Share

ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD
ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD
Penulis: Ariesa Yudistira

Lulusan SD

"Makanya, cari menantu itu wanita yang sama-sama dari kampung, jadi tahu adab dan sopan santun. Lah itu menantumu, sudah gak bisa masak, gak bisa bantu beres-beres, kerjaannya dandan melulu. Masih mending kaya. Lah dia, tahunya cuma numpang hidup. Mana maksa suaminya untuk membiayai kuliah dia pula."

Aku yang sudah berpakaian rapi, urung melangkah keluar rumah ketika mendengar suara Bu Tria, tetangga dekat kami. Bisa kulihat dari kaca jendela, jika dia sedang berbincang dengan Ibu mertuaku di halaman rumah, dan dengan beberapa orang yang lain.

"Betul itu Bu Fatmah. Mantu saya jam segini sudah masak, beres-beres rumah, sudah nyuci, dan sekarang sedang momong anaknya. Makanya jam segini bisa bantu Bu Fatmah ngupas jagung," sahut tetangga yang lain.

"Lagian itu si Hanan itu cuma lulusan SD, ngapain juga mau-maunya banting tulang demi pendidikan istrinya. Perempuan itu kodratnya di dapur sama kasur," tambah Bu Tria lagi.

Ibu mertuaku terlihat tersenyum getir, dan sesekali menarik napas panjang. Mungkin dia bosan karena hampir setiap hari para tetangga kami mengucapkan kata-kata yang sama padanya. Tentang aku, menantunya yang dari kota.

Aku merapikan kembali pakaianku, lalu berjalan ke luar rumah seolah tak mendengar apapun. Para tetangga itu seketika pura-pura kembali melakukan pekerjaan mereka saat melihatku.

"Buk, Hasna berangkat dulu," ucapku sambil mengulurkan tangan dengan badan membungkuk di depan mertuaku.

Ibu mertuaku itu mengulurkan tangan, dan aku menyambutnya, namun dia sudah menariknya kembali sebelum sempat aku menciumnya. Meskipun hatiku sakit, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Mungkin karena ucapan para tetangga juga sudah mulai melukai hatinya.

Bukan sekali dua kali ibu mertua dan suamiku bertengkar karena masalah pendidikanku. Aku berulang kali tak sengaja mendengarnya, meskipun ibu mertua tak pernah terang-terangan melarang aku kuliah.

"Mas yakin bisa membiayai kuliahku sampai lulus?" tanyaku pada Mas Hanan waktu itu.

"Insya Allah bisa, Dek. Mas kan sudah janji pada orang tuamu? Mas akan bekerja keras untuk itu. Jadi jangan khawatir," jawabnya.

"Tapi Ibuk ...."

"Masalah Ibuk serahkan saja ke Mas. Kamu fokus saja belajar. Pokoknya ibuk mau berkata apapun, jangan didengarkan, jangan dibantah juga, ya?"

Aku membuang napas ketika mengingat itu semua, lalu kembali berdiri dan melanjutkan langkah menuju arah rumah Kakak ipar yang tak jauh dari sana. Masih terdengar para tetangga itu melanjutkan ucapannya, ketika aku mulai berjalan menjauh.

"Tuh, kan, sok-sokan kuliah segala. Seharusnya dia membantu mertuanya mengupas jagung. Dasar mantu tak tahu diri."

"Iya, jangan diam saja dong, Bu Fatmah.

Aku tak mendengar ibu mertuaku menyahut, sampai aku benar-benar jauh dari mereka. Aku tak mau memikirkan apa yang mereka ucapkan, karena memang sudah terlalu terbiasa. Aku terus saja berjalan hingga sampai di jalan besar, di mana rumah Abang suamiku ada di sana. Aku harus berpamitan pada suamiku sebelum berangkat kuliah pagi ini.

Pagi-pagi sekali Mas Hanan--suamiku, sudah berangkat ke sana untuk bekerja. Dia yang seorang tukang bangunan, dimintai tolong oleh Kakak lelakinya itu untuk membangun toko sembako di depan rumah. Aku dengar, usahanya di kota tengah sukses, jadi sebagian uangnya dipakai untuk membangun toko di kampung.

"Kalau gak bisa bantu pakai duit, pakai tenagamu dong, Nan!"

Lagi-lagi langkahku terhenti, ketika mendengar suara Bang Ferry, Kakak suamiku. Terlihat dia sedang memarahi Mas Hanan.

"Ibu dan Dewi saja kemarin membantuku, rela memberikan tabungan mereka. Masa kamu bantu aku membangun ini, minta upah, sih?" Bang Ferry tampak berkacak pinggang di depan adiknya.

"Tapi, Bang, ini sudah dua Minggu. Istriku juga butuh makan," jawab Mas Hanan dengan wajah memelas. "Bukannya Abang janji akan memberiku upah separuh dari upah umum? Tolonglah, Bang. Aku juga butuh."

"Halah! Kamu aja yang sok-sokan pakai membiayai kuliah istrimu segala! Giliran membantu Abangmu, kamu perhitungan! Dia itu orang lain, mau saja kamu diperalat sama dia," ucap Bang Ferry lagi.

"Jangan bawa-bawa istri saya, Bang. Dia ...."

"Sudahlah, nih!" Bang Ferry melempar sejumlah uang ke wajah Mas Hanan.

Aku yang melihatnya langsung mempercepat langkah, lalu mendekat ke arah mereka. Sakit hatiku ketika Mas Hanan terlihat memunguti uang yang berserakan di tanah.

"Astaghfirullah, Bang Ferry! Tega sekali melempar uang ke wajah Mas Hanan, adikmu sendiri!" ucapku sambil memasang badan di depan Mas Hanan.

"Jangan ikut campur kamu, Hasna!" jawab Bang Ferry sambil melotot padaku. "Ini urusan keluarga kami!"

"Tapi aku juga tidak terima kalau Bang Ferry menghina suamiku!" sahutku tak mau kalah.

"Dek, sudahlah, Dek." Mas Hanan mengelus pundakku. "Adek mau berangkat kuliah kan? Nanti terlambat."

Aku menoleh ke arah Mas Hanan dengan pandangan protes.

"Kenapa Mas Hanan diam saja diperlakukan seperti ini?"

"Kamu salah paham, Dek. Bang Ferry tidak bermaksud begitu," jawab Mas Hanan, sambil menepuk pelan pundakku.

"Tapi, Mas ...."

"Mas kan juga butuh kerja, sekalian juga membantu saudara sendiri. Benar kata Bang Ferry, Mas gak bisa bantu materi, jadi hanya bisa bantu tenaga," ucap Mas Hanan lagi.

"Ada apa sih, ribut-ribut?"

Aku dan Mas Hanan menoleh. Terlihat Mbak Ratri, istri Bang Ferry keluar dari dalam rumah sambil membawa sepiring nasi dan segelas air putih.

"Ini sarapan kamu, Hanan. Hari ini kamu lembur lagi, kan?" Wanita berambut panjang dengan make up tebal itu meletakkan nasi di tangannya ke atas meja kecil di sana.

Hatiku berdesir perih karena cuma ada nasi dengan lauk ikan asin dan sedikit sambal, yang Mbak Ratri siapkan untuk suamiku.

"Sarapan untuk Mas Hanan cuma itu, Mbak?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arahnya.

"Suamimu kan memang suka ikan asin, Hasna. Yang penting nasinya banyak, dia sudah punya banyak tenaga. Memangnya kenapa?" Mbak Ratri membalas tatapanku dengan tajam.

"Sayurnya mana, Mbak?" tanyaku lagi.

"Belum matang. Kalau mau masakin sendiri untuk suamimu, kalau bisa!" jawab Mbak Ratri lagi dengan bibir mencibir.

"Benar itu, Hasna!" sahut Bang Ferry. "Kalau kamu tak terima, suruh suamimu mencari kerjaan di tempat lain! Kita lihat, bisa apa dia!"

"Dek, sudah, itu saja Mas juga sudah cukup, kok." Mas Hanan menarik tanganku, mengajakku menjauh dari mereka.

"Ini, untuk ongkos kamu, ya?" Dia mengulurkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan padaku. "Maaf, cuma bisa ngasih segini. Cepat berangkat, nanti terlambat."

Aku menerima uang itu dengan hati yang amat perih. Apalagi ketika melihat senyum tulus pria sederhana yang amat sangat kucintai itu. Dia selama ini sudah banyak sekali berkorban jiwa dan raga untukku, untuk membuktikan pada orang tuaku jika dia sanggup memenuhi janjinya.

"Maafkan aku ya, Mas?" ucapku sambil meraih tangannya dan menciumnya.

"Kenapa minta maaf Dek? Sudah sana berangkat. Mas mau lanjut kerja," jawab Mas Hanan sambil berjalan kembali ke rumah Bang Ferry.

Aku masih menatap ke arah Mas Hanan yang mengambil cangkul, lalu dengan lincah mengayunkannya untuk mencampur adonan semen. Terlihat Bang Ferry menunjuk-nunjuk ke arahnya, memerintahnya ini itu.

Tunggulah sebentar lagi, Mas. Begitu lulus skripsi, semua aset milikku akan dikembalikan oleh orang tuaku. Saat itulah, kita balas mulut orang-orang yang sudah menghina dan merendahkanmu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status