Share

ISTRI YANG KUSIA-SIAKAN
ISTRI YANG KUSIA-SIAKAN
Author: Arvinwarda

Malam pengantin

"Kamu tidur di bawah. Aku tidur di atas!" Ayra--gadis belia yang pagi tadi telah menyandang status istriku itu tersentak saat mendengar bentakanku. Ia sampai urung merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin kami.

"Lo, Mas. Kita kan ..." ucapnya.

"Apa?" sahutku tajam, dan Ayra langsung menunduk.

"A-Aku, kan, istrimu."

"Kita sudah menikah ..." lanjut Ayra dengan suara gemetar.

Aku tersenyum sinis, kudekati Ayra dengan tatapan yang menakutkan hingga membuat gadis itu langsung melangkah mundur.

 "Jangan kamu pikir aku bersungguh-sungguh dengan pernikahan kita! apa kau pikir aku menerima pernikahan ini?" bentakku kasar, hingga membuat gadis itu langsung mendongak dengan tatapan tak percaya. Kulihat tubuh Ayra langsung membeku mendengar pernyataanku, sampai suara lirih itu keluar dari bibirnya.

"Maksud Mas Abram apa?" tanyanya.

"Apa kurang jelas perkataanku tadi. Kau tidak tuli kan?" balasku dengan tatapan tajam. Ayra hanya diam, matanya berkaca namun aku sama sekali tak merasa iba.

Aku mendengkus kesal, kemudian kulemparkan karpet beserta bantal di lantai dengan kasar. 

Ayra tak membalas apapun, pandangannya kembali menunduk. Aku tahu bahwa gadis itu menangis, namun aku samasekali tak peduli. 

Aku menikahi Ayra hanya karena permintaan orang tuaku. Aku sama sekali tidak sungguh-sungguh dengan pernikahan ini. Meski Ayra tidak jelek-jelek amat, tapi Ayra gadis kampungan. Tubuhnya mungil. Dia samasekali tidak masuk dalam kriteriaku. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya orang tuaku memilih Ayra sebagai istriku.

Jika ditanya kenapa aku tidak menolak, itu karena Ayah mengancamku, jika aku tidak menikahi Ayra, maka semua harta Ayah akan menjadi milik adikku--Nanda. Sedang aku tak akan mendapat bagian sepeserpun. Kata Ayah, aku sudah dijodohkan dengan Ayra sedari gadis itu lahir, karena Ayah mempunyai kesalahan besar pada Ayah Ayra. Entah kesalahan apa yang dimaksud, aku juga tak ingin tahu. Yang kutahu, Ayah dan bapaknya Ayra, mereka sahabat baik meski terpisah dengan jarak cukup jauh. Aku ingat, waktu kecil, Ayah pernah mengajakku ke desa ini, dan waktu itu Ayra masih bayi. Hingga  bertahun-tahun berlalu. Tak kusangka, takdir membawaku kembali menginjakkan kaki di desa ini sebagai menantu di rumah Pak Arman--ayahnya Ayra--gadis kampung yang baru saja lulus dari sekolah SMA-nya. Aku menggelengkan kepala, Ayra tak pantas bersanding denganku. Aku lelaki dewasa yang sudah matang. Usiaku bahkan sudah menginjak tiga puluh tiga tahun. Jika aku berjalan dengan Ayra, maka siapapun akan mengira jika Ayra lebih pantas menjadi keponakanku.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, namun aku tak kunjung bisa memejamkan mataku. Hawa dingin pedesaan membuatku menggigil. Terlebih banyak suara hewan malam yang menganggu pendengaranku. Dari jangkrik, kodok, hingga tokek sialan yang membuatku amat terkejut. Berulang kali aku membolak-balikkan tubuhku. Mencari posisi ternyaman. Sampai akhirnya, aku memutuskan bangkit, bermaksud mencari selimut lagi untuk melapisi tubuhku. Sekilas kulihat Ayra sudah meringkuk memejamkan mata di lantai bawah sana.

"Mana, sih!" Aku mengumpat kesal saat tak kutemukan selimut dalam lemari Ayra meski sudah kuobrak-abrik isi di dalamnya.

"Mas, cari apa?" Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba suara terdengar dekat di belakangku. Aku memegangi dadaku yang berdebar dan berbalik menghadap Ayra penuh emosi.

"Bisa permisi dulu, gak, sih!" ketusku meotot. Ayra terkejut, ia kembali menunduk.

"Permisi gimana, aku kan sudah ada di dalam sini dari tadi," balasnya dengan polos. Dasar anak Pesantren!

"Mana selimut!" pintaku. 

Ayra melihat ranjang. Tatapannya kembali kearahku, dan dengan polosnya ia berkata, "Itu apa?" ucapnya sembari menunjuk selimut yang menjuntai ke bawah.

Aku memejamkan mata geram.

"Terserah!" ucapku kemudian, lantas pergi dari hadapan Ayra dan menghempaskan tubuhku di ranjang. Aku meringkuk dan membungkus seluruh tubuhku dengan selimut tipis berwarna merah jambu milik Ayra.

Sesaat setelahnya, terdengar suara pintu dibuka. Aku langsung membuka selimut yang menutupi kepalaku dan kulihat Ayra keluar. Dia kembali dengan membawa selimut yang lebih tebal di tangannya. 

Aku pura-pura tidur saat Ayra mendekat. Malas sekali jika harus kembali berbicara dengannya.

Tanpa kuduga, Ayra membentangkan selimut yang ia bawa ke tubuhku tanpa melepas selimut yang tengah aku pakai. Setelah itu, langkah kaki Ayra terdengar menjauh, dan saat kubuka mata, Ayra terlihat megusap air matanya sebelum akhirnya kembali tidur meringkuk di lantai beralaskan karpet yang tadi kulempar.

Baru saja memejamkan mata, jantungku dibuat kaget lagi akan suara tokek sialan yang terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Saat kutamatkan, suaranya terdengar dari belakang lemari kayu milik Ayra.

"Aarggh!!" Aku bangkit dengan kesal. Bersamaan dengan itu, Ayra yang berada dilantai juga bangkit, mungkin terkejut dengan geramanku. Ia menoleh ke arahku, matanya merah dan sembab.

"Mas kenapa?" tanyanya kemudian.

"Bisakah kau buat diam tokek peliharaanmu itu? mengganggu saja!" umpatku.

"Tapi itu bukan peliharaan, Mas," sanggahnya.

"Terserah! yang penting, usir tokek itu agar aku bisa tidur!" Ayra nenuruti perintahku, ia lantas keluar kamar dan kembali dengan membawa sapu lidi di tangannya.

"Hei! hei! ba*ingan! sialan!" segala sumpah serapah tanpa sadar keluar dari mulutku saat tokek itu tiba-tiba lompat dari atas lemari dan jatuh menimpa kepalaku.

"Tolooong!" jeritku, aku benar takut dan jijik. Tokek itu tak mau lari dari kepalaku dan malah mencengkram rambutku begitu erat. Bisa kurasakan betapa empuk dan dinginnya kulit hewan itu saat aku berusaha mengusirnya dari mahkotaku.

"Heh, bocah! tolong!" pintaku pada Ayra. Gadis itu malah diam melihatku, meski wajahnya terlihat panik, tapi tetap saja dia tak melakukan apa-apa.

"Gimana ini, Mas! a-aku juga takut!" balasnya kemudian.

"Pukul!" pintaku dan gadis itu melotot. Kuraih tangannya yang masih memegang sapu lidi.

"Pukul yang keras Ayra!" Aku memaksa. Ayra malah menggeleng dengan wajah bimbangnya. Detik kemudian, dia keluar dan berteriak memanggil bapaknya.

"Bapaaak, tolooong ...!" Bisa kudengar ketukan pintu yang kasar saat Ayra terus berusaha membangunkan bapaknya.

Sesaat kemudian, Ayra datang bukan hanya membawa Bapak mertua, tapi dia juga membangunkan Papa dan Mama. Oh, benar-benar malam yang kelam. Malam terburuk sepanjang umurku.

Entah sudah seperti apa wajah malu dan takutku saat Papa dan Mama menertawaiku tanpa dosa.

"Meneng, yo, Le. Ojo obah," titah Bapak. (Diam ya, Nak, jangan gerak) sedikit banyak, aku masih bisa mengartikan bahasa jawa alus meski bertahun-tahun silam aku tak menggunakannya, karena kami pindah ke kota.

"Wis, wis kenek." (Sudah, sudah bisa) ucap Bapak. Seketika napasku menjadi lega. Bapak keluar membawa tokek, sedang Papa dan Mama masih terus menertawaiku. Sampai akhirnya, mereka menyadari sesuatu. Membuatku langsung mengumpat dalam hati. Aku mengedipkan mata pada Ayra, semoga saja gadis itu mengerti maksudku.

"Bram, itu kenapa ada karpet sama bantal di bawah?" tanya Mama. Papa menatapku tajam seolah bisa menebak apa yang terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status