Share

Enam

"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama.

Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku."

"Kenapa kamu berpikiran begitu?"

"Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?"

"Gak ada salahnya mencoba, Inka."

"Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan.

Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama."

"Nah, gitu dong!"

Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar.

"Ma!" panggilku.

Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?"

"Malam ini Inka ingin tidur di sini."

"Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama.

"Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"

Senyum Mama mengerut. "Karena sudah kewajiban Mama untuk nurut sama suami. Begitu pun juga kamu, kamu harus nurut seperti Gavin. Walaupun Mama gak suka melihatnya, tapi mau bagaimana pun dia tetap suamimu."

"Kontrak," lanjutku.

"Non Inka, di luar ada Den Gavin!" Bi Inem berteriak.

Aku mengerutkan dahiku, pandanganku tak luput dari sebuah benda yang melekat elok di tanganku. Jarumnya terus bergerak. Ini masih siang, mengapa pria itu sudah di sini? Bukannya di pulang sore?

"Sana kamu hampiri Gavin, Mama mau ke kamar dulu," pamit Mama.

Saat Mama hendak melangkahkan kakinya, aku terlebih dahulu mencekal tangannya. "Ada apa?" tanya Mama.

"T-takut. Inka takut dimarah Mas Gavin," ujarku.

Mama tampak menghela napasnya, lalu mengelus pundakku seraya tersenyum. "Kamu harus biasa, Inka. Sana temuin dia! Mama ke kamar." Kemudian Mama melanjutkan langkahnya.

Aku berjalan secara perlahan ke luar rumah. Hingga aku melihat Mas Gavin yang bertengger di salah satu kursi di teras rumahku. Pandangan pria itu lurus ke depan, wajahnya sangat datar.

"A-ada apa, Mas?" tanyaku dengan gemetar dan menunduk. Karena dari awal aku yakin, jika Mas Gavin bakal memarahiku.

Mas Gavin spontan beranjak dari duduknya. "Belum ada satu jam saya tinggal, tapi kamu sudah pergi! Perempuan macam apa kamu? Sukanya kelayapan," marahnya, tak lupa dengan mengontrol suaranya. Mas Gavin tidak mau jika Mama mendengarnya.

"M-maaf, Mas." Seperti saran Mama, aku mencoba nurut padanya.

Mas Gavin menghela napasnya. "Rain, kamu sekarang sudah menjadi istri saya. Saya tidak mau kamu pergi sesukamu tanpa izin dari saya," ucapnya dengan lembut.

Aku terkejut mendengar penuturan kata itu, mengapa sangat lembut? Biasanya juga pria itu membentak.

"Yaudah, yuk kita ambil pakaian kamu, habis itu kita pulang!" titahnya sembari menungguku untuk berjalan masuk ke rumah.

"Mas, Inka ingin tidur di sini satu malam saja," ucapku.

"Gak bisa," jawabnya singkat.

"Please, Mas. Ini untuk terakhir kalinya," bujukku.

"Sekali saya bilang gak bisa ya gak bisa!" bentaknya membuatku terkejut. Tadi pria itu berbicara lembut padaku, tapi kini sudah berbanding balik.

"Loh kalian di sini?"

Pandangan kami berlalih pada Papa yang baru datang mengenakan jas hitam.

"I-iya, Pa!" jawabku gugup.

"Saya senang kalian bisa kompak begini. Gak sia-sia saya jodohkan Inka denganmu, Gavin!" ujar Papa tersenyum.

Aku menoleh ke arah Mas Gavin, ia membalas perkataan Papa dengan senyuman juga. Tak bisa ingkar, senyuman pria itu sangan manis.

"Yaudah, yuk kita masuk! Sekalian ada yang mau Papa omongin." Papa masuk terlebih dahulu, di susul aku dan Mas Gavin di belakang.

Kini aku, Mas Gavin dan Papa telah duduk di sofa ruang tamu. Di susul Mama yang membawa beberapa camilan dan minum.

"Apa yang mau Papa omongin?" Aku membuka pembicaraan.

"Mama sama Papa besok pergi ke California mau ngurus perusahaan. Papa minta sama Gavin, jaga Inka baik-baik selama kami di luar negeri," ujar Papa.

Baik aku mau pun Mama sama-sama terkejut mendengar penuturan Papa barusan.

"Kenapa mendadak?" lontar Mama terkejut.

"Papa juga dapat kabarnya mendadak Ma dari bawahan," jawab Papa.

"Yahh, padahal Papa sama Mama baru aja pulang ke Indonesia dua hari sebelum Inka dijodohkan. Sekarang sudah mau pergi lagi, kasihan kali nasib aku," keluhku.

"Ini sudah risiko pekerjaan Papa, Inka. Lagian juga sekarang sudah ada Gavin yang bakal menjadi teman hidup kamu. Kamu gak bakal kesepian lagi," terang Papa.

Aku menoleh sebentar ke arah Mas Gavin. Kalau hidupku bersamanya, bukannya ngilangin sepi malah latihan mental.

"Yasudah, tapi Inka punya permintaan terakhir. Inka mau nginap di sini malam ini aja," pintaku. Jujur, aku memang ingin sekali tidur di kamarku untuk yang terakhir kalinya.

"Papa belum bisa mengizinkannya, karena tanggung jawab kamu ada di Gavin. Minta izin padanya!" pinta Papa.

Kini padangan kami beralih pada Mas Gavin yang berwajah datar bak tembok. Kami menanti-nanti dirinya berbicara, namun pria itu tak kunjung buka suara.

"Bagaimana, Gavin?" Dan pada akhirnya Papa yang menanyainya kembali.

"Maaf Pa, Gavin gak bisa izinin Rain untuk tidur di sini malam ini. Besok pagi Gavin harus berangkat ke kantor pagi, sementara data-data Gavin berada di rumah," tolak Mas Gavin.

Aku menatapnya kesal. "Yasudah, kalau gitu Mas tidur di rumah Mas, aku tidur di rumah Mama Papa," sanggahku.

"Inka!" gertak Papa membuatku menunduk.

"Kamu harus ikutin suami kamu ke mana pun dia!" lanjut Papa tentunya dengan bentakan.

"Pa, kasihan Inka. Mungkin dia sangat ingin tidur di sini." Mama menimpal.

"Enggak bisa, Ma. Apa pun keputusan Gavin gak bisa diganggu gugat oleh Inka," sahut Papa.

"Jadi apakah bisa kami mengambil baju-baju di kamar Inka?" tanya Mas Gavin meminta izin.

"Silakan, Nak Gavin!"

Mas Gavin berdiri, lalu menatapku dan menggerakkan kepalanya ke arah atas tangga. Yang artinya, Mas Gavin mengisyaratkan agar aku terlebih dahulu berjalan ke kamarku untuk mengambil pakaian.

Aku beranjak dari dudukku, dan bergegas berjalan terlebih dahulu ke kamarku dengan Mas Gavin yang mengekoriku dari belakang.

"Sepuluh menit dari sekarang! Cepat bereskan   pakaianmu!" perintah Mas Gavin mendadak.

"Ini bukan ajang perlombaan, Mas!" peringatku.

"Kenapa kamu berani membantah perkataan saya, Rain? Saya suamimu, kamu seharusnya mematuhi perintah saya!" ujar Mas Gavin tak habis pikir.

"Mematuhi perintah Mas yang konyol itu?" sahutku santai dan fokus mengambil sebuah koper di lemariku.

"Ekhm! Cepat atau saya yang akan menyusun pakaianmu! Kamu tahu 'kan bagaimana nantinya nasib pakaianmu jika saya yang menyusun baju kamu?" ujar datar Mas Gavin.

Aku mematung, dengan cepat aku menyusun baju-bajuku ke koper. Tidak terbayang jika nantinya Mas Gavin yang nyusun, bisa berantakan semua.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku siap menyusun bajuku. Aku berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhku. Pandanganku tak luput dari Mas Gavin yang sudah tertidur pulas di atas kasurku.

Aku berjalan ke arahnya. "Mas... Bangun!" bangunkan ku dengan menepuk-nepuk badannya.

"Mas..."

Mas Gavin menggeliat dan melanjutkan tidur pulasnya lagi.

"Mas nyaman ya tidur di kamar aku. Gimana kalau nanti malam kita jadi nginap di sini?" godaku dengan cengengesan, siapa tahu Mas Gavin mau dengan tawaranku.

Mas Gavin yang tadinya tertidur pulas, kini beranjak dari kasur dengan keadaan setengah sadar. "Apanya yang nyaman? Badan saya gatal-gatal karena tidur di kasur busuk kamu itu!" paparnya dengan menggaruk-garuk tubuhnya yang sebenarnya tidak gatal.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nelvi Irayana
cerita nya Bagus, di tunggu bab selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status