Share

Bab 7

Tanpa ingin tahunya bagaimana dia berekspresi selangkah, iseng ku simpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.

Bukan karena aku ke gatalan loh,ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuan nya tentang hubungan suamiku dan Lita yang katanya masih hangat sekitar sebulan lalu. Lah, bukan kami sudah menikah? Jadi maksudnya Mas Daniel bermain dibelakang ku?

Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu.

"Halo?" Suara Bastian memenuhi rongga telinga saat telepon kami bersambung.

"Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya.

"Wow, ini mbak kasir yang di jodohin sama cowok tajir mantan Lita itu kan?" Dari nada bicaranya, Bastian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku.

"Iya betul."

"Ada masalah apa menelepon ku malam-malam begini, mbak kasir?"

"Hei, aku punya nama, namaku Putri!" Pinter bikin naik darah juga orang ini.

"Ah, iya maaf, soalnya kan kita belum kenalan?" Dia tergelak dan lantas tertawa lepas. Rasanya... Nggak ada yang lucu.

Aku mendecih singkat ketika tawanya tak juga berhenti, sayang nya aku tak punya tombol pause untuk menghentikan tawanya.

Huh!

"Ada yang bisa dibantu?" Tanyanya saat mungkin giginya sudah kering.

"Ya, aku butuh pekerjaan. Rasanya... perjodohan ini memang tak cocok bagiku apalagi sedikit menyiksa ku, Pak Bastian." Aku mengucap basa-basi sebelum membahas tentang persoalan inti.

Mas Daniel mendongak dan menatapku tajam setajam silet. Rasanya dia juga menajamkan pendengarannya. Buktinya dia terlihat tidak begitu fokus dengan laptop dihadapan nya.

"Nggak perlu panggil Pak, panggil saja Mas. Atau bisa panggil sayang, juga boleh." Lagi-lagi dia tergelak tanpa rasa berdosa. Beneran deh, ini orang kayak nggak punya beban hidup.

Ah iya, wajar lah... Dia pasti berbeda dengan ku. Sejak kecil aku selalu pusing bagaimana cara mendapatkan uang. Sedangkan dia.... Mungkin saja bingung bagaimana caranya nya menghabiskan uang.

"Hah, sayang? ihh..." Aku memprotes dengan perasaan kesal saat menyadari apa yang di ucapkan barusan.

"Bercanda sayang....."

"Kok, sayang lagi sih?"

"Maaf salah terus, soalnya itu yang paling aku suka panggil kamu sayang."

"Dasar buaya!"

"Dan kamu lubang buaya?"

"Dasar omes (otak mesum), aku mau nanyain pekerjaan kenapa sampai ke lubang buaya. Sih?"

"Ada pekerjaan."

"Benarkah."

"Ya."

"Jadi apa? Pembantu? Tukang gosok? Atau....?"

"Jadi ratu di hatiku!"

Ya ampun, tobat banget deh. Ngomong sama cowok model begini, becanda terus.

"Aku serius, pak?"

"Pak lagi? Aku bahkan lebih muda tiga tahun dari suamimu."

"Ya maaf. Tapi aku serius mau cari pekerjaan, Mas Bastian."

"Duh, manisnya." Sambar nya ketika aku mengubah panggilan

"Apaan sih? Dikira gula, manis?"

Terlihat Mas Daniel bangkit.

Hah iya ampun, gara-gara ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas sama Bastian Aku sampai lupa kalau dikamar ini ada sepasang telinga yang mendengar percakapan kami.

Kok, bisa jadi begini?

Tanpa kata-kata ponselku dirampas dan panggilan basa-basi diputus secara sepihak oleh Mas Daniel.

"Omong kosong macam apa ini!" Terdengar suaranya melengking sesaat setelah melempar ponsel ku diatas ranjang.

"Ini bukan omong kosong! Aku butuh pekerjaan. Aku harus membantu paman dan bibi menyekolahkan anak-anaknya. kamu tahu aku banyak berhutang Budi pada mereka." Aku menjawab panjang lebar. Ya, meski tadi berbincang dengan Bastian  sekedar basa-basi. Tapi Jujur, dalam hati kecil ku memang masih ingin bekerja.

Oh... Ternyata dipandang sebelah mata oleh suami sendiri sangat menyakitkan.

"Butuh berapa banyak uang, ha? 50,100, 300? Kenapa berpikir soal kerja? Bukankah tujuan awal mu menikah denganku cuma karena uang?"

Deg!

Meski tanpa suara air mataku jatuh tanpa terbendung.

Ya Tuhan, rupanya serendah itu dia memandang ku.

Bukan cuma kampungan, dia juga mengecap diriku sebagai penggila harta.

Rendah, ternyata serendah itu aku dimatanya.

Aku membuka pintu kamar dengan terburu. Rasanya, aku butuh tempat lain agar aku bebas menumpahkan air mata tanpa terlihat olehnya. Lelaki yang bergelar suami menganggap ku sehina itu.

"Putri!"

Seruannya tak lagi hiraukan.

Dengan langkah tergesa aku menuruni tangga dan berjalan cepat menuju pintu utama rumah mewah ini.

"Daniel,ada apa dengan istri mu?"

Mama yang terusik oleh kegaduhan anak dan menantunya, keluar dari kamar miliknya yang berada dilantai dasar.

"Nggak ada apa-apa, Ma! cuma salah paham."

Salah paham dia bilang?

Hatiku semakin gondok, saat merasa upayaku untuk keluar dari pintu utama gagal, karena ternyata pintunya sudah dikunci dan aku tak membawa kunci sama sekali.

"Mau ke mana?"

Mas Daniel bersedekap santai saat menatapku yang terdiam kaku didepan pintu.

"Bukankah Mama meminta kita untuk segera memberikan cucu?" Tanyanya dengan ekspresi wajah nakal, yang membuatku tak habis pikir dengan jalan pikirannya yang tak bisa ku tebak.

Mama dan papa mertua yang berdiri tak jauh dari tempat putranya berdiri, hanya saling pandang sambil mengurai senyum.

"Bukan itu yang Mas Daniel bicarakan, Ma... ?"

"Terus?"

Haruskah aku berkata jujur pada kedua mertuaku?  Bagaimana Mas Daniel memandang rendah padaku?

"Dia tadi bilang...."

Belum sempat ku ungkap kebenaran aku dibuat tidak berkutik saat Mas Daniel tiba-tiba mendapatkan bibirnya ke bibirku.

Ya ampun, dia ... Mengecup bibirku barusan? Ciuman pertama ku? Kenapa aku mendadak ingin pingsan?

"Daniel..... Nakal ya!"

Mertuaku cekikikan dan tampak sangat terhibur melihat sandiwara putra mereka.

"Gaskeun, Daniel!" Mama mertua malah mendukung nya.

"Ayo sayang, udah malam ini."

Tanpa banyak bicara lagi mas Daniel mengangkat tubuhku dan membopong ku dengan pandangan lurus ke depan saat menaiki tangga.

Harus aku akui dia memang king drama yang patut diacungi jempol.

"Mama pesan yang kembar ya, Dan?"

Mama mertua berseru sambil cekikikan.

Duh, bisa-bisa mereka request cucu seperti pesan boba saja.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Peri Peri
lanjutkan cerita bagus sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status