Share

PART 4

Aku mencoba bangkit, mengejar Mas Gaza yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Kubersimpuh di kakinya, meminta dia untuk tak main-main dengan talaknya. Apalagi hari ini adalah hari pertama kami menikah.

Apa kata orang nanti jika aku langsung mendapatkan talak di hari pertama pernikahanku. Aku tak mungkin tega membuat dua keluarga yang saling memeluk mesra bahkan bersahabat sejak lama pecah dan hancur seketika.

Sekali pun nanti Mas Gaza akan menutupi penyebab talaknya, tapi siapa yang bisa menjamin kabar yang beredar di luar sana? Aku justru takut, semakin ditutupi, opini liar di luar justru akan semakin mengular. Mereka akan mengira-ngira dan menebak apa yang sebenarnya terjadi.

Kenapa baru sehari menikah langsung dijatuhkan talak? Jika sudah seperti itu, sama saja akan membuatku malu di depan umum. Mereka pasti akan berpikir macam-macam tentangku, sebab perempuan baik-baik tak mungkin akan dijatuhkan talak di malam pertama pernikahannya. Begitulah opini mereka.

Aku benar-benar pusing. Bayangan-bayangan buruk kembali merasuki otak. Apa yang harus kukatakan pada mereka jika Mas Gaza benar-benar menginginkan pernikahan ini berakhir. Apa jadinya jika Mas Gaza benar-benar tak ingin rujuk denganku kembali.

Arghh ... rasanya ingin semua ini hanya sekadar mimpi saja, tapi sayangnya semua benar adanya. Aku tak sedang bermimpi dan ini bukan fatamorgana.

"Mas, kumohon percayalah. Itu bukan aku. Aku nggak mungkin sebodoh itu." Aku terisak di lantai, samping tempat duduknya, tapi Mas Gaza tetap bergeming. Diusap kasar wajahnya lalu sedikit menyingkir seolah begitu takut aku menyentuh kakinya. 

"Sudah, Ran. Dia terlalu kaku dan egois, tak pantas kamu tangisi seperti ini. Kamu baik dan cantik. Masih banyak laki-laki di luar sana yang menginginkanmu menjadi istri. Ayo berdiri. Nggak ada gunanya menangisi laki-laki seperti dia!"

Mas Alif memapahku berdiri dan menjauh dari laki-lakiku. Laki-laki yang selalu kusebut namanya akhir-akhir ini dan laki-laki yang kini menamparkan luka yang tak kunjung berhenti. 

"Rania, maafkan Gaza, Nak. Biarkan dia sendiri dulu. Biar dia berpikir lebih jernih, apa yang dilakukannya barusan adalah sebuah kesalahan. Umi yakin kamu bukan perempuan dalam video itu," ucap Ummi lagi dan lagi. Dia kembali mendekapku dalam pelukannya. 

"Bawa ke sini ponselmu, Za. Aku punya kawan pakar IT, biar dia cek benar tidaknya videomu itu. Biar kamu yakin kalau itu bukanlah adikku," pinta Mas Gaza lagi. 

"Aku sudah hapus, Mas. Aku jijik melihatnya," ucap Mas Gaza singkat. Dia melengos saat tak sengaja beradu pandang denganku. Ah, Mas. Sebegitu jijikkah kamu padaku?

"Nggak apa-apa. Dia bisa melacak videomu meski sudah kamu hapus," ucap Mas Alif lagi namun tetap saja Mas Gaza menolak. Entah apa maunya. Tak kusangka laki-laki yang kupilih untuk kujadikan suami ternyata seegois ini. 

"Aku sudah menjatuhkan talak padamu, Ran. Kamu bisa menikah dengan siapa pun yang kamu inginkan karena kita belum pernah melakukan hubungan badan¹," ucap Mas.Gaza lagi begitu datar. Sepertinya keputusan yang dia ambil benar-benar bulat. 

"Untuk urusan pengadilan, biar aku yang urus," tambahnya lagi.

Berulang kali Abah dan Ummi menasehati, tapi berulang kali pula dia bergeming tak peduli. Rasanya hatiku benar-benar sakit diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri. Suami yang baru tadi pagi mengucapkan janji suci di hadapanNya.  

"Sebenarnya siapa yang mengirimimu video itu, Za? Kenapa kamu lebih mempercayai dia daripada kami, keluargamu sendiri?"

Mas Alif mencoba untuk tenang meski kutahu dadanya bergemuruh penuh amarah. Dia jelas nggak terima jika adik yang selalu dia jaga pergaulannya, selalu dia awasi tiap kali berteman dengan siapapun, dan dia yakini tak mungkin melakukan hal menjijikan itu justru dituduh seenaknya oleh laki-laki yang baru saja mengambil alih tanggung jawabnya.

"Yang mengirimiku bukan satu orang, Mas. Melainkan dua orang yang mana keduanya orang-orang terdekatku. Aku sudah mengenal mereka lama, jauh jauh sekali sebelum aku mengenal Rania. Jika yang mengirimiku seorang atau yang nggak aku kenal, mungkin saja aku tak percaya. Tapi mereka, orang-orang yang kupercaya. Mereka tak mungkin membuat lelucon untuk pernikahanku," ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng perlahan di pelukan umi. Sedangkan ibu tak henti-hentinya menangis di sampingku. 

"Bisa saja mereka iri melihat kamu menikah dengan Rania. Atau mereka-- 

"Nggak, Mas. Iri soal apa? Bahkan mereka tak terlalu mengenal Rania sebelumnya," ucapnya begitu yakin, membuat hatiku semakin terluka.

Lagi-lagi aku tak habis pikir kenapa Mas Gaza jauh lebih percaya dengan teman-temannya dibandingkan dengan aku bahkan dengan keluarganya sendiri.

"Mereka melakukan ini karena sangat menyayangiku, Mas. Tak ingin aku malu jika harus memiliki istri seperti Rania yang nyatanya memiliki video panas. Mereka melakukan ini hanya ingin aku berpikir ulang, melanjutkan pernikahan atau berhenti sampai di sini sebelum kebablasan. Aku yakin tak ada alasan lain selain itu. Aku kenal betul siapa mereka sebelumnya." 

Mas Alif menghembuskan napas panjang lalu menatapku tanpa kata. Seolah ingin bilang bahwa saat ini dia menyerah untuk meyakinkan Mas Gaza.

"Alif benar, Gaza. Mungkin mereka iri padamu. Ayolah, anak Abah nggak mungkin seceroboh ini," ucap Abah lirih.

Abah duduk di samping Mas Gaza lalu menepuk pundaknya perlahan. Abah berusaha meyakinkan Mas Gaza jika aku bukanlah pelaku dalam video itu. Seyakin itu mereka, tapi sayangnya justru Mas Gaza tak yakin sedikitpun. Aku bisa apa sekarang? Tak ada. Hanya bisa menangis di pelukan ibu yang ikut menangisi nasibku.

"Maaf, Abah. Maafkan Gaza, tapi untuk kali ini Gaza lebih percaya mereka dibandingkan Rania. Gaza mengenal mereka sudah lama. Tak mungkin ada udang di balik batu. Gaza yakin itu. Gaza tahu siapa mereka," ucap Mas Gaza lagi. 

"Besok, aku urus perceraian itu di pengadilan. Maafkan aku, Rania. Aku tetap tak bisa melanjutkan pernikahan kita. Jikalaupun aku bisa melanjutkan pernikahan ini, jujur aku tak bisa melupakan video itu begitu saja. Bahkan tiap kali menatapmu, video itu masih terngiang-ngiang di pelupuk mataku. Aku tak ingin mengecewakanmu lebih dalam nantinya." 

Aku kembali tergugu di sofa tak jauh dari tempat Mas Gaza berada. Ibu dan umi memelukku, sama-sama menangis pilu. Aku tak bisa mengungkapkan bagaimana hancurnya hati ini. Baru saja menggenggam bahagia, secepat itu pula terhempas dalam kubangan duka. 

"Baiklah kalau memang itu maumu, Mas. Aku tak akan lagi memaksa. Tapi percayalah, keputusan yang diambil dengan buru-buru saat tersulut emosi, suatu saat hanya akan menanggalkan sesal bahkan bisa saja membuatmu merutuki diri sendiri." 

Mas Gaza menatapku beberapa detik lalu menoleh asal. Sekadar menatapku saja dia seolah begitu jijik, lantas buat apa aku terus memohon agar dia tetap tinggal?

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
liza sarah
penjelasanya terlalu bolak balik.
goodnovel comment avatar
Jagantaka
gobloknya tingkat dewa kaya yang ngarang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status