Share

Pekerjaan baru

"Dek, sudah siap berangkat?" Mas Hanan terlihat tersenyum seraya menatap ke arahku.

Hari ini wajah Mas Hanan yang rupawan itu terlihat cerah dan bersemangat. Dia juga terlihat gagah dengan kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Mas Hanan jarang sekali berpakaian rapi seperti itu, karena dia hanya punya dua buah kemeja saja, dan itupun kami beli saat hari raya tahun lalu.

"Iya, Mas. Adek sudah siap," jawabku sambil menautkan tas jinjingku ke pundak.

"Jilbab Adek miring." Mas Hanan membenarkan ujung jilbab di kepalaku, lalu menatapku lekat. "Maaf ya, Dek, belum bisa membelikanmu baju dan jilbab yang bagus. Mas janji, jika nanti diterima bekerja, uangnya semua untuk Adek belanja."

Aku membalas tatapan Mas Hanan, seraya tersenyum getir. Tidak, Mas, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menjadi beban selama setahun ini, ucapku dalam hati.

"Bismillah ya, Dek. Semoga lancar ujiannya, dan lulus dengan nilai bagus," ucap Mas Hanan lagi.

"Iya, Mas. Bismillah."

"Ayo berangkat, Dek," ucap Mas Hanan lagi.

Aku tersenyum lagi, seraya mengangguk. Hari ini aku akan menjalani sidang skripsi, tapi sebelumnya aku akan mengantar Mas Hanan untuk melihat ruko yang sudah dibeli Mama. Mama sudah mengabarkan padaku, jika semua bahan dan peralatan sudah siap.

Mama juga sudah menyiapkan seseorang yang sudah ahli, yang akan mengajarkan cara penggunaan mesin pada Mas Hanan nanti. Kelihatannya Mama begitu bersemangat mendukung menantunya, sampai dalam waktu singkat bisa melakukan itu semua. Tentu saja, Mama punya banyak sekali kenalan pengusaha, yang siap membantunya kapan saja.

Mas Hanan menggandeng tanganku keluar kamar kami. Baru saja sampai di ruang tengah, kami sudah mendengar suara keributan dari luar rumah. Aku dan Mas Hanan saling bertatapan, ingin tahu apa yang terjadi. Kami cepat-cepat berjalan keluar pintu untuk memastikan.

Agak kaget, karena sebuah mobil keluaran terbaru sudah terparkir di halaman rumah kami, dan dikerumuni oleh para tetangga. Para tetangga terlihat kagum dengan mobil itu, jadi terdengar berisik dan ribut.

"Wah, rupanya Fatmah benar-benar membeli mobil baru." Bu Tria terlihat mengelilingi mobil itu sambil melongo.

"Bagus banget ya, mobilnya," sahut tetangga yang lain.

"Rupanya Ferry benar-benar sudah sukses sekarang."

"Iya, bagus sekali bisa mengangkat derajat ibunya."

"Hei, Buk! Buk! Jangan disentuh dong, nanti lecet." Bang Ferry terlihat membuka pintu mobil dan turun dari dalam sana ketika para tetangga itu mulai menggerayangi bodi mobil.

"Masa dipegang saja gak boleh sih, Ferry. Pelit amat," protes Bu Tria.

Ibu dan Mbak Ratri juga terlihat turun dari pintu belakang, langsung terlihat bangga melihat para tetangga yang berkerumun.

"Maklum lah, ibu-ibu, mobil keluaran terbaru. Kalau tegores kan sayang," ucap Ibu kemudian.

"Iya, betul. Harganya mahal tauk, ratusan juta. Kalau lecet, emang pada mau ganti?" Mbak Ratri menimpali.

Aku dan Mas Hanan saling bertatapan, lalu membuang napas. Mas Hanan kemudian menggandeng tanganku, berjalan mendekat ke arah mereka.

"Loh Hanan? Tumben pakaianmu rapi. Mau kemana?" tanya Ibu begitu melihat kami.

"Mau mengantar Hasna kuliah, Bu, sekalian mau melamar kerja," jawab Mas Hanan.

"Kerja? Mau kerja kemana kamu, Hanan?" tanya Bang Ferry seraya melotot kaget.

"Ada tempat pembuatan furniture yang membutuhkan pegawai, Mas."

"Loh, terus kerjaan kamu di rumah kami gimana, Hanan?" Mbak Ratri ikut mendelik.

"Nah itu dia, Mbak, Bang. Dari kemarin lusa kalian sibuk, jadi aku tidak sempat berpamitan. Abang dan Mbak Ratri cari tukang lain saja," jawab Mas Hanan lagi.

"Astaga, Hanan! Gak bisa begitu dong! Enak saja kamu tidak meneruskan kerjaan, dan memilih kerjaan yang belum jelas!" sahut Bang Ferry.

"Mas Hanan tidak bisa terus-menerus kerja gratis di tempat kalian, dong, Bang." Akhirnya aku tidak tahan untuk bicara. "Biarin Mas Hanan cari kerjaan yang layak."

"Hei, Hasna, tutup mulutmu! Apanya yang gratisan? Dia itu membantu saudaranya, wajar dong kalau gak perlu minta bayaran?" Bang Ferry bersungut-sungut. "Daripada kamu yang bisanya jadi beban suami saja!"

"Benar itu!" sahut Mbak Ratri. "Dasar benalu!"

"Cukup, Bang! Kalian boleh menghinaku, tapi jangan hina istriku!" sahut Mas Hanan, yang membuatku sedikit kaget, karena baru pertama kali ini Mas Hanan berbicara dengan suara tinggi.

"Oh, sudah berani menantang Abangmu kamu, Hanan! Oke, pergi sana! Cari kerjaan yang gak jelas itu! Tapi jangan harap kami mau membantumu jika terjadi sesuatu!" ucap Bang Ferry lagi.

Mas Hanan menarik tanganku, meninggalkan mereka semua, lalu mengambil sepeda tua miliknya. Kami berjalan sambil menuntun sepeda itu meninggalkan kerumunan. Masih bisa kami dengar mereka berbicara dengan para tetangga.

"Astaga, Fatmah. Anakmu yang satu itu hidupnya kapan maju? Kok segitunya rela jadi jongos istrinya," ucap Bu Tria.

"Halah, biarkan saja. Dia memang tidak bisa seperti Ferry, yang bisa diandalkan," jawab Ibu.

Aku menatap ke arah Mas Hanan yang terdiam sambil menuntun sepedanya. Pasti sangat menyakitkan mendengar ucapan ibunya yang seperti itu.

"Maafkan aku ya, Mas," ucapku, yang membuat Mas Hanan terlihat tersentak.

"Kenapa minta maaf, Dek?" tanyanya seraya menatapku.

"Mas Hanan mendapatkan hinaan dan cibiran dari banyak orang karena membelaku," jawabku.

"Adek ini ngomong apa?" Mas Hanan menghentikan langkah, lalu menatapku. "Mas sudah biasa dengan hinaan orang-orang, tapi Mas gak bisa tahan jika Adek yang dihina karena Mas."

"Terima kasih, Mas." Aku mengusap mataku yang hampir basah.

"Jangan nangis." Mas Hanan mengusap pipiku. "Ayo kita berangkat."

Aku mengangguk, lalu duduk di boncengan sepeda tua itu, sementara Mas Hanan mulai mengayuhnya. Aku memeluk perut Mas Hanan erat, menikmati setiap menit perjalanan kami dengan penuh rasa syukur dengan kesederhanaan yang mampu membuatku bahagia.

.

.

.

"Hanan, ya?" Seorang pria berbadan kekar langsung menyambut kami begitu sampai di tempat milik Mama.

"I-iya, Bang," jawab Mas Hanan gugup, ketika pria itu menjabat tangannya.

"Kenalkan, saya Doni. Saya yang akan mengajarkan kamu menggunakan mesin mulai hari ini," ucap pria yang ternyata bernama Doni itu.

"Loh, tapi Bang ... memangnya saya sudah diterima kerja?" Mas Hanan terlihat bingung, lalu menatapku dan Doni berulang kali.

"Terus Bang Doni bagaimana bisa tahu saya akan datang? Dan tahu nama saya pula?" tanyanya lagi.

Aku seketika diam-diam menepuk kening, apalagi melihat Doni juga jadi bingung bagaimana menjawab pertanyaan Mas Hanan.

"A-anu, Mas. Kemarin aku sudah mendaftarkan Mas Hanan via online," jawabku cepat.

"Iya kah, Dek?" Mas Hanan masih terlihat bingung.

"I-iya, betul itu Hanan," sahut Doni. "Saya dengar kamu pintar sekali membuat berbagai perabot secara autodidak, jadi saya sangat tertarik."

Mas Hanan menatap ke arahku, dan aku seketika meringis.

"Adek ini berlebihan," ucapnya kemudian, membuatku membuang napas lega karena ternyata Mas Hanan memang sepolos itu.

"Ayo, Hanan. Kita mulai belajarnya," ucap Doni lagi sambil menepuk pundak Mas Hanan.

"Sekarang, Bang?" Mas Hanan terlihat bingung lagi.

"Iya, sekarang."

"Tapi, Bang, istri saya ...."

"Mas Hanan belajar saja, aku bisa jalan kaki," sahutku. "Sudah dekat kok, Mas."

"Beneran tidak apa-apa, Dek?" Wajah Mas Hanan terlihat khawatir.

"Iya, Mas. Yang semangat belajarnya, ya?" jawabku seraya meraih tangannya, dan lalu menciumnya. "Adek berangkat dulu."

Doni menggiring Mas Hanan masuk ke dalam, dan aku masih memperhatikan punggung mereka menjauh. Aku kemudian menatap sekeliling, di mana tempat itu sudah penuh dengan tumpukan berbagai jenis kayu. Mama pasti sudah berusaha keras untuk mempersiapkannya.

Mimpi Mas Hanan dimulai dari sini. Begitupun dengan mimpiku. Terima kasih, Mama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status