"Makanya, cari menantu itu wanita yang sama-sama dari kampung, jadi tahu adab dan sopan santun. Lah itu menantumu, sudah gak bisa masak, gak bisa bantu beres-beres, kerjaannya dandan melulu. Masih mending kaya. Lah dia, tahunya cuma numpang hidup. Mana maksa suaminya untuk membiayai kuliah dia pula."
Aku yang sudah berpakaian rapi, urung melangkah keluar rumah ketika mendengar suara Bu Tria, tetangga dekat kami. Bisa kulihat dari kaca jendela, jika dia sedang berbincang dengan Ibu mertuaku di halaman rumah, dan dengan beberapa orang yang lain."Betul itu Bu Fatmah. Mantu saya jam segini sudah masak, beres-beres rumah, sudah nyuci, dan sekarang sedang momong anaknya. Makanya jam segini bisa bantu Bu Fatmah ngupas jagung," sahut tetangga yang lain."Lagian itu si Hanan itu cuma lulusan SD, ngapain juga mau-maunya banting tulang demi pendidikan istrinya. Perempuan itu kodratnya di dapur sama kasur," tambah Bu Tria lagi.Ibu mertuaku terlihat tersenyum getir, dan sesekali menarik napas panjang. Mungkin dia bosan karena hampir setiap hari para tetangga kami mengucapkan kata-kata yang sama padanya. Tentang aku, menantunya yang dari kota.Aku merapikan kembali pakaianku, lalu berjalan ke luar rumah seolah tak mendengar apapun. Para tetangga itu seketika pura-pura kembali melakukan pekerjaan mereka saat melihatku."Buk, Hasna berangkat dulu," ucapku sambil mengulurkan tangan dengan badan membungkuk di depan mertuaku.Ibu mertuaku itu mengulurkan tangan, dan aku menyambutnya, namun dia sudah menariknya kembali sebelum sempat aku menciumnya. Meskipun hatiku sakit, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Mungkin karena ucapan para tetangga juga sudah mulai melukai hatinya.Bukan sekali dua kali ibu mertua dan suamiku bertengkar karena masalah pendidikanku. Aku berulang kali tak sengaja mendengarnya, meskipun ibu mertua tak pernah terang-terangan melarang aku kuliah."Mas yakin bisa membiayai kuliahku sampai lulus?" tanyaku pada Mas Hanan waktu itu."Insya Allah bisa, Dek. Mas kan sudah janji pada orang tuamu? Mas akan bekerja keras untuk itu. Jadi jangan khawatir," jawabnya."Tapi Ibuk ....""Masalah Ibuk serahkan saja ke Mas. Kamu fokus saja belajar. Pokoknya ibuk mau berkata apapun, jangan didengarkan, jangan dibantah juga, ya?"Aku membuang napas ketika mengingat itu semua, lalu kembali berdiri dan melanjutkan langkah menuju arah rumah Kakak ipar yang tak jauh dari sana. Masih terdengar para tetangga itu melanjutkan ucapannya, ketika aku mulai berjalan menjauh."Tuh, kan, sok-sokan kuliah segala. Seharusnya dia membantu mertuanya mengupas jagung. Dasar mantu tak tahu diri.""Iya, jangan diam saja dong, Bu Fatmah.Aku tak mendengar ibu mertuaku menyahut, sampai aku benar-benar jauh dari mereka. Aku tak mau memikirkan apa yang mereka ucapkan, karena memang sudah terlalu terbiasa. Aku terus saja berjalan hingga sampai di jalan besar, di mana rumah Abang suamiku ada di sana. Aku harus berpamitan pada suamiku sebelum berangkat kuliah pagi ini.Pagi-pagi sekali Mas Hanan--suamiku, sudah berangkat ke sana untuk bekerja. Dia yang seorang tukang bangunan, dimintai tolong oleh Kakak lelakinya itu untuk membangun toko sembako di depan rumah. Aku dengar, usahanya di kota tengah sukses, jadi sebagian uangnya dipakai untuk membangun toko di kampung."Kalau gak bisa bantu pakai duit, pakai tenagamu dong, Nan!"Lagi-lagi langkahku terhenti, ketika mendengar suara Bang Ferry, Kakak suamiku. Terlihat dia sedang memarahi Mas Hanan."Ibu dan Dewi saja kemarin membantuku, rela memberikan tabungan mereka. Masa kamu bantu aku membangun ini, minta upah, sih?" Bang Ferry tampak berkacak pinggang di depan adiknya."Tapi, Bang, ini sudah dua Minggu. Istriku juga butuh makan," jawab Mas Hanan dengan wajah memelas. "Bukannya Abang janji akan memberiku upah separuh dari upah umum? Tolonglah, Bang. Aku juga butuh.""Halah! Kamu aja yang sok-sokan pakai membiayai kuliah istrimu segala! Giliran membantu Abangmu, kamu perhitungan! Dia itu orang lain, mau saja kamu diperalat sama dia," ucap Bang Ferry lagi."Jangan bawa-bawa istri saya, Bang. Dia ....""Sudahlah, nih!" Bang Ferry melempar sejumlah uang ke wajah Mas Hanan.Aku yang melihatnya langsung mempercepat langkah, lalu mendekat ke arah mereka. Sakit hatiku ketika Mas Hanan terlihat memunguti uang yang berserakan di tanah."Astaghfirullah, Bang Ferry! Tega sekali melempar uang ke wajah Mas Hanan, adikmu sendiri!" ucapku sambil memasang badan di depan Mas Hanan."Jangan ikut campur kamu, Hasna!" jawab Bang Ferry sambil melotot padaku. "Ini urusan keluarga kami!""Tapi aku juga tidak terima kalau Bang Ferry menghina suamiku!" sahutku tak mau kalah."Dek, sudahlah, Dek." Mas Hanan mengelus pundakku. "Adek mau berangkat kuliah kan? Nanti terlambat."Aku menoleh ke arah Mas Hanan dengan pandangan protes."Kenapa Mas Hanan diam saja diperlakukan seperti ini?""Kamu salah paham, Dek. Bang Ferry tidak bermaksud begitu," jawab Mas Hanan, sambil menepuk pelan pundakku."Tapi, Mas ....""Mas kan juga butuh kerja, sekalian juga membantu saudara sendiri. Benar kata Bang Ferry, Mas gak bisa bantu materi, jadi hanya bisa bantu tenaga," ucap Mas Hanan lagi."Ada apa sih, ribut-ribut?"Aku dan Mas Hanan menoleh. Terlihat Mbak Ratri, istri Bang Ferry keluar dari dalam rumah sambil membawa sepiring nasi dan segelas air putih."Ini sarapan kamu, Hanan. Hari ini kamu lembur lagi, kan?" Wanita berambut panjang dengan make up tebal itu meletakkan nasi di tangannya ke atas meja kecil di sana.Hatiku berdesir perih karena cuma ada nasi dengan lauk ikan asin dan sedikit sambal, yang Mbak Ratri siapkan untuk suamiku."Sarapan untuk Mas Hanan cuma itu, Mbak?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arahnya."Suamimu kan memang suka ikan asin, Hasna. Yang penting nasinya banyak, dia sudah punya banyak tenaga. Memangnya kenapa?" Mbak Ratri membalas tatapanku dengan tajam."Sayurnya mana, Mbak?" tanyaku lagi."Belum matang. Kalau mau masakin sendiri untuk suamimu, kalau bisa!" jawab Mbak Ratri lagi dengan bibir mencibir."Benar itu, Hasna!" sahut Bang Ferry. "Kalau kamu tak terima, suruh suamimu mencari kerjaan di tempat lain! Kita lihat, bisa apa dia!""Dek, sudah, itu saja Mas juga sudah cukup, kok." Mas Hanan menarik tanganku, mengajakku menjauh dari mereka."Ini, untuk ongkos kamu, ya?" Dia mengulurkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan padaku. "Maaf, cuma bisa ngasih segini. Cepat berangkat, nanti terlambat."Aku menerima uang itu dengan hati yang amat perih. Apalagi ketika melihat senyum tulus pria sederhana yang amat sangat kucintai itu. Dia selama ini sudah banyak sekali berkorban jiwa dan raga untukku, untuk membuktikan pada orang tuaku jika dia sanggup memenuhi janjinya."Maafkan aku ya, Mas?" ucapku sambil meraih tangannya dan menciumnya."Kenapa minta maaf Dek? Sudah sana berangkat. Mas mau lanjut kerja," jawab Mas Hanan sambil berjalan kembali ke rumah Bang Ferry.Aku masih menatap ke arah Mas Hanan yang mengambil cangkul, lalu dengan lincah mengayunkannya untuk mencampur adonan semen. Terlihat Bang Ferry menunjuk-nunjuk ke arahnya, memerintahnya ini itu.Tunggulah sebentar lagi, Mas. Begitu lulus skripsi, semua aset milikku akan dikembalikan oleh orang tuaku. Saat itulah, kita balas mulut orang-orang yang sudah menghina dan merendahkanmu!"Kamu yakin, ingin menikah dengan pria itu, Hasna?" tanya Mama waktu itu, ketika aku mengutarakan keinginanku pada kedua orang tuaku, agar mereka merestui hubunganku dengan Mas Hanan."Ma, kalau bukan karena Mas Hanan, mungkin waktu itu Hasna sudah ma-ti tenggelam," jawabku, meyakinkan Mama.Ya, aku pertama kali mengenal Mas Hanan saat KKN di kampungnya waktu itu. Aku dan beberapa orang temanku dengan lancangnya berenang di sungai besar yang berada di sisi kampung, tanpa tahu ternyata aliran arusnya sangat deras.Tentu saja, aku yang tidak terlalu pandai berenang seketika terseret arus. Syukurlah, saat itu Tuhan mengirimkan sosok malaikat penyelamat. Mas Hanan dengan gagahnya melompat ke dalam sungai untuk menyelamatkanku.Seketika itu aku jatuh cinta ... pada pandangan pertama. Sejak saat itu aku terus mencari tahu tentang dirinya. Dia hanya lulusan sekolah dasar, dan bekerja sebagai tukang bangunan. Dia bukan tidak bisa sekolah tinggi karena tak pintar, tapi karena memang tidak mamp
"Hanan, beras habis!"Baru saja aku dan Mas Hanan sampai di rumah, kami sudah disambut oleh Ibu yang berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangan di dada."Ah iya, maaf, Buk," jawab Mas Hanan sambil merogoh sakunya.Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu."Loh, kok cuma segini, Hanan? Mana cukup?""Maaf, Buk. Bang Ferry belum memberikan semua upah Hanan," jawab Mas Hanan lagi."Halah, jangan bohong kamu, Hanan! Ferry baru kesini, kok, ngambil jagung. Dia bilang dia bayar kamu! Kamunya saja yang kerjanya ogah-ogahan!""Astaghfirullah, Buk!" Aku akhirnya ikut menjawab karena tidak tahan melihat Mas Hanan dimaki-maki."Hasna lihat sendiri kok, Bang Ferry sebenarnya gak mau memberi Mas Hanan upah. Dia bahkan melempar uang ke wajah Mas Hanan, Buk!" ucapku kemudian."Ferry tidak mungkin melakukan itu, Hasna. Kamu jangan asal bicara," sahut Ibu tak percaya."Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Buk. Lagipula Mas Hanan kan anak ibuk juga. Kenapa ibu justru hanya
"Ibuk mau menjual sawah peninggalan Bapak?" Mas Hanan mengulang pertanyaannya, sembari berjalan mendekat ke arah ibunya."Abangmu butuh uang untuk tambah membeli mobil, Hanan," jawab Ibu sambil membalas tatapan Mas Hanan."Tapi bukannya Bang Ferry sudah punya usaha yang maju? Kenapa harus menjual sawah, Buk?""Justru karena usaha Mas Ferry sedang berkembang pesat, makanya kami butuh mobil, Hanan," sahut Mbak Ratri."Lagipula kamu kenapa harus ikut campur sih, Hanan! Aku juga punya hak atas sawah itu," sambung Bang Ferry."Masalahnya, dulu Bapak melarang kita untuk menjualnya, Bang," ucap Mas Hanan lagi. "Bang Ferry ingat, kan?""Bapak sudah tidak ada, dan aku butuh uang," sahut Bang Ferry. "Pikirkan yang hidup, jangan yang sudah ma-ti!""Astaghfirullah, Bang!"Hatiku ikut sakit mendengar ucapan mereka pada Mas Hanan, tapi aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap diam. Bukan ranah untukku bicara, apalagi tentang tanah warisan."Sudahlah, Hanan. Abangmu benar. Lagipula uangnya bukan untu
"Untuk apa uang itu, Hasna?" tanya Mama seraya mengerutkan kening.Segera aku ceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Bang Ferry yang merayu ibu untuk menjual sawah demi membeli mobil, juga perlakuan mereka terhadap Mas Hanan selama ini."Aku benar-benar tidak percaya, jika mereka sanggup melakukan hal itu pada Mas Hanan. Bahkan Mas Hanan jauh lebih rendah dari anak pungut, Ma," ucapku menggebu-gebu setelah selesai bercerita.Mama terlihat membuang napas panjang. Wajahnya ikut terlihat sedih."Kasihan sekali menantu Mama ...," ucapnya lirih."Karena itulah, Ma, aku ingin sawah itu jadi milik Mas Hanan lagi. Mama tolong Hasna, ya? Hasna janji akan mengembalikan uang Mama setelah tabungan Hasna dikembalikan Papa," ucapku lagi sambil memegang tangan Mama."Tapi Hasna ... kalau kamu melakukan itu, kamu sama saja membuat Hanan mengingkari janjinya pada Papamu," jawab Mama.Aku membulatkan mata mendengar ucapan Mama. "Mungkin Papamu tidak tahu tentang hal itu. Tapi apakah orang sejujur
Wanita bernama Nikmah itu masih berdiri di depan pintu, menatap ke arah kami dengan pandangan aneh. Rambutnya panjang bergelombang dibiarkan tergerai, dengan japit kecil di sebelah atas telinga kirinya. Wajahnya cantik dan kalem, pantas aku dengar kekasih Mas Hanan dulu terkenal sebagai kembang desa.Sayang, riasan wajahnya agak berlebihan, dan pakaian yang dia kenakan sedikit memaksakan diri. Dia memakai gaun pendek seatas lutut, dan memperlihatkan kakinya yang jenjang. Tapi dilihat dari bahasa tubuhnya, dia terlihat kurang nyaman. Kenapa dia memakai pakaian yang dia sendiri tak nyaman dengannya?"Maaf, apa Bu Fatmah ada?"Pertanyaan Nikmah seketika membuatku tersentak karena tak sadar aku sudah memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jangan-jangan dia tidak nyaman karena aku terlalu jelas memperhatikannya. Aku seketika melirik ke arah Mas Hanan yang sepertinya mengalihkan pandangannya dari Nikmah. Entah karena salah tingkah, atau tak enak karena aku ada di sana."Ibu s
"Dek, sudah siap berangkat?" Mas Hanan terlihat tersenyum seraya menatap ke arahku.Hari ini wajah Mas Hanan yang rupawan itu terlihat cerah dan bersemangat. Dia juga terlihat gagah dengan kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Mas Hanan jarang sekali berpakaian rapi seperti itu, karena dia hanya punya dua buah kemeja saja, dan itupun kami beli saat hari raya tahun lalu."Iya, Mas. Adek sudah siap," jawabku sambil menautkan tas jinjingku ke pundak."Jilbab Adek miring." Mas Hanan membenarkan ujung jilbab di kepalaku, lalu menatapku lekat. "Maaf ya, Dek, belum bisa membelikanmu baju dan jilbab yang bagus. Mas janji, jika nanti diterima bekerja, uangnya semua untuk Adek belanja."Aku membalas tatapan Mas Hanan, seraya tersenyum getir. Tidak, Mas, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menjadi beban selama setahun ini, ucapku dalam hati."Bismillah ya, Dek. Semoga lancar ujiannya, dan lulus dengan nilai bagus," ucap Mas Hanan lagi."Iya, Mas. Bismillah.""Ayo berangkat, Dek," ucap Ma
"Selamat, Hasna. Kamu lulus dengan nilai memuaskan."Kedua mataku membola mendengar ucapan dosen pembimbing di depanku. Hampir dua jam aku melakukan tanya jawab, dan berakhir dengan senyum manis Pak Dosen yang biasanya galak itu."I-ini benar, Pak?" tanyaku lagi dengan perasaan hampir tak percaya."Benar, Hasna. Saya dengar setelah menikah kamu tinggal di kampung. Tak kusangka hasil penelitianmu luar biasa," ucap pria bertubuh tambun dan berkaca mata itu. "Sekali lagi selamat.""Terima kasih, Pak," jawabku penuh keharuan, seraya menjabat tangan Pak Dosen.Aku keluar dari ruang sidang itu dengan hati berbunga, tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira ini pada Mas Hanan. Tapi lebih dulu, aku ingin mengabarkan Mama dan Papa tentang hal ini. Segera aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelpon Mama."Halo, assalamualaikum, Hasna." Terdengar suara Mama mengangkat telepon."Waalaikumussalam, Mama!" Aku seakan ingin berteriak sekencang-kencangnya saat mendengar suara Mama."Kedengaran
"Tinggal dengan Bang Ferry?""Iya! Senang kan, kamu?" Ibu menatap Mas Hanan tajam. "Sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaanmu dan istrimu!""Buk, kenapa bicara seperti itu, Buk?" Wajah Mas Hanan terlihat begitu sedih mendengar ucapan ibunya."Sudahlah, Hanan! Ibuk mau tinggal bersama kami, ya terserah dia, dong. Kamu urus saja istri manjamu itu!" sahut Bang Ferry."Betul itu, Hanan! Lagipula ini keinginan Ibuk sendiri, kami gak maksa! Ibuk sudah gak betah tinggal bersama kalian," sambung Mbak Ratri.Ibu terlihat sudah selesai memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas besar, lalu Bang Ferry mengangkatnya menuju mobil. Mbak Ratri juga membawa beberapa barang dan memasukkannya ke mobil mereka."Ayo berangkat, Buk," ucap Bang Ferry kemudian.Ibuk mengangguk, lalu berjalan menuju mobil, sebelum Mas Hanan menghentikan ibu lagi."Tunggu dulu, Buk. Hanan mau menyampaikan kabar gembira pada Ibuk," ucapnya. "Hasna lulus skripsi, Buk. Sebentar lagi wisuda. Mantu Ibuk sudah jadi