan Nathan tiba-tiba mengagetkan Diana, dia tersadar dan segera menatap sang suami yang sedang mentransfer lauk-pauk ke dalam piringnya.

"Nathan, aku harus mengatakan ini."

Kini giliran Nathan yang terdiam menatap Wanita di sampingnya. "Kenapa? Sarapannya tidak enak? Atau kau ingin menu lain?" tanyanya.

"Eh, tidak, aku hanya ingin mengajakmu berkeliling kota karena disuruh Ayah."

Sempat waswas karena Diana terus menunduk, ternyata jawabannya justru membuat Nathan tergelak. Entah gugup atau memang polos, padahal kan tidak perlu mengatakan kalau itu perintah dari ayahnya.

"Kau membuatku takut. Tapi baiklah, kita akan berkeliling setelah ini."

Tidak butuh waktu lama untuk bersiap-siap, dua jam kemudian mereka sudah berada di dalam mobil dengan Nathan yang memegang kemudi. Nathan terlihat sangat tampan dalam kemeja pendek dan kacamata hitamnya, sesuai tema musim panas. Sedangkan Diana justru memakai hoodie panjang ditambah topi yang hampir menutupi matanya! Meskipun begitu, raut wajah Diana menyiratkan kalau dirinya sangat antusias, sayangnya dia malu untuk menunjukkan semangat itu di depan Nathan. Dia hanya bisa tersenyum-senyum saat mobil putih yang mereka tumpangi meninggalkan area perbukitan tempat rumahnya berada.

Melaju perlahan-lahan saja, Nathan masih harus menyesuaikan diri dengan kendaraan baru yang diberikan oleh James Park. Sungguh luar biasa perlakuan yang Nathan dapatkan, apa dia masih tega untuk meninggalkan Diana setelah misinya selesai? Entahlah, tidak ada yang tahu bagaimana hati terdalam Nathan memandang ini semua.

"Kita pergi ke arah mana?" tanya Nathan.

"Kanan! Nanti kita akan mengunjungi istana, museum, taman hiburan, pusat perbelanjaan, dan yang paling utama adalah Itaewon! Apa kau pernah melihatnya di drama Korea? Itaewon itu bagaikan surga untukku, di sana ada banyak sekali kedai makanan dan tempat hiburan, kita bisa mampir dan membeli makanan di sana!" seru Diana.

"Wow, ada berapa tujuan kita?"

"Banyak! Aku ingin menunjukkan semuanya padamu. Tapi kita harus berkendara lebih lama, karena di sekitar sini hanya ada hotel, kantor pemerintah, bursa saham, gedung perkantoran, bank dan pusat keuangan. Area ini selalu padat saat pagi dan sore, mungkin karena banyak karyawan yang pulang pergi. Kau harus berangkat sangat pagi untuk menghindari kemacetan, atau sebaliknya, berangkat sangat siang setelah lenggang."

Nathan terkekeh. "Sepertinya kau sering terjebak macet sampai paham lalu lintasnya. Memangnya, di mana tempatmu bekerja? Apa di sekitar sini juga?"

Lagi-lagi Diana bergeleng. "Masih jauh, nanti kita juga akan melewatinya, atau mungkin kau mau berkunjung? Agensiku terbuka untukmu. Tapi, jangan lupa memakai masker!" Diana segera mengambil dua buah masker hitam dari tas kecilnya, sengaja disiapkan untuk mereka berdua.

"Haruskah?" tanya Nathan lagi. Untuk dia sendiri, barang itu memang sangat penting dan berguna.

Diana menjawab, "Tentu saja! Selain berfungsi untuk menghalau debu dan virus, ini juga bisa menyembunyikan wajah kita dari paparazi. Aku selalu memakainya saat ada di tempat umum."

"Ada satu lagi fungsinya," sahut Nathan.

"Apa?"

"Meningkatkan ketampanan dan kecantikan."

Diana terpingkal-pingkal sampai memukul tangan Nathan yang tak bersalah. "Kau benar! Aku juga merasa jauh lebih tampan saat memakai masker!" serunya.

Lelaki yang sedang berusaha fokus pada jalanan itu hanya mengulum senyum, dia tidak mengerti kenapa candaannya bisa membuat Diana terbahak. Akan tetapi, saat itu Nathan merasa bahwa Diana mulai terbuka dan tidak lagi malu untuk menunjukkan perasaannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status