Share

Empat

Jam 22:10

Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.

Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi.

"Dari mana?"

Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum.

"Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!"

"Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.

Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.

Sudah beberapa jam aku tiduran di sofa. Niatku memang ingin tidur, namun mataku hanya terpejam tapi tidak tertidur. Mungkin karena aku tida mengenakan selimut.

Perlahan aku membalikkan badanku, kemudian membuka mataku sebelah secara perlahan untuk melihat Mas Gavin. Pria itu belum tidur juga. Badannya telungkup sembari menatap handphonenya. Ternyata ia sedang video call dengan seorang wanita yang hanya mengenakan tank top berwarna hitam.

Seketika hatiku memanas melihat itu. Namun aku tersadar dan langsung merutuki diriku sendiri. Aku tidak berhak cemburu, karena aku hanyalah istri titipan.

____

Cahaya sinar matahari menembus cela-cela jendela kamar hotel ini. Aku yang tertidur pun menggeliat. Refleks aku menguap dan terbangun. Dahiku mengernyit saat melihat setengah tubuhku yang sudah tertimpa selimut.

Sontak aku melihat Mas Gavin yang sedang tertidur pulas, bahkan ia tidak menggunakan selimut sama sekali. Apakah Mas Gavin yang menyelimutiku kemarin malam?

Aku tersenyum. Entah mengapa aku sangat bahagia melihat kejadian pagi ini.

Tak mau berlama-lama, aku langsung beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke toilet. Di toilet itu, aku membersihkan diri.

Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Sebelumnya bibirku menyungging saat melihat Mas Gavin yang sangat tertidur pulas.

Aku berjalan mengelilingi hotel, terutama di tamannya yang serba hijau. Aku menghirup udara pagi dengan dalam-dalam. Kata Mama, udara pagi itu sangat baik untuk dihirup karena belum tercampur dengan napas orang-orang yang memiliki sikap buruk.

Terkadang beberapa orang tak sengaja berpapasan denganku, mereka tersenyum dan aku tersenyum balik. Dan tak terasa sudah hampir satu jam aku mengelilingi hotel dan pulang dengan membawa dua bungkus mie rebus.

Cklek!

Aku membuka pintu kamar. Ku lihat Mas Gavin sudah terbangun dan sedang memainkan handphonenya.

"Mas? Sudah bangun?" tanyaku baik-baik.

"Hm. Seperti yang kamu lihat," jawabnya datar.

Aku menunjukkan dua bungkus mie rebus pada Mas Gavin. "Aku tadi beli ini, Mas!"

Mas Gavin langsung menoleh ke arahku dan menyambar mie rebus di tanganku. "Oh iya, Rain. Tolong beresin baju-baju kotorku ya. Karena bentar lagi kita pulang," titahnya sembari membuka satu porsi mie rebus.

"Bentar, Mas. Aku sarapan dulu!" jawabku.

Sontak Mas Gavin menatapku tajam membuatku bergidik ngeri. "Jangan ngebantah! Kerjai sekarang!"

"I-iya, Mas. Tapi jangan habisi bagian aku ya," ucapku sembari melirik mie rebus di tangan Mas Gavin.

Memang untuk saat ini perutku sangat lapar. Karena kemarin malam, aku tidak memakan apa pun.

"Hm."

Aku membereskan baju-baju Mas Gavin dan menyusunnya di koper mininya. Perutku sejak tadi terus berbunyi karena meminta diisi makanan. Tapi lagi-lagi aku menghela napas, pakaian Mas Gavin berceceran dimana-mana hingga membuat pekerjaan ini membutuhkan waktu yang lumayan lama.

"Mas, sudah siap!" Aku berjalan ke arah Mas Gavin. Mataku menelisik ke sana ke mari karena aku tidak menemukan sisa mie rebus. Bahkan aku mengecek plastik dan juga wadah yang tergeletak di meja. Dan benar saja, mie itu sudah tidak ada.

"Punya aku, Mas makan?" tanyaku.

"Iya, soalnya saya lagi lapar," jawabnya dengan sangat santai.

"Mas, aku juga lapar."

"Istri harus mengalah pada suami."

Aku ingin menangis melihat ini. Perutku sudah sangat lapar, namun sedikit makanan pun tidak ada ia sisain untukku.

Aku melihat pada wadah mie rebus Mas Gavin, tersisa satu sesuap mie lagi di sana.

Sontak aku merebut wadah itu. "Mas, ini untukku!" Kemudian aku melahapnya.

Mas Gavin pun terheran melihatku. "I-itu mie nya bekas saya, sendoknya pun bekas saya juga!"

"Memangnya kenapa?"

"Kamu gak jijik?"

Aku tersenyum terpaksa dengan mata yang berkaca-kaca. "Mas kan suami aku, sudah sewajarnya aku mau bekas Mas. Lagian aku sudah lapar sekali."

Aku meneguk segelas air putih yang ada di sampingku hingga habis. Bahkan, jika masih ada sisa air putih lagi aku akan menghabiskannya lagi. Karena dengan air putih perutku akan terasa kenyang.

"Mas, kemarin malam Mas yang menyelimuti aku?" tanyaku.

Mas Gavin mengangguk.

"Bukannya kemarin malam Mas berkata tidak bisa tidur kalau tidak ada selimut"

"Hm. Ketetapan waktu itu saya lagi gerah dan saya melihat kamu tidur melingkar, itu artinya kamu sedang kedinginan."

Aku tersenyum simpul, itu artinya Mas Gavin memiliki sifat perhatian untukku.

"Kamu jangan kepedean dulu! Itu saya lakukan semata-mata supaya selimut di hotel ini bermanfaat."

Perkataan itu mampu membuatku melunturkan senyuman. Hingga sampai tak sadar, perutku kembali berbunyi.

Aku melihat perutku dengan menunduk. "Mas, aku beli sarapan lagi, ya?" pamitku.

Dengan cepat Mas Gavin menjawab, "gak usah!"

"Tapi perut aku masih lapar, Mas!" rengekku.

"Kita harus pulang cepat. Saya ada urusan di kantor."

Sontak aku menatap Mas Gavin. "Loh, Mas punya kantor?"

Mas Gavin menaikkan kedua alisnya lalu mengangguk.

Tok! Tok!

Mendengar suara ketukan pintu, aku pun langsung membukanya. Ternyata Bunda Anggun yang datang. Aku sedikit terkejut, karena aku mengira semua keluarga Mas Gavin sudah pulang kemarin malam.

"Loh, Bunda bukannya sudah pulang dari kemarin malam?" tanyaku.

"Bunda sama Ayah menginap di hotel. Tapi kalau Kak Bianca sudah pulang kemarin malam," jawab Bunda.

Kak Bianca adalah kakak satu-satunya yang dimiliki oleh Mas Gavin.

"Masuk dulu, Bun!" ajakku sembari berjalan masuk ke kamar dan Bunda pun menyusulku dari belakang.

"Kalian baru bangun, ya?" tanya Bunda.

"Eng-" ucapanku terpotong.

"Ahh... Bunda tahu, pasti kalian kesiangan karena kelelahan malam pertama 'kan?" tebak Bunda.

Sementara aku melebarkan mata, sungguh aku malu dengan perkataan mertuaku.  Meskipun sebenarnya yang dikatakan Bunda tidak benar.

"Jadi gak sabar nunggu cucu baru," seru Bunda.

Aku hanya menghela napas mendengar ucapan Bunda barusan. Kami tidak saling mencintai, mustahil bagi kami memberikan seorang cucu untuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status