Share

Kebodohan Ayra

Waktu sudah beranjak sore saat aku memejamkan mata. Ketika terbangun, kulihat langit dari jendela sudah berubah gelap. Gegas aku bangkit untuk membersihkan tubuh yang lengket karena belum mandi. Guyuran air hangat dari shower membuat semangatku kembali naik setelah tiga hari tersiksa karena menahan dinginnya air di pedesaan tempat tinggal Ayra.

Usai mandi, aku langsung keluar kamar setelah memakai pakaian.

"Mas, mau kemana?" tanya Ayra tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. Aku lupa bahwa sudah tak lagi sendiri, ada Ayra yang sudah menjadi istriku dan tinggal disini.

"Mau keluar!" balasku ketus, lantas menyambar kunci mobil di atas meja. Aku keluar karena ada janji dengan Ela. Tadi sore, kekasihku itu memintaku menemuinya di sebuah kafe tempat kami biasa bertemu.

"Mas, tunggu!" Ayra mengejarku yang sudah membuka pintu mobil. Membuat emosiku seketika langsung naik.

"Apa lagi! kalo mau ikut gak usah!" cecarku, dan dia langsung menunduk. Aku masuk ke dalam mobil, namun lagi-lagi Ayra mencegahku.

"Sudah kubilang jangan ikut campur urusanku!" bentakku lagi.

"Aku lapar," ucapnya lirih, kulihat tangannya juga gemetar.

"Bisa masak sendiri, kan? sana masuk!" usirku kemudian.

"Tapi di dapur gak ada apa-apa. Dompetku juga ketinggalan di rumah Bapak," jelasnya. Aku menghela napas berat mendengar ucapan Ayra. Bisa-bisanya aku lupa jika aku sama sekali belum mengisi kebutuhan dapur. Kali ini, aku merasa bersalah karena membuat anak orang kelaparan.

"Ini! di pertigaan jalan sana ada orang jualan Nasi goreng. Beli sendiri!" Aku menyodorkan beberapa lembar uang merah pada Ayra. Dia menerimanya dengan ragu.

"Sisanya untuk peganganmu!" ucapku setelah Ayra menerima uang dariku.

"Terimakasih," balasnya. Aku hanya berdehem menanggapi. 

"Nanti, akan ada orang yang mengantar kebutuhan dapur. Terima saja dan jangan menunggu aku!" jelasku, dan Ayra mengangguk.

Setelah itu, aku menyalakan mobil sebelum akhirnya keluar dari halaman. Bisa kulihat Ayra masih berdiri menatap kendaraan yang aku tumpangi hingga tubuh mungilnya itu tak terlihat lagi dari kaca spion.

Aku mempercepat laju kendaraanku,  tak sabar menemui Ela. Aku begitu merindukannya setelah tiga hari tak melihat wajah cantiknya. Sikap manja Ela dan semua tingkahnya membuatku semakin rindu hingga aku tak bisa menghentikan senyumanku sepanjang jalan.

"Mas Abram!" Ela melambaikan tangan. Dia berlari menghampiriku dengan senyuman manisnya. Detik kemudian, Ela menghambur ke pelukanku, dan kubalas dia dengan kecupan lembut di keningnya.

"Aku kangen!" tuturnya manja. Tubuhnya bergelanyut di pundakku.

"Aku yang lebih merasakan itu," balasku mencubit pipinya gemas.

"Aku sudah pesankan makanan kesukaan kamu," ucap Ela di sela-sela langkah kami.

"Kamu memang paling mengerti aku." Aku mengacak rambut Ela, dia langsung cemberut karena perlakuanku. Membuatku semakin gemas.

"Kita makan dulu, aku sangat lapar," ucapku. Ela mengangguk tersenyum. Kemudian kami makan bersama.

"Mas ..." ucap Ela setelah ia menyelesaikan makannya.

"Hm," jawabku asal, mulutku masih mengunyah makanan.

"Kapan, Mas mau nikahi aku." Pertanyaan Ela seketika membuatku tersedak. Ela terkejut lantas mengambilkan minuman untukku.

"Gimana, sih, Mas!" ucapnya, panik.

"Kita bicarakan ini nanti, ya. Habis ini kita jalan-jalan," jelasku. Ela cemberut, dia langsung diam seribu kata jika sudah ngambek.

Usai menyelesaikan makan. Aku langsung mengajak Ela keluar memasuki mobil. Sepanjang jalan, Ela masih membisu. Dia tetap diam meski aku terus menggombalinya.

"Sayang." Aku mencubit pipi Ela setelah memarkirkan mobil di taman kota. Ela tetap cemberut, dia malah menepis tanganku.

"Jangan gitu, doong. Nanti tambah cantik tau!" rayuku lagi. Ela langsung menoleh menatap mataku.

"Kapan, Mas Abram mau nikahi aku." Pertanyaan itu kembali keluar dari bibir manis Ela. Kali ini, aku seakan tak bisa menghindarinya.

"Aku capek terus sembunyi seperti ini. Usiaku sudah dua puluh delapan tahun, Mas! lantas sampai kapan kamu menyembunyikan hubungan kita dari orang tuamu?" lanjutnya.

"El, aku mohon bersabarlah. Aku akan memperjuangkanmu di depan orang tuaku, tapi aku mohon bersabarlah," pintaku. 

"Selalu itu yang kamu ucapkan! lalu bagaimana jika orang tuamu tetap tidak setuju. Apa kita harus mengakhiri hubungan ini?" Ela mendengkus, kemudian melanjutkan perkataannya. "Dua tahun waktuku sia-sia hanya untuk ketidakjelasan hubungan ini! kalo memang Mas Abram gak niat nikahi aku, lebih baik kita akhiri. Masih banyak lelaki yang menungguku di luar sana!" ketusnya. Ela membuka pintu mobil hendak keluar, namun aku mencekal tangannya.

"Enam bulan! beri aku waktu enam bulan! Setelah itu, aku akan menikahimu!" Ela menatapku, namun ia tetap memaksa keluar dari mobil.

"Aku janji!" lanjutku kemudian, Ela langsung terdiam, ia kembali menatapku dan menghentikan niatnya untuk keluar.

"Enam bulan ..." ucapku lagi.

Sesaat Ela diam sebelum akhirnya dia berucap.

"Lalu bagaimana jika keadaan tetap tak berubah." Ela kembali memalingkan wajahnya.

"Aku akan tetap menikahimu meski tanpa restu orang tuaku," sahutku.

"Kawin lari?" tukasnya membuatku bungkam. Namun meski hatiku bimbang, aku tetap mengiyakan ucapannya.

Ela mengajukan jari kelingkingnya.

"Janji?" Ela menatap dalam. Meski aku aku tak yakin mampu menepatinya, tapi aku tetap membalas melingkarkan jari di kelingkingnya.

"Janji," balasku. Ela langsung tersenyum dan memelukku.

"Kita keluar?" tanyaku dan Ela mengangguk. Kami lantas turun dan menikmati indahnya suasana malam di taman kota.

Puas bercanda dan bertukar pikiran, aku memutuskan untuk pulang setelah mengantar Ela ke rumahnya. Ela adalah anak bungsu dari tiga saudara, orang tuanya tinggal di luar kota. Sedang Ela hidup mandiri disini dan bekerja sebagai staff karyawan di kantor. 

Ela menciumku, sebelum akhirnya ia turun dari mobil. Dia melambaikan tangannya sampai mobilku keluar dari halaman rumahnya.

Sepanjang jalan, aku memikirkan rencana kedepannya. Dalam waktu enam bulan, itu artinya aku harus membuat Ayra menyerah dengan pernikahan ini. Bukan masalah Ayra yang memperberat pikiranku, tapi Papa dan Mama. Mereka pasti tidak akan melepaskan Ayra sebagai menantunya begitu saja. Kepalaku begitu berat memikirkan semua ini. Haruskah aku benar-benar kawin lari dan tidak mendapatkan sepeserpun harta Papa? Ah, tidak! aku tidak sebodoh itu. Aku adalah anak Papa dan berhak mewarisi hartanya. 

Aku mempercepat laju kendaraanku. Rasanya aku ingin segera menghempaskan tubuhku di ranjang, melepaskan penat yang tiba-tiba menyeruak menguasai raga.

Jam yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku langsung masuk ke dalam rumah setelah memasukkan mobil ke garasi. Namun langkahku terhenti saat kudapati Ayra tertidur di sofa dengan dua bungkus nasi goreng yang ia letakkan di piring terpisah yang masih belum tersentuh.

Aku memejamkan mata kesal, kulangkahkan kakiku menghampiri Ayra dan membangunkannya.

"Bangun!" sentakku kasar hingga membuat mata gadis itu terbuka. Sesaat dia masih terdiam mengembalikan kesadarannya. Buang-buang waktuku saja!

"Mas ..." ucapnya lirih, sembari melihat jam dinding.

"Baru pulang," lanjutnya.

"Ini apa!" ucapku menunjuk Nasi goreng di atas meja.

"Nasi goreng," jawabnya terlihat bingung, membuatku semakin kesal.

"Aku tahu itu Nasi goreng! lantas kenapa kamu tidak memakannya!" sungutku, Ayra langsung mendongak menatapku.

"Karena aku menunggumu, Mas," balasnya kemudian. Aku menghembuskan napas, kuacak rambutku kasar melihat kebodohan Ayra.

"Untuk apa kau menungguku, Ay! sekarang makan! lain kali, jangan pernah tunggu aku karena aku tidak akan makan bersamamu!" cecarku. Kutinggalkan Ayra tanpa melihat wajahnya. Masa bodoh dengan perasaannya. Semakin dia tersiksa, maka akan semakin baik. Akan kubuat dia menyerah dengan pernikahan neraka ini dalam waktu yang sudah kutargetkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status