Aku mencoba bangkit, mengejar Mas Gaza yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Kubersimpuh di kakinya, meminta dia untuk tak main-main dengan talaknya. Apalagi hari ini adalah hari pertama kami menikah.
Apa kata orang nanti jika aku langsung mendapatkan talak di hari pertama pernikahanku. Aku tak mungkin tega membuat dua keluarga yang saling memeluk mesra bahkan bersahabat sejak lama pecah dan hancur seketika.
Sekali pun nanti Mas Gaza akan menutupi penyebab talaknya, tapi siapa yang bisa menjamin kabar yang beredar di luar sana? Aku justru takut, semakin ditutupi, opini liar di luar justru akan semakin mengular. Mereka akan mengira-ngira dan menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Kenapa baru sehari menikah langsung dijatuhkan talak? Jika sudah seperti itu, sama saja akan membuatku malu di depan umum. Mereka pasti akan berpikir macam-macam tentangku, sebab perempuan baik-baik tak mungkin akan dijatuhkan talak di malam pertama pernikahannya. Begitulah opini mereka.
Aku benar-benar pusing. Bayangan-bayangan buruk kembali merasuki otak. Apa yang harus kukatakan pada mereka jika Mas Gaza benar-benar menginginkan pernikahan ini berakhir. Apa jadinya jika Mas Gaza benar-benar tak ingin rujuk denganku kembali.
Arghh ... rasanya ingin semua ini hanya sekadar mimpi saja, tapi sayangnya semua benar adanya. Aku tak sedang bermimpi dan ini bukan fatamorgana.
"Mas, kumohon percayalah. Itu bukan aku. Aku nggak mungkin sebodoh itu." Aku terisak di lantai, samping tempat duduknya, tapi Mas Gaza tetap bergeming. Diusap kasar wajahnya lalu sedikit menyingkir seolah begitu takut aku menyentuh kakinya.
"Sudah, Ran. Dia terlalu kaku dan egois, tak pantas kamu tangisi seperti ini. Kamu baik dan cantik. Masih banyak laki-laki di luar sana yang menginginkanmu menjadi istri. Ayo berdiri. Nggak ada gunanya menangisi laki-laki seperti dia!"
Mas Alif memapahku berdiri dan menjauh dari laki-lakiku. Laki-laki yang selalu kusebut namanya akhir-akhir ini dan laki-laki yang kini menamparkan luka yang tak kunjung berhenti.
"Rania, maafkan Gaza, Nak. Biarkan dia sendiri dulu. Biar dia berpikir lebih jernih, apa yang dilakukannya barusan adalah sebuah kesalahan. Umi yakin kamu bukan perempuan dalam video itu," ucap Ummi lagi dan lagi. Dia kembali mendekapku dalam pelukannya.
"Bawa ke sini ponselmu, Za. Aku punya kawan pakar IT, biar dia cek benar tidaknya videomu itu. Biar kamu yakin kalau itu bukanlah adikku," pinta Mas Gaza lagi.
"Aku sudah hapus, Mas. Aku jijik melihatnya," ucap Mas Gaza singkat. Dia melengos saat tak sengaja beradu pandang denganku. Ah, Mas. Sebegitu jijikkah kamu padaku?
"Nggak apa-apa. Dia bisa melacak videomu meski sudah kamu hapus," ucap Mas Alif lagi namun tetap saja Mas Gaza menolak. Entah apa maunya. Tak kusangka laki-laki yang kupilih untuk kujadikan suami ternyata seegois ini.
"Aku sudah menjatuhkan talak padamu, Ran. Kamu bisa menikah dengan siapa pun yang kamu inginkan karena kita belum pernah melakukan hubungan badan¹," ucap Mas.Gaza lagi begitu datar. Sepertinya keputusan yang dia ambil benar-benar bulat.
"Untuk urusan pengadilan, biar aku yang urus," tambahnya lagi.
Berulang kali Abah dan Ummi menasehati, tapi berulang kali pula dia bergeming tak peduli. Rasanya hatiku benar-benar sakit diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri. Suami yang baru tadi pagi mengucapkan janji suci di hadapanNya.
"Sebenarnya siapa yang mengirimimu video itu, Za? Kenapa kamu lebih mempercayai dia daripada kami, keluargamu sendiri?"
Mas Alif mencoba untuk tenang meski kutahu dadanya bergemuruh penuh amarah. Dia jelas nggak terima jika adik yang selalu dia jaga pergaulannya, selalu dia awasi tiap kali berteman dengan siapapun, dan dia yakini tak mungkin melakukan hal menjijikan itu justru dituduh seenaknya oleh laki-laki yang baru saja mengambil alih tanggung jawabnya.
"Yang mengirimiku bukan satu orang, Mas. Melainkan dua orang yang mana keduanya orang-orang terdekatku. Aku sudah mengenal mereka lama, jauh jauh sekali sebelum aku mengenal Rania. Jika yang mengirimiku seorang atau yang nggak aku kenal, mungkin saja aku tak percaya. Tapi mereka, orang-orang yang kupercaya. Mereka tak mungkin membuat lelucon untuk pernikahanku," ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng perlahan di pelukan umi. Sedangkan ibu tak henti-hentinya menangis di sampingku.
"Bisa saja mereka iri melihat kamu menikah dengan Rania. Atau mereka--
"Nggak, Mas. Iri soal apa? Bahkan mereka tak terlalu mengenal Rania sebelumnya," ucapnya begitu yakin, membuat hatiku semakin terluka.
Lagi-lagi aku tak habis pikir kenapa Mas Gaza jauh lebih percaya dengan teman-temannya dibandingkan dengan aku bahkan dengan keluarganya sendiri.
"Mereka melakukan ini karena sangat menyayangiku, Mas. Tak ingin aku malu jika harus memiliki istri seperti Rania yang nyatanya memiliki video panas. Mereka melakukan ini hanya ingin aku berpikir ulang, melanjutkan pernikahan atau berhenti sampai di sini sebelum kebablasan. Aku yakin tak ada alasan lain selain itu. Aku kenal betul siapa mereka sebelumnya."
Mas Alif menghembuskan napas panjang lalu menatapku tanpa kata. Seolah ingin bilang bahwa saat ini dia menyerah untuk meyakinkan Mas Gaza.
"Alif benar, Gaza. Mungkin mereka iri padamu. Ayolah, anak Abah nggak mungkin seceroboh ini," ucap Abah lirih.
Abah duduk di samping Mas Gaza lalu menepuk pundaknya perlahan. Abah berusaha meyakinkan Mas Gaza jika aku bukanlah pelaku dalam video itu. Seyakin itu mereka, tapi sayangnya justru Mas Gaza tak yakin sedikitpun. Aku bisa apa sekarang? Tak ada. Hanya bisa menangis di pelukan ibu yang ikut menangisi nasibku.
"Maaf, Abah. Maafkan Gaza, tapi untuk kali ini Gaza lebih percaya mereka dibandingkan Rania. Gaza mengenal mereka sudah lama. Tak mungkin ada udang di balik batu. Gaza yakin itu. Gaza tahu siapa mereka," ucap Mas Gaza lagi.
"Besok, aku urus perceraian itu di pengadilan. Maafkan aku, Rania. Aku tetap tak bisa melanjutkan pernikahan kita. Jikalaupun aku bisa melanjutkan pernikahan ini, jujur aku tak bisa melupakan video itu begitu saja. Bahkan tiap kali menatapmu, video itu masih terngiang-ngiang di pelupuk mataku. Aku tak ingin mengecewakanmu lebih dalam nantinya."
Aku kembali tergugu di sofa tak jauh dari tempat Mas Gaza berada. Ibu dan umi memelukku, sama-sama menangis pilu. Aku tak bisa mengungkapkan bagaimana hancurnya hati ini. Baru saja menggenggam bahagia, secepat itu pula terhempas dalam kubangan duka.
"Baiklah kalau memang itu maumu, Mas. Aku tak akan lagi memaksa. Tapi percayalah, keputusan yang diambil dengan buru-buru saat tersulut emosi, suatu saat hanya akan menanggalkan sesal bahkan bisa saja membuatmu merutuki diri sendiri."
Mas Gaza menatapku beberapa detik lalu menoleh asal. Sekadar menatapku saja dia seolah begitu jijik, lantas buat apa aku terus memohon agar dia tetap tinggal?
***
Aku tak menyangka bahkan seakan masih tak percaya jika keputusan Mas Gaza untuk bercerai denganku benar-benar sudah bulat. Siapa pun termasuk Abah dan Umi tak bisa mencegah keinginannya. Dia tetap bersikukuh untuk berpisah. Tak peduli berulang kali kukatakan bahwa aku tak bersalah dalam hal ini. Mau tak mau aku juga harus merelakan semuanya. Aku pun harus ikhlas pergi dari sini karena tak lagi menjadi menantu dalam keluarga ini. Air mata tak jua terhenti meski berulang kali aku menyekanya. Sesak di dada belum jua sirna meski aku sudah berulang kali berusaha menata hati untuk lapang dada. Perih yang tertoreh tak bisa hilang begitu saja. Benar-benar sakit selaksa tertusuk sembilu berkali-kali. Berulang kali kucoba menghela napas panjang seraya beristighfar, berharap semua hilang perlahan. Namun nyatanya sakit ini seolah makin terasa menyesakkan. "Ran, kita pulang saja. Sepertinya hati Gaza memang sudah membatu. Tak perlud itangisi, Mas percaya kam
Muhammad Azka Ramadhan. Saudara kembar Mas Gaza yang tiba-tiba membuat hatiku bergetar seketika. Laki-laki sederhana yang mau menerimaku apa adanya, tanpa pernah mencela apalagi mengungkit video panas yang Mas Gaza bilang akulah pelakunya. Kedua mataku mulai menghangat lagi. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan di sana. Sementara Mas Gaza terpaku dari tempatnya. Berdiri di ambang pintu, sesekali melirikku tanpa kata. "Bagaimana Rania? Apa kamu bersedia?" tanya laki-laki itu lagi. Semua orang yang masih berdiri di halaman rumah cukup mewah ini pun terdiam beberapa saat lamanya. Saling pandang tak mengerti, bahkan Umi kembali dalam tangisnya. "Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku Azka, adik kembar Mas Gaza. Tak banyak hal yang dapat kuceritakan padamu, Rania. Karena aku memang bukan seorang yang istimewa. Aku jauh berbeda dengan Mas Gaza. Karena itu pula, aku tak memaksamu untuk menerima pinanganku." Kepalaku mendongak ke arahnya.
Perjalanan hidup yang tak mudah. Kadang mulus, lurus kadang terjal dan berliku. Kupikir, Mas Gaza adalah laki-laki pertama dan terakhir dalam hidupku, tapi ternyata takdir berkata lain. Siapa yang bisa mendikte takdir? Tak ada yang bisa kecuali Dia. Sekuat apa pun aku menggenggam, jika takdirnya terlepas aku bisa apa? Rasanya, air mata sudah cukup kering untuk sekadar menangisinya. Lelah, capek bahkan seolah merasa paling terluka. Berbagai opini liar mulai menyebar. Tak ada yang membocorkan soal video itu. Karena itulah mereka berpendapat, menerka-nerka apa yang membuatku pulang ke rumah setelah malam pertama. "Rania, istikharah di sini saja. Jika kamu pulang, banyak orang akan menerka-nerka apa yang terjadi. Kamu lebih aman di sini," ucap Mas Azka satu minggu yang lalu. "Biar Rania istikharah di rumah, Ka. Dia akan lebih tenang di sana. Orang-orang hanya akan menerka-nerka, biarkan saja asalkan tak ada yang membocorkan masalah ini. InsyaAllah
POV : RANIA"Rania, kamu mau pernikahan kita digelar biasa atau agak mewah?" tanya Mas Azka sebelum dia pulang. Aku hanya tersenyum tipis."Tak perlu mewah Mas, sederhana saja yang penting langgeng dan bahagia, daripada mewah tapi hanya berjalan sekejap mata. Lagipula apa tanggapan orang-orang jika tahu aku menggelar resepsi lagi," ucapku dengan senyum tipis.Ummi terlihat sedikit sendu saat mendengar ucapanku. Ah Ummi, aku tak bermaksud membuatmu kembali mengingat kejadian itu. Namun memang, acara pernikahanku dengan Mas Gaza kemarin digelar cukup mewah, banyak kolega dan karyawan serta saudara Abah dan Ummi yang datang. Cukup meriah, banyak tawa bahagia meski pada malamnya berakhir dengan derai air mata."Baguslah, Rania. Lagipula aku juga hanya mampu membawamu ke penghulu saja. Untung kamu juga mau yang sederhana, kalau nggak, aku pasti kebingungan soal dana," ucap Mas Azka dengan tawanya.Tawanya. Ya ... tawa yang begitu ketara menyimpan luka. Bagiamana tidak? Siapa yang tak menge
Aku kembali ke rumah ini. Rumah cukup mewah tingkat dua dengan cat biru muda. Mau tak mau kembali mengingat masa itu, di saat aku mendapatkan tamparan memalukan dari orang yang begitu kusayang. Genggaman tangan Mas Azka belum jua terlepas saat aku melewati ruang keluarga, dimana Mas Gaza asyik ngobrol dengan sahabat-sahabatnya. Ketiga sahabatnya yang waktu itu sempat dia kenalkan padaku. Mereka tampak sangat kaget saat melihat kami datang. Apalagi saat sadar Mas Azka semakin erat menggenggam tanganku. "Rania." Sebuah panggilan menghentikan langkah kami. Mas Azka pun membalikkan badan ke sumber suara. "Ada apa, Mas?" Mas Ahdan sudah berdiri menatapku beberapa saat lamanya. "Kamu-- "Apa Mas Gaza belum cerita?" "Soal?" "Rania sah menjadi istriku," ucap Mas Azka begitu tenang. Ada gurat keterkejutan di sana. Laki-laki yang kukenal beberapa tahun silam itu seolah tak percaya apa yang dia dengar. Apa Mas Gaza belum ce
Malam pertama pasca menikah yang begitu mendebarkan. Aku pernah melewati malam seperti ini. Malam yang sama, dimana kulewati dengan tangis dan luka. Namun kini, aku melewatinya dengan hati yang lebih tenang dan bahagia. Kulihat Mas Azka keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos oblong dengan celana kolor si bawah lutut. Dia menatapku beberapa saat lalu tersenyum. Senyum yang begitu menenangkan tiap kali kumemandang. "Tidurlah, Dek. Kamu pasti capek," ucapnya pelan lalu menjatuhkan badannya ke sofa kamar. Aku masih menatap beberapa saat. "Kenapa?" Kedua kalinya aku menggeleng pelan. "Tidurlah di ranjang, biar mas tidur di sofa ini," ucapnya lagi. "Kenapa begitu? Apa mas masih ragu-- Kedua mataku kembali menghangat. Tak mampu kulanjutkan kalimat yang terpotong itu. "Nggak. Bukan karena itu, justru karena aku mencintaimu hingga tak ingin memaksamu melakukan sesuatu
POV : RANIA Awan gelap menggantung di angkasa. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Kini, langit tak lagi menampakkan sisi cerahnya. Mungkin sama gelapnya dengan perasaan Ummi kali ini. Dengan berurai air mata mau tak mau, rela tak rela harus melepas kepergian anak lelaki kesayangannya. "Jangan terlalu bersedih, Mi. Kalau ada waktu libur, Gaza pasti akan pulang. Atau kalau Umi terlalu rindu, datang saja menjenguk Gaza ke sana," pamit laki-laki itu dengan senyum tipis. "Umi pasti akan sangat merindukanmu, Za. Pasti." Perempuan tengah baya dengan jilbab lebarnya itu berulang kali menyeka kedua sudut matanya yang basah. Berulang kali pula dia memeluk anak laki-laki kesayangannya itu. "Makanya doakan Gaza biar lekas dapat calon istri, Mi. Biar nanti bisa di rumah terus menemani umi." "Iya. Umi selalu mendoakan kamu setiap waktu, Za." "Umi bilang mau menantu yang cantik, kan? Di sana pasti banyak calon menantu yang cantik seperti keinginan umi." Lagi, laki-laki itu mencoba untuk te
Flashback on (Pov : IBU) Sahabat adalah seseorang yang memahami seluk beluk kehidupan kita, baik suka maupun duka. Seperti air mata dengan telapak tangan, yang selalu setia bersama saat berada di titik kesedihan. Seperti teh dengan gula yang saling mengikat membuat kebersamaan terasa lebih manis dan hangat. Ah, entah. Yang pasti, persahabatanku dengan Nadia memang terjalin cukup lama dan erat. Tak pernah berselisih, bahkan semakin saling sayang dan penuh kasih. Tak hanya sekadar sahabat dekat, namun hubunganku dengannya bisa dibilang lebih dari itu. Seperti saudara sendiri. Apalagi aku yang memang tak punya saudara lagi semenjak kepergian kakak kandungku belasan tahun silam. Nadia, sudah kuanggap sahabat sekaligus kakakku sendiri. Aku tahu saat Nadia begitu terpuruk, pun saat dia sudah berada di pucuk. Dia tak pernah melupakan aku karena lagi-lagi dia sudah menganggapku bagian dari keluarga. Meski begitu, tak lantas aku terus ikut mencampuri kehidupan pribadinya, tetap ada cela