"Drama murahan macam apa ini? Berani sekali kau menggoda istriku!" Gigi Mas Daniel bergemeretak dengan wajah yang terlihat semakin garang.
Benarkah dia cemburu? Bukan kah dia bilang aku ini sama sekali nggak menarik?
Kartu nama itu ku tatap sekilas, dan ternyata namanya Sebastian Gunawan.
"Aku pernah lihat kamu... Jalan dengan... Lita. Apa kalian sudah putus?" Tanyanya dengan mengejek. "Rasanya... belum ada sebulan ini aku melihat kalian berdua jalan bersama."
Jadi laki-laki ini tau tentang Lita? mantan Mas Daniel.
Mas Daniel diam. Berarti apa yang diungkapkan lelaki yang baru ku ketahui namanya Bastian ini, betul!
"Ayo, Putri. Kita pulang sekarang."
Aku menatap ragu Bastian sebelum kartu nama miliknya aku sambar dengan cepat dan aku masukkan kedalam tas jinjing kecil yang aku bawa.
"See you again." Bastian mengulas senyum sebelum aku dan Mas Daniel benar-benar berlalu jamuan makan malam orang-orang berkelas ini.
Jujur saja, ada banyak pertanyaan yang menggelayut dalam benak sejak munculnya pertanyaan Bastian. Tapi, ya sudah lah. Dipikir kan nanti saja.
***
"Kenapa buru-buru pulang ,sih?" Aku bersungut-sungut kesal ketika Mas Daniel menarik tanganku masuk ke mobil Range Rover velar series terbaru miliknya.
"Kenapa memangnya?" Balas Mas Daniel sambil menghidupkan mesin mobil.
"Aku tadi menunggu hidangan penutup!" Sentak ku kesal.
Mas Daniel memalingkan muka. Rasanya... Dia sedang menertawakan diriku dalam diam. Ya ... Pasti dia sedang memaki dalam hati karena harus menikahi istri yang kampungan kayak aku. Tapi ya, gimana lagi, aku tadi nggak selera sama menu utama tadi. Jadi wajar kalau aku menunggu hidangan penutup. Eh, malah Mas Daniel pengen buru-buru pulang.
Capek deh! Punya suami nggak peka banget!
"Kita cari tempat lain buat makan." Mas Daniel berucap tegas tanpa menatapku.
"Ah... Iya, terserah kamu aja."
Mobil pun mulai di jalankan.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tadi sewot begitu sama cowok itu?" Akhirnya aku memulai topik untuk membahas cowok gondrong yang kini sudah berambut cepak dan rapi.
"Kenapa? Kamu nggak terima? Kamu naksir sama dia? Tanpa diduga, Mas Daniel mencecar ku dengan tiga pertanyaan sekaligus.
Kenapa jadi bawel begini? Apa dia salah makan? Atau lagi PMS?
"Dih, siapa yang bilang aku naksir sama dia." Tangkis ku kemudian.
"Kamu kenal dia dimana?" Suara mas Daniel terdengar melunak. Lunaknya seperti puding jeli yang belum begitu keras.
"Dia sering datang dan belanja ke ind*m*ret tempat aku kerja dulu," Jawabku jujur.
"Oh ... Pelanggan ya?" Tanyanya dengan nada yang sedikit lebih rendah.
"Iya."
Wait! Kenapa wajah Mas Daniel berubah? Apa dia nggak suka kalau aku bahas tentang Bastian?
"Ya udah Mas, mampir ke warung ayam geprek dipinggir jalan aja, aku laper." Aku buru-buru mengalihkan pembahasan saat suasana hening cipta dimulai.
Mas Daniel mengangguk pelan dan memarkirkan mobil begitu kami sampai di depan warung ayam geprek pinggir jalan.
"Makan sini aja." Mengingat aku ketika hendak memesan nasi plus ayam geprek level terpedas.
"Biar apa?"
"Kan, nggak lucu aja. Kita yang habis dinner beli makanan diluar kayak gini?" Wah ternyata suamiku bisa juga berpikir kritis. Salut!
Hei, Putri. Ngaca dong, dia itu lulusan Pascasarjana sedang kan kamu hanya tamatan SMA. Jangan sok-sokan ngeremehin dia.
"Iya, deh iya."
Aku yang memang pecinta pedas, sangat menikmati ayam geprek level super pedas di hadapanku. Membuat Mas Daniel geleng-geleng kepala sambil mengulas senyum sesekali menatap melihat ku kepedesan.
Manis. Senyum suamiku memang semanis itu pemirsa, rasanya nggak perlu pesan es teh manis. Melihat senyum nya saja pedas ku hilang.
Percaya nggak!
Jangan percaya. Bohongan aja tuh!
Emang ada zaman sekarang modal cinta terus pedas hilang? Kalau himpitan ekonomi yang ada berantem terus. Tetap berpikir realistis ya.
"Mau coba?" Tanyaku basa-basi.
Mas Daniel menggeleng pelan
"Udah makan aja, kan kamu bilang tadi kamu laper? Aku udah makan tadi."
"Cuma dikit, mana kenyang?"
Mas Daniel tersenyum tipis saat aku terus mengunyah sambil berbicara sesekali.
Ya ampun, kalau dilihat dari senyum nya kok agak aneh ya! Aku jadi curiga di gigiku ada cabe lagi.
Buru-buru aku mengambil ponsel di tas jinjing dan ku nyalakan kamera dengan mode malam untuk memastikan tidak ada cabe laknat yang nyangkut di gigi ini.
Enggak ada ternyata, saudara-saudara! Terus kenapa mas Daniel senyum-senyum pas ngelihatin aku begitu.
"Kenapa kamu ngeliatin aku terus,sih? Nggak ada loh cabe di gigi aku."
"Cabe aja yang dipikirin, cepat di habisin! Atau aku tinggal kamu nih!"
Aku mencebik kesal.
"Jahat banget, ngancamnya nggak pakai perasaan."
"Bodo amat!"
Pengen rasanya aku kick aja suami model begini, kick gimana dulu? Yang jelas kick sayang lah sama paksu.
***
"Selamat tidur." Mas Daniel menarik selimut sebelum memejamkan mata.
Aku mengangguk pelan dengan perasaan..... Entahlah.
Bukankah belakang ini sikap Mas Daniel sedikit berbeda? Lebih perhatian.
Ya, walaupun aku dibiarkan tersegel sampai sekarang. Tapi ini kemajuan pesat, setidaknya tatapan jijik Mas Daniel sudah berkurang.
Kira-kira kenapa ya?
Apa iya, dia sudah mulai ada rasa padaku?
Jiah.... Ngarep!
Aku yang masih berbaring sambil merenung dikamar dengan lampu remang-remang ini, dibuat terkejut saat Mas Daniel tiba-tiba menyampirkan tangan tepat diatas perutku.
Nggak cuma sampai disitu. Dia sudah merem, juga tiba-tiba memeluk ku semakin erat. Bikin aku deg-degan setengah mati.
Sumpah! Ini pelukan pertama sejak kami menikah. Dan yang pertama juga buat aku, karena aku nggak pernah sama sekali pacaran.
Gimana mau mikirin pacaran? Bisa makan sama sekolah tamat aja udah syukur Alhamdulillah.
Duh, mau apa dia?
Apakah akan terjadi ke khilafan sebentar lagi? Kok cuacanya jadi panas begini!
Jantungku seakan hampir melompat saat hidung bangirnya menyentuh pipi.
Wow! Aw! Aw!
Ya ampun, baru pipi sudah lama dingin begini? Bagaimana kalau sampai yang lain? Kok, rasanya jadi nano-nano begini ya?
Seluruh tubuhku rasanya menegang, bagaimana tidak, ini sesuatu yang baru padaku. Di peluk dan dicium sendiri oleh suamiku rasanya aneh-aneh gimana gitu.
"Putri."
Mas Daniel buru-buru melepaskan pelukan dan menjauhkan wajah dariku begitu matanya terbuka.
Meski dengan perasaan gugup aku mencoba bertahan pada posisiku.
"Kenapa?" Aku menyahut santai walaupun dalam hati ada rasa kecewa karena melihat dia menyesal telah memeluk dan mencium pipi istrinya sendiri.
"Kamu pasti sengaja kan?" Dia menuding tanpa perasaan.
"Sengaja apanya! Bukannya kamu yang peluk-peluk duluan? Kok malah aku yang disalahin?" Aku membalas ucapannya dengan perasaan yang kesal.
Walaupun kami sudah resmi sebulan suami istri, tapi masa iya, aku perempuan yang nyosor duluan? Lagian aku belum ada pengalaman, yang ada nanti aku mempermalukan diriku sendiri.
"Kalau dirasa kehadiran membuat mu terganggu, baiklah... Aku tidur di sofa!" Aku buru-buru menurunkan kaki dan berjalan cepat menuju sofa kamar berwarna coklat tua, yang didepannya terdapat meja kaca bulat.
Disaat seperti ini aku merasa dadaku seperti terhimpit.
Aku kembali merendahkan diri, merasa tidak seharusnya setuju menikah dengan anak pengusaha sukses seperti Pak Ramon yang pernah 4 kali singgah di minimarket tempat aku bekerja dulu.
"Putri!" Entah rasa bersalah atau apa, Mas Daniel memanggil namaku begitu aku sudah terduduk kaki di sofa.
"Nggak usah panggil-panggil!" Aku menyahut tajam. "Aku menyesal telah setuju menikah dengan laki-laki yang memandangnya ku sama hina nya dengan kotoran."
"Bukan, begitu Putri?"
"Sudahkah Mas, kalau kamu Mengantuk lanjutkan tidurmu. Aku janji nggak akan mengganggumu."
Mas Daniel menyentak napas kasar.
Sejurus kemudian tampak dia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
Apa kemarahan ku membuat perutnya mules?
Tak sampai lima menit, terlihat keluar dari kamar mandi dengan wajah yang kelihatan lebih segar. Apa dia cuci muka barusan? Biar apa coba?
Setelah melihat pria yang 35 tahun itu mengambil laptop dan memangku nya. Kakinya ia selonjor kan begitu saja, sedangkan punggungnya bersandar di kepala ranjang.
Sesekali, kami saling pandangan dari jarak yang agak berjauhan. Namun, satu katapun tak ada yang keluar untuk memecah suasana hening yang masih diliputi ketegangan.
"Rasanya.... Aku butuh teman?" Sengaja aku berucap lantang, ingin tahun bagaimana reaksinya.
Mas Daniel yang sedari tadi tengah sibuk dengan laptop di pangkuannya, melirik padaku.
Wah, mantap! Dia terpengaruh ternyata.
Bagus!
Tanpa kata, aku bangkit dari sofa. Kuambil kartu nama Sebastian Gunawan yang tersimpan didalam laci nakas samping ranjang.
Dari ekor mataku, bisa ku pastikan dia melirik pada diriku begitu aku membuka laci.
Bodo amat!
Tanpa ingin tahunya bagaimana dia berekspresi selangkah, iseng ku simpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.Bukan karena aku ke gatalan loh,ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuan nya tentang hubungan suamiku dan Lita yang katanya masih hangat sekitar sebulan lalu. Lah, bukan kami sudah menikah? Jadi maksudnya Mas Daniel bermain dibelakang ku?Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu."Halo?" Suara Bastian memenuhi rongga telinga saat telepon kami bersambung."Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya."Wow, ini mbak kasir yang di jodohin sama cowok tajir mantan Lita itu kan?" Dari nada bicaranya, Bastian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku."Iya betul.""Ada masalah apa menelepon ku malam-malam begini, mbak kasir?"
“Mas,turunin!” Aku berucap dengan melotot saat menatapnya yang terus memandang lurus ke depan.Mas Daniel cuek dan tetap membopongku sampai ke kamar. Orang yang melihat aksinya saat ini pasti mengira jika kami adalah pasangan serasi yang sedang kasmaran, bahkan dia menggunakan kaki kanannya saat mendorong pintu untuk membuka. Sudah seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta bukan?Pun saat menutup pintu pasca kami masuk lagi ke kamar, dia pun mendorong dan memastikan pintu tertutup rapat dengan sebelah kakinya.Namun, gayanya yang membopong ala bridal style berakhir ketika kami sudah berdua saja dikamar ini. Tanpa kata-kata, dihempaskan nya tubuhku ke atas ranjang tanpa perasaan.“Aw!” Aku mengaduh sembari memegangi punggung ku. Meski tempat tidur ini empuk, rasanya nggak enak banget lah dihempaskan begitu.“Kasar banget, sih! Jadi cowok!” Aku mengomel kesal padanya yang sesuka hati melempar k
Tampak sekali Mas Daniel tersulut emosi saat aku menyebut nama mantan kekasih yang mungkin saja berhubungan baik dengannya sampai sejauh ini. Apakah tuduhan ku benar. Jujur aku mengakui hatiku, bergemuruh saat mencoba menafsirkan ekspresi wajahnya. "Dan, ingat, kamu sudah punya istri. Jangan memberi celah pada wanita untuk memporak-porandakan nasib pernikahan kalian." Papa mertua terdengar bersuara. Membuat sesuatu yang ada disini terdiam. Pun begitu dengan Mas Daniel, dia terlihat seperti anak baik-baik yang enggan membantah perkataan orang tua. "Kamu perlu ingat satu hal. Kamu sudah mengambil tanggung jawab atas Putri saat mengucapkan ijab Kabul di depan penghulu, Daniel..." "Iya, pa." "Perkara kalian mau pindah kerumah baru atau tetap disini, papa membebaskan. Tergantung Putri saja." Ucapan papa mertua terdengar bijaksana. " Tapi menurut Mama, Putri lebih baik tinggal disini deh pa! Papa tau kan dari dulu Mama pengen
Kata-kata itu terdengar tajam bagai belati yang menusuk dalam sampai ke ulu hati.Ya Rabb, benarkah kesucian ini yang ku jaga selama ini harus terenggut dalam situasi dan kondisi mencekam seperti ini? Keadaan yang bahkan jauh dari kata romantis?Sungguh, bukan dengan jalan seperti ini yang kuinginkan menjadi akhir dari penjagaan kesucian seorang Putri Melani.Dengan napas menderu, mataku yang masih dipenuhi bias kaca, menatap nyalang wajah lelaki yang ternyata tak berperasaan ini.Aku benar-benar tak habis pikir. bagaimana bisa orang tua yang pembawaan lemah lembut dan bijaksana, memiliki penerus seperti laki-laki yang tengah berdiri kaku dihadapan ku.Aku merasakan tulang ku membeku saat matanya menatapku dengan tatapan buas yang mengancam. Persis seperti pemburu yang mengincar sasarannya.“Jangan pernah berharap menyentuhku, apalagi memaksaku! Aku tidak sudi!” aku berteriak lantang saat Mas Daniel terlihat semakin tertarik untu
“Omong kosong katamu? Aku serius! Kalau kamu masih cinta dengan dia kenapa harus menikahi ku?” Aku menatapnya tajam ketika mengolok dirinya yang masih mempertahankan raut wajah yang garang setelah mengintimidasi diriku.Tak menjawab pertanyaan ku, Mas Daniel terdiam untuk berapa saat hingga mencetuskan ide untuk makan siang. Karena memang, kami belum sempat makan sebelum pamit pergi tadi.“Aku lapar. Gimana kalau kita makan sekarang?” ujar Mas Daniel sembari mengusap perutnya.Tak mau berdebat, aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju.Pulang dari gerai ponsel di salah satu mall elit di ibukota ini. Kami pun singgah di sebuah restoran khas jepang. Tempat yang rasanya juga menjadi salah satu lokasi favorit suamiku untuk mengisi perut, selain mie ayam langganan hari itu.“Kamu nggak makan?” Mas Daniel bertanya ketika berbagai hidangan tersaji dihadapan kami dan aku sama sekali tak tertarik untuk mengambil salah sa
“Jadi kalian?” Mas Andre dan Mbak Misca kompak menggantung pertanyaan yang sudah aku ketahui kemana arahnya.“Ya, belum terjadi apa-apa diantara kami, dan mungkin… nggak akan terjadi.” Aku membalas datar pertanyaan mereka meski hati bergejolak ingin memuntahkan amarah, dan mengungkapkan betapa hina nya aku dimata Mas Daniel. Namun, aku tahan.Rasanya terlalu kekanak-kanakan jika aku mengungkap secara gamblang perlakuan apa yang aku dapatkan selama menjadi istri seorang Daniel Hadiwijaya.Menanggapi ucapan ku, Mas Daniel terlihat menunjukan raut wajah tegang. Namun, tanpa terduga respon lain ditampilkan oleh Mas Andre dan Mbak Misca.“Relax, dek.” Mbak Misca berjalan mendekatiku. Dengan penuh kelembutan, ibu satu anak ini mengusap punggungku.Diperlakukan seperti ini, justru membuatku terjebak dalam perasaan melankolis.Jujur, aku tersentuh. Setelah kepergian Ibu dan Bapak, usapan lembut dipunggung s
Aku menggeleng cepat. Mencoba mengingkari saat pikiranku terus berkompromi menuduh jika papa mertuaku adalah pria dewasa yang menyebabkan aku menjadi yatim piatu, serta kehilangan saudara di hari yang sama hampir Sembilan tahun.Bukankah papa mertua terlalu baik jika di tuduh sebagai pembunuh? Pikiranku terasa buntu jika harus terus menduga-duga. Namun,bukankah alasan beliau menikahkan aku dengan putranya adalah suatu alasan tak masuk akal?Argh…..!Setelahnya, berulang kali ku ubah posisi tidur, berharap kantuk segera datang dan bayang mengerikan mengerikan itu hilang. Namun, ternyata hasilnya nihil.Ya, seperti biasanya, aku bakal kesulitan untuk dapat memejamkan mata kembali stelah mimpi buruk itu datang. Mimpi yang entah sekian kalinya datang dalam hidupku selalu sukses membuat jantungku berdebar berpacu tiga kali lebih cepat saat bayang silam nan memilukan itu berputar lagi di kepala.“Putri, Dek?” Mbak Misca yang mungkin me
“Aku akan melupakannya jika kau berani bertaruh kalau kau tak menikmati apa yang kita lakukan malam tadi, Putri.” Dengan gigi bergemeretak, Mas Daniel menatapku sengit sebelum beranjak kekamar mandi.Menanggapi ucapan serupa olok-olokan yang dia lontarkan, membuatku mendesah singkat. Sungguh, aku lelah dengan segala perangainya, juga dengan ketololan ku sendiri.Tak mau berdebat panjang, aku memilih keluar dan pergi ke kamar Mbak Misca.“Kita pulang sekarang.” Mas Daniel berucap dingin saat menghampiri diriku yang baru saja memasuki kamar Mbak Misca.Aku mendengkus kecil, sedikit kurang setuju dengan ucapannya barusan.“Kenapa buru-buru banget sih? aku masih pengen disini, masak bareng Mbak Misca.” Ujar Ku mengeluarkan unek-unek.“Mama yang minta.”Aku pun terpaksa mengalah meski sebenarnya masih ingin berada lebih lama di sini. Bagaimana tidak, baru ditempat inilah bisa ku temukan