Share

Bab 4.

"Serius nggak tertarik?" Aku menanggalkan rasa malu untuk sementara waktu saat berjalan mendekati dia. Laki-laki sombong yang bergelar suami yang kesannya selalu menganggap remeh diriku.

"Apa.... Aku kurang seksi, Mas?" Suara manja menggoda melengkapi aksi yang bahkan nggak pernah masuk di otak ku ini.

Beneran, ini spontan saja.

Mas Daniel menatapku sinis sambil bergidik ngeri, seperti ilfill melihatku yang memang agak lebay. Habisnya gimana lagi, dari pada aku tambah malu mending berbuat konyol sekalian.

"Buruan, sana pakai rok atau celana. Nggak ada bagus-bagus nya tau kayak gitu."

Dasar jaim! Padahal keliatan banget dia lagi nahan diri buat nggak tergoda. Buktinya dia nggak berani lihat aku lama-lama.

Aku pun mengambil celana tartan motif kotak untuk mengakhiri keadaan awkward.

"Tidur! Jangan bergadang, jangan main hape terus." Mas Daniel memperingatkan begitu aku menyusul menaiki ranjang dan berbaring disampingnya. Lelaki entah bagaimana menganggap aku selama jadi istrinya.

"Iya....."

Suamiku yang semula bersandar dikepala ranjang, tampak membaringkan tubuhnya lantas memejamkan mata. Sementara aku, walaupun berbaring cukup lama rasa kantuk belum juga datang.

Tanpa diminta, kejadian naas dimasa lalu menghinggapi kepala. Mengingat bayangan kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua dan adik ku tiba-tiba membuat kepalaku berdenyut dan mata pun turut memanas.

Mengingat kejadian itu, mendadak napas ku berat dan tersendat seperti kekurangan oksigen.

Mereka menyebut diriku anak yang beruntung, tapi aku menyebut diriku anak yang malang. Ya, karena cuma akulah yang selamat dari kecelakaan maut tersebut.

Mereka menganggap aku pantas bersyukur, karena diberi umur yang panjang. Padahal jika di ijinkan aku ingin menyusul mereka, orang-orang yang ku sayang telah meninggal kan aku lebih dulu.

Sejak berusia sepuluh tahun aku di tempah harus menjadi sosok yang kuat dan tegar. Karena hidup memang tetap harus berjalan meski terasa kejam dan menyakitkan.

Setelah kepergian orang tua dan adikku, aku di asuh oleh paman dari pihak ibu yang penghasilan nya pas-pasan bahkan cenderung kekurangan. Sedangkan keluarga dari pihak bapak, yang notabene dari keluarga berada sama sekali tak peduli.

Aku terisak saat menyadari kalau aku tak seberuntung yang lain yang memiliki orang tua dan keluarga yang lengkap. Aku mengisi masa kecil dengan suka cita, selain berbeda aku juga harus merasakan pahit getirnya mencari nafkah jika ingin masih makan dan melanjutkan sekolah.

"Ibu...bapak, Ayuni. Aku kangen." Air mataku tumpah saat bayangan tiga orang terkasih terbujur kaku.

"Putri?"

Aku buru-buru memalingkan wajah saat suamiku terbangun dan menatap lekat padaku. aku malu dan takut dia berpikir aneh-aneh kenapa aku menangis.

"Kenapa menangis?" Tanyanya justru membuat dadaku semakin sesak.

"Enggak, aku nggak nangis kok."

"Kenapa? Kamu masih tersinggung sama omongan teman-teman Lita tadi siang?" tebaknya Pelan.

Oh.... Jadi mantan pacar Mas Daniel namanya Lita, baiklah sekarang aku tahu namanya hehehe.

Aku menggeleng pelan

"Bukan karena itu."

Mas Daniel mengangguk, tapi seperti tak ingat mencari tahu apa yang menyebabkan istrinya menangis malam-malam begini.

"Yaudah, jangan nangis lagi. Tidur ya?"

Aku seperti anak kecil yang menuruti kata-kata Mas Daniel, dan dia juga menyelimuti dan menatap mataku dengan sendu.

Esok paginya

"Putri, kenapa mata kamu bengkak? apa Mas Daniel sudah jahatin kamu?" Saat sedang duduk dimeja makan, mama mertua mungkin melihat mataku berubah sembab. Bertanya sambil melirik putranya.

"Enggak ,ma." Aku menggeleng tegas lantas tertunduk.

"Ma, jangan apa-apa yang disalahin aku, wong aku juga nggak ada ngapa-ngapain putri." Aku mendongak saat suamiku tidak terlibat atas bengkaknya mataku.Memprotes kesal tuduhan sang mama.

Papa mertua yang duduk di samping istrinya, menatapku iba.

"Hidup harus tetap berjalan putri, jangan berkubang dengan suka dimasa lalu."

Aku hampir tak percaya Papa mertua seperti bisa membaca jalan pikiran dan kesedihan ku.

Aku tak mengerti ada hubungan apa pak Ramon alias Papa mertua dengan masa lalu orang tuaku. Namun, yang pasti papa mertua sangat peduli padaku bahkan jodoh pernikahan aku dan Mas Daniel sudah diatur atas kehendak pria paruh baya ini.

"Iya Pa."

"Daniel, kamu juga jangan kaku banget sama istri sendiri." Papa mertua terdengar mewanti-wanti anak sulungnya. Membuat suamiku mengangguk kaku.

"Iya papa."

******

[Cie yang sudah nikah sama orang kaya, udah lupa ya... sama kita-kita?]

Aku mendengus pelan saat membaca pesan dari sahabat baik ku yang masih bekerja sebagai karyawan minimarket.

[Nggak usah mikir aneh, ah... aku justru kangen sama keseruan kita, pas mau lebaran banyak pembeli.]

Aku membalikkan pesan dari Nova dengan senyum terukir di bibir.

Aku dan Mas Daniel masing-masing sibuk dengan ponsel ditangan dibuat tersentak saat pintu kamar kami diketuk berkali-kali.

Dan ketika kami membuka pintu Papa mertua sudah berdiri tegak disana.

"Daniel, Putri, nanti malam ada undangan makan malam dari rekan bisnis. Papa minta kalian saja yang datang kesana ya! hari ini papa agak sedikit lelah."

"Oke, pa." Mas Daniel menjawab cepat.

****

"Sini mama bantuin kamu make up, sayang. Biar penampilan kamu makin cantik dan anggun." Selepas magrib, mama mertua menarik ku kekamar nya yang luas.

Menunjukkan dan memberi tahukan ku banyak alat make up yang aku sendiri pun nggak tahu apa namanya.

"Putri sebenarnya nggak pede, Ma. Datang ke acara-acara seperti itu." Aku yang merasa rendah diri pun mulai bersuara ketika mama mertua menyapu kan foundation di wajah ku.

"Loh, kenapa?"

"Muka putri kampungan, Ma." Aku berucap lirih dan menundukkan wajah agar tak terlihat genangan air mataku.

"Siapa yang bilang begitu nak?"

Aku menggeleng lemah, tak ingin membahas siapa-siapa yang menganggap ku sebelah mata. Karena jika dihitung dari dahulu pasti banyak nama-nama yang aku sebutkan.

"Mulai sekarang kamu harus pede ya Put, kamu cantik kok. Lihat tuh, wajah mu natural cantiknya sayang!"

Mama mertua rupanya begitu ahli dalam merias wajah, melalui tangan beliau yang super cekatan. Wajahku pun di sulap menjadi mirip film princess Elsa. Perasaanku aja kali ya!

Eh, nggak jadi deh. Tapi kalau seandainya jadi mungkin agak berbeda, haduh aku kok halu jadi princess.

Mama mengambil kan aku tas jinjing kecil begitu wajahku dipermak sedemikian rupa.

"Sempurna." Nyonya Sania alias si mama mertua yang cantik dan awet muda ini menatapku takjub ketika aku berdiri sambil aku menjinjing tas kecil yang aku gak tau harganya berapa. Tapi, seperti nya sih ini mahal.

"Udah belum? Perasaan lama amat?"

Mas Daniel mungkin sudah siap untuk berangkat, mengetuk pintu kamar mamanya dari luar.

"Sabar, dikit lagi!" Seru sang mama

Mama mertua lantas mengajari diriku untuk berjalan anggun.

Huft!

Rupanya jadi menantu orang kaya memang sedikit ribet ya.

Setelah dirasa siap, mama mertua lantas membuka pintu.

Melihatku dengan tampil dengan dress bermotif dan mengenakan high heels dengan make up yang berbeda membuat Mas Daniel ternganga. Entah dia sedang takjub, terpana atau syok. Aku pun tak mengerti.

"Dan!"

"I-iya, Ma?" Suamiku tampak gugup ketika sang mama menegur nya.

Mama mertua cekikikan.

"Baru nyadar kamu kalau putri cantik?"

"I-iya, Ma." Terlihat Mas Daniel buru-buru menutup mulut. Seperti menyesal mengakui kalau istrinya ini cantik.

Mataku membulat.

Benarkah itu Aldebaran... eh, salah Mas Daniel.

Benarkah di matamu aku cantik? nanti lah, aku tanyakan lagi pas udah kelar makan malamnya. Takut nanti jawabannya nggak mengenak kan, ntar yang ada malah luntur make up Barbie aku gara-gara nangis bombay.

****

"Hai, bro. Apa kabar?" Seorang pemuda berpenampilan formal, menyalami suamiku begitu kami sampai di tempat yang menjadi lokasi makan malam kali ini.

Sebuah restoran mewah berkonsep kan outdoor, menjadi tempat berkumpulnya kalangan orang-orang konglomerat untuk melakukan makan malam yang rasanya lebih banyak jadi ajang pamer dan riya'.

Ya ampun Putri! Bersihkan hati dan pikiran kotor mu! Pikiran jahat ini kadang nggak bisa di kontrol.

Aku merasa agak risih saat lelaki barusan menyalami Mas Daniel dan terus menfokuskan pandangan kepadaku.

Apa dalam hati lelaki itu mengumpat dan menghinaku kampungan.

Ya Tuhan, Putri. Berhenti lah sudzon.

Tak disangka teman Lita, si rambut pirang datang juga ke acara makan malam para kaum elit ini.

"Gimana rasanya nyonya Daniel, bisa bergabung dengan orang-orang berkelas? pasti, sesuatu banget kan? Secara, selama ini kan cuma ketemu sama customer-customer minimarket. Pasti beda ya, kan?" Tawanya tersembur saat mengejek aku secara terbuka di depan umum.

Bagaimana dia tau, aku pernah kerja jadi kasir? Apa dia stalking akun media sosial ku. Atau jangan-jangan dia mata-mata?

Mas Daniel menatap nyalang wajah gadis yang secara terang-terangan menghinaku di depan khalayak ramai. Namun kalimat pembelaan yang ingin ku dengar dari suamiku tak ku dengar sama sekali.

Kecewa? pasti nya? untuk sekian kalinya aku kecewa dengan sikap Mas Daniel yang sama sekali tak pernah menganggap aku ini istrinya.

"Mas, aku mau pulang!"

*******

hai para pembaca bantu support dan follow ya. terimakasih

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status