Share

SISWI BARU

“Nama saya Shaina.”

Siswi baru yang tidak ramah wajahnya itu memperkenalkan diri. Yang lain tidak terlalu perduli dengan sesi perkenalan ini. Karena apa? Karena terlalu sudah biasa banyak siswa baru di kelas XII-F. Paling lama bertahan juga seminggu, setelah itu—mengundurkan diri. Tapi berbeda dengan Setra yang sedari tadi antusias dengan sesi perkenalan itu.

“Nama panjangnya?” tanya Bu Rita, guru yang mengajar pagi ini.

“Shainaaaaaaaaaaaaaaaa....”

Tentunya bukan Shaina sendiri yang menjawab seperti itu. Melainkan Setra, si anak baru yang tak sengaja bertemu Shaina tadi pagi. Ia  dengan entengnya menjawab pertanyaan Bu Rita. Sontak saja siswa lain tertawa mendengar jawaban Setra. Tapi tidak dengan Shaina, ia menatap Setra dengan tatapan membunuh. Dari awal pertemuan mereka, Shaina sudah tidak bisa berdamai dengan satu siswa itu.

“Sudah-sudah … lebih baik kamu duduk saja, Shaina.” Titah Bu Rita yang mengakhiri sesi perkenalan itu. Belum sempat Shaina melangkahkan kakinya, Setra lebih dulu mengacungkan tangannya.

“Interupsi, Bu!”

“Ya, kenapa? Mau perkenalan juga?”

“Iyalah. Saya anak baru juga.”

“Baru dikeluarin maksudnya Bu, ” ucap Revan yang diikuti tawa siswa lain.

TUK .. TUK .. TUK …

“Tenang … tenang … tenang … Oke maju kalau begitu," ucapnya dengan nada yang tidak ingin berlama-lama. “Ah, ya Shaina silakan duduk saja,” lanjutnya.

Shaina mengangguk kemudian berjalan mendekati bangku yang kosong yang berada di barisan ketiga. Begitupun dengan Setra yang mulai beranjak dari tempat duduk. Elgan tersenyum miring tak kala melihat Setra dengan sengaja memilih arah yang sama dengan Shaina sehingga mereka bertemu. Padahal, meja Setra berada di pojok kanan, terselang satu banjar menuju meja yang kosong yang pastinya akan ditempati Shaina.

Saat tak sengaja bertatapan dengan Setra dan jalan yang sengaja di halangi oleh Setra, Shaina menatap tak suka. Melihat hal itu, Bu Rita memperingatkan mereka, “Tolong ya jangan macam-macam. Ayo cepat kamu kedepan.”

Setra memberi jalan untuk Shaina. Shaina berjalan melewatinya. Hanya saja, bukan Setra namanya kalau tidak jahil. Baru saja Shaina melangkah, Setra dengan polosnya menarik secara halus rambut Shaina seraya tetap berjalan dan badannya mengarah kedepan seperti tak terjadi apa-apa. Sehingga semakin Shaina menjauh, semakin rambutnya tertarik.

SRET!

“ASH!”

Shaina memegangi bagian rambut yang ditarik oleh Setra. Siswa lain kembali tertawa karenanya. Namun, tanpa disangka Shaina membalasnya dengan memberikan tendangan. Setra yang baru saja berbalik, kaget setengah mati tak kala ujung sepatu Shaina berada tepat dihidungnya.

SAT!!

“WHOAAA!!!!!”

Ah, padahal Shaina tidak benar-benar menendangnya, hanya mengangkat kakinya. Sontak saja kelas XII-F ini semakin ramai karena takjub dengan tendangan Shaina yang sudah seperti ahli bela diri. Tepuk tangan dari siswa lain sangat meriah karena pertunjukkan itu. Tendangan sempurna dari Shaina dan ekspresi kaget Setra yang lucu. Elgan pun tak kuat untuk tidak tertawa. Revan bahkan jingkrak-jingkrak seraya tangannya terus bertepuk tangan dengan keras. Dio sudah siap dengan gitar andalannya yang akan menyumbang sebuah soundtrack untuk lebih memeriahkan suasananya.

“Sa … tu colekan tak cukup.”

“Dua belaian juga tak cukup."

“Eh ... eh EMANG DASAR!”

“EMANG DASAR!”

“EH MEMANG HARUS DITENDANG!!!”

“UWOOO … UWOOOO OO”

Kali ini lagu Wali yang berjudul ‘Emang Dasar’ yang menjadi bahan remake ala-ala Dio yang semakin membuat suasana kelas rusuh. Bahkan siswa lain pun ikutan menyanyi. Guru yang berada di depan sudah mulai gemas. Himbauan untuk tetap tenang tak didengar sama sekali. Nyanyian itu terus saja berdengung seperti kaset rusak. Suara pengahapus bor yang dipukul-pukulkan ke meja pun semakin redup karena suara-siarta siswa.

“DIAM KALIAN SEMUA!!!!!!!!!!”

Akhirya guru itu dapat mendiamkan kelas XII-F setelah mengeluarkan seluruh tenaganya.

********

Bel istirahat berbunyi, semua siswa sibuk keluar kelas. Termasuk siswa dikelas XII-F ini yang mulai rusuh lagi karena bel istirahat. Pak Rahman sampai geleng-geleng kepala karena kerusuhan kelas ini.

“Oke … kita tutup dulu sebelum keluar,” ucap Pak Rahman.

“Ditutup apa, Pak? Pintunya? Memang sudah ditutup dari tadi juga,” ucap Dio. Kepolosannya memang minta ditampol.

“Maksudnya ayo kita baca istigfar, hamdalah dan do’a akhir majelis.” Terang Pak Rahman. Beliau memang guru agama untuk kelas XII, satu-satunya guru yang terkadang bisa mengendalikan kelas XII-F. Kadang ya teman-teman …

“Astagfirulahaladzim …”

“Alhamdulillah …”

“Subhanakallah wabihamdika asyahadu ala illa ha illa anta astagfiruka wa a’tubu ilaik,” ucap siswa serentak. Tapi suara Dio yang paling terdengar dengan tempo yang cepat. Sehingga membuat pak Rahman geleng-geleng kepala lagi. Setelah itu, tanpa ba-bi-bu kelas XII -F siswanya berbondong-bondong keluar.

Kalau ada yang bilang perempuan itu harus didahulukan, maka di saat-saat seperti ini, hal itu tidak berlaku. Lihat saja, bahkan para siswi harus mengalah karena kebrutalan para siswanya. Entah karena lapar, atau perut mereka yang digigiti landak.

“Aws! Hati-hati dong! Lo laper atau kesurupan sih? Gak santai banget jadi orang!” sergah Kayla tak kala dirinya tersenggol oleh Raka.

“Sorry, Kay!” seru Raka seraya langsung pergi begitu saja.

Kayla mencebikkan mulutnya. Ia berbalik dan didapatinya Revan, “Apa lo liat-liat?”

“Kenapa sih lo marah-marah? PMS lo?” timpal Revan.

“Siapa juga yang marah-marah?!” sergah Kayla. Suaranya meninggi membuat Revan tak mengerti lagi dengan sikap Kayla.

“Awas lu!” Revan mendorong pundak Kayla sehingga ia dapat melewatinya.

“Eh anjay! Sakit! Dasar playbol cap ayam beranak lu!”

Tak terima dibilang itu, Revan yang sudah jauh melangkah berbalik dan menatap Kayla dengan amarah. Kayla itu tipe orang yang gak mau kalah jadinya dia balik menatap Revan. “Apa? Emang ada yang salah dengan omongan gue, hah?! Gue tahu lo itu kemarin baru diputusin si centil Nada karena ketahuan sama si Eka yang gayanya udah kayak tante itu?”

“Siapa yang Tante?! Ngaca dong! Longgarin tuh baju lo kalau gak mau diliatin mata-mata lapar! Hapus lipstick lo yang udah kayak cabe murah itu! Gue enek sekelas sama orang yang gayanya udah kaya lonte!” Revan tak tahan lagi dengan Kayla.

“APA LO BILANG?!”

“Apa?! Gak terima gue bilang kayak gitu? Sama! Mereka juga gak suka lo bilang aneh-aneh!”

Tangan Elgan menarik pundak Revan. “Apa sih lo malah-ribut-ribut. Gue laper. Buruan.” Ucapannya itu membuat Revan menyudahi adu mulutnya dan pergi keluar. Sedangkan ia sendiri tidak keluar karena tersadar ia meninggalkan ponselnya di meja.

Kayla yang dongkol urung untuk keluar kelas. Ia dan kedua temannya, Diana dan Yola duduk di bangku mereka. Ya, mereka memang duduk bertiga. Hal itu dikarenakan kelas XII-F hanya memilki 5 siswi dan tidak meungkinkan salah satu antara Diana dan Yola duduk sendiri. Sekarang, siswinya bertambah satu tapi sepertinya 3 sekawan itu enggan untuk dipisahkan.

Shaina yang melihat kerusuhan dan keabsurdan kelas barunya, merasa sangat jengah. Belum lagi Setra yang terus saja mencari gara-gara dengannya walaupun sudah diperingatkan dengan tendangan itu. Ah, semakin malas saja dia masuk sekolah kalau begini keadaanya. Parahnya, Setra dengan sengaja mengganti tempat duduknya menjadi di dekat Shaina.

“Apa?!”

Shaina mendelik saat Setra mendekatinya. Ia buru-buru pergi dengan langkah yang lebar karena masih kesal akibat ulah Setra terhadap dirinya. Alhasil karena melangkah dengan emosi Shaina tidak memperhatikan langkahnya dan tidak menyadari langkahnya yang membuat Citra tersenggol.

“Awas Cit!” seru Ghea.

BUK!

Untungnya Citra tidak terjatuh ke lantai melainkan menubruk tubuh Elgan yang berada di belakangnya. “Maaf, Elgan. Aku gak sengaja.”

“Hm …,” jawab Elgan. Setelah itu ia pergi.

Citra menatap punggung Elgan yang semakin jauh. Gheanza langsung memeriksa kondisi Citra. “Elgan beneran gak apa-apa ‘kan, Ghe?” tanyanya pada Ghea. Maklum Citra itu orangnya gampang gak enakan sama orang.

“Harusnya lo yang khawatirin diri lo sendiri, bukan manusia badoblang itu! Itu lagi si anak baru gak punya mata apa?” cerocos Ghea yang tak terima temannya di senggol seperti ini.

“Badan lo itu kerempeng, Cit! Senggol dikit juga melayang!” ucapnya yang terdengar seperti ejekan bukan kepedulian. Tapi jauh dari itu, Ghea memang peduli dengan Citra. Apalagi karakter Citra yang sopan dan baik. Bahkan citra ‘lah satu-satunya orang yang normal di kelas XII-F ini. Setidaknya dialah yang sering mengerjakan PR ketika yang lainnya kompakan gak mau mengumpulkan tugas.

Ghea juga baik. Tapi kewarasannya suka kadang hilang gara-gara foto idolnya dan sederet oppa-oppa koreanya yang mememuhi memori ponsel dan laptopnya. Jangan ditanya kalau memori di otaknya. Penuh. Pisan.

“Udah jangan merasa bersalah gitu, Cit! Ayo gue laper nih,” ajak Ghea pada Citra.

#######

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status