Share

PENYERANGAN

Suasana kantin begitu ramai ketika bel istirahat dibunyikan. Meja-meja yang awalnya kosong, kini hampir penuh. Pedagang di kantin hilir-mudik mengantarkan pesanan. Riuh-rendah suara percakapan semakin mendominasi siang yang terik itu.

"Disini aja, Cit. Lo mau pesen apa? Biar gue yang traktir karena udah bantuin kerjain tugas," tawar Ghea sembari duduk di kursi.

"Em ... aku pesen susu aja."

"Lo gak laper? Inget kita sekolah sampe jam 4 sore. Walaupun pelajaran terakhir gue pastiin gak masuk gurunya," ucap Ghea penuh senyuman. Tentu ia masih ingat kalau guru seni budaya masih pundung dengan kelasnya.

"Dasar. Guru marah aja kamu seneng."

"Ya senenglah. Ga suka sama sikapnya yang jutek. Ngajar aja seni budaya tapi sikapnya gak ada seni-seninya banget," rutuk Ghea.

"Lo pikir kencing emang?" sahut seseorang menimpali ucapan Ghea.

Citra tertawa. Ia mengikuti tatapan Ghea yang tertuju pada orang yang menyahutinya. Tatapan Ghea ganas.

"Ngapain lo nyahutin gue?" ketusnya.

Dio yang menyahutinya tertawa. Ia mendekat. Begitu juga dengan Elgan yang sedari tadi bersama Dio. Hanya saja laki-laki itu memang suka sekali memakai mode 'senggok dikit, hempas'. Wajahnya datar kayak aspal jalan tol.

"Nih. Gue kasih roti."

Ghea mencebik, "Gak usah. Ngapain lo ngasih gue? Mending lo kasih tuh sama temen lo itu, biar mukanya ada gurat-gurat kehidupannya. Gak lempeng begitu."

Citra mengulum senyum. Elgan melirik. Tatapannya bersiborok dengan Citra. Tatapan dingin. Hal itu sukses membuat senyuman Citra pudar.

"Cepet. Anak-anak udah nungguin di warung," ucap Elgan berbisik. Tapi suaranya cukup terdengar oleh Ghea dan Citra. Otomatis mereka menatap Elgan.

"Lo mau bolos lagi ya?" todong Ghea.

Elgan memutar bola matanya, "Bukan urusan lo."

Elgan beranjak. Dio pun beranjak seraya mengedipkan mata pada Ghea. Sontak saja Ghea membulatkan matanya. Memang, makhluk macam Dio memang memuakkan. Harus dimuseumkan, biar tinggal kenangan saja.

Baru saja Elgan dan Dio melangkah beberapa langkah, sumbu kericuhan mulai tersulut. Dari belakang terlihat seorang pelayan tengah terburu-buru membawa pesanan. Ia tidak memperhatikan langkahnya. Lalu tanpa bisa dicegah, kaki pelayan itu tersandung. Dua mangkok baso di nampan terbang, lalu salto diudara. Dalam hitungan detik, dua mangkok itu mendarat dengan iringan suara pecahan mangkuk di lantai.

DUK

PUING

PRANG!!!!

"AWS! PANAS!"

Kayla yang sedang berjalan itu menjerit. Kuah bakso panas itu mengenai dirinya. Panas dan perih menyerang tubuhnya. Rupanya, pecahan mangkuk mengenai tangannya.

"Kay! Lo gak apa-apa?'" Revan yang tak jauh darinya segera menghampiri.

"Kay! Astaga lo berdarah?" tanya Yuli, teman se-geng-nya.

"Honey! Kamu gak apa-apa kan?" tanya Fifi, temannya.

Kayla meringis. Ia langsung berdiri menatap nyalan pelayan.

"Lo!"

"Aduh maaf Neng. Saya gak sengaja," ucapnya seraya menunduk.

"Hati-hati dong lo! Gimana sih! Lo--"

"Udah Kay! Dia gak sengaja," ucap Revan.

"Gak usah ngurusin hidup gue!" sergah Kayla.

"Utututu ... kasih kali sih ... tapi lo pantes kok disiram kuah bakso. Otak lo sekecil bakso itu," ucap Lily.

Kayla merangsek maju. Ia menarik rambut Lily tanpa ampun. Revan menghembuskan napas. Ia hendak melerai tapi satu tangan mencegahnya.

"Ikut gue. Anak-anak udah pada nungguin," ucap Elgan dengan nada dingin.

******* 

Angin berhembus kencang, langit sudah mendung. Tanda hujan akan turun tak akan lama lagi. Elgan dan kawan-kawannya sedang berkumpul di sebuah warung yang sudah menjadi basecampnya. Beberapa dari mereka sedang melontarkan candaan bahkan tak urung pemilik warung pun tertawa karena celoteh absurd dari anak-anak yang tak lain adalah penghuni XII-F ini. Sedangkan Elgan, Revan, Dio dan sekarang ditambah Setra serius sedang merundingkan sesuatu.

“Terlalu panjang kalau diceritakan. Intinya sekarang Elgan dijebak mukulin anak orang dan sampai bawa-bawa hukum segala,” jelas Revan yang disertai anggukan oleh Dio.

“Pokoknya cari si bang*at Angga sampai ketemu. Enak aja dia lempar batu sembunyi tangan!” ucap Elgan.

“Kalau orangnya belaga, ya memang harus dikasih pelajaran,” timpal Setra.

“Dia menghilang. Gue udah tanya keberadaan dia ke temen. Gak masuk selama seminggu ini,” ucap Revan.

Wajah Elgan nampak menegang. Ia marah dengan trik receh seperti ini. Lempar batu sembunyi tangan. Angga yang melakukannya, Elgan yang harus menaggungnya. Elgan berpikir keras untuk mencari cara agar ia tahu dimana keberadaan Angga.

Hanya saja, pikiran itu harus terputus begitu saja, manakala dari kejauhan David—teman sekelas mereka—datang tergopoh-gopoh. Ada darah yang mengucur dari hidung David. Hal itu membuat keriuhan yang sedari tadi berdengung, diam seketika.

“Siapa yang berani mukul lo, hah?” teriak Elgan. Ia tak terima temannya dipukuli seeprti itu.

“Angga—Gan … Dia ada di jalan belakang sekolah. Dia … bawa banyak orang …,” napasnya terengah-engah.

Amarah yang terpendan, mencuat. Elgan menatap David, “Kabari anak-anak yang masih ada di sekolah.” Tanpa menunggu waktu lama, Elgan dan kawan-kawannya pergi.

Dijalan belakang sekolah, Angga dan kawan-kawannya pun sudah stand by. Mereka membawa personil yang lumayan banyak. Lebih banyak daripada yang dipunyai Elgan. Walapun kondisinya begitu, Elgan tak gentar sama sekali. Ia bertekad untuk membereskan masalahnya ini.

“Bang*at! Pengecut!” teriaknya.

“Santayyyy, bos! Lo harusnya nikmati permainan gue ini. Hahahahha … gimana? Apa gue perlu buat anak nyokap ini …,” Angga menampakkan anak yang menuntut Elgan ke depan. Wajahnya babak belur lagi.

“Buat sekalian lo ditahan seumur hidup?”

“Ban*sat! Penuh drama hidup lo! Anj***” Elgan tak bisa menahan amarahnya lagi. Ia langsung merangsek maju dan memberi beberapa pukulan pada Angga. Anak-anak lain pun mulai menyerang. Seketika jalan sunyi yang jarang dilalui orang itu pun ramai dengan teriakan, umpatan dan batu-batu yang melayang-layang di udara. Kericuhan yang terdengar, membuat perhatian bagi warga sekitar. Sontak saja suasana semakin ricuh.

Shaina ada disana.

Tak sengaja. Ia penasaran dengan warga sekitar yang berbondong-bondong ke jalan ini, tapi kembali lagi dengan terbirit-birit. Dilihatnya, Elgan dan kawan-kawannya sedang tawuran. Awalnya tak mau peduli, tapi lama kelamaan ia tidak bisa pergi begitu saja ketika teman-temannya mulai kewalahan karena kalah jumlah.

Akhirya Shaina ikut tawuran itu.

“Apa-apa-an lo, Shai?!” teriak Setra yang menyadari kehadiran Shaina.

“Lo yang apa-apaan!”

DUK!

GEDUBRAK

BUGH!

Dengan lihainya Shaina menendang para lawan. Seketika Setra takjub dengan keterampilan Shaina bertarung. Ia tersenyum miring lalu semakin bersemangat menyerang lawan. Suasana semakin mencekam. Ternyata pihak lawan membawa senjata tajam. Sedangkan Elgan dan teman-temannya tidak membawa apa-apa hanya balok kayu saja yang di bawa karena serangan dadakan ini.

SRET!

Sebuah samurai mengenai tangan temannya. Hal itu semakin membuatnya marah. Ia merangsek maju. Ia yang sedari tadi bertarung dengan Angga, kini Angga hilang entah kemana. Elgan mencari Angga. Hingga matanya tertuju pada keberadaan Angga yang membawa sebuah pisau.

“Ban*sat!” umpat Elgan. Sedangkan Angga tertawa dan kemudian berlari mendekati Elgan.

“Mati lo sialan!” teriak Angga dengan tangan yang mengacungkan pisau pada Elgan. Semakin mendekat, Elgan tidak ada pilihan lain selain menhindar.

SAT

DAK!

GEDUBRAK!

Angga jatuh terkapar. Elgan terbelalak. Karena bukan dirinya yang menyerang Angga seperti itu. Ia tidak sempat untuk menyerang setelah menghindar tadi. Ia menoleh kesamping dan didapatinya seorang perempuan.

“Aish! Anak zaman sekarang! Gak pernah mikir panjang!” perempuan itu menoleh pada Elgan yang menatapnya. “Apa?! Seneng kalau udah tawuran gini? Ngerasa hebat, iya?”

Elgan masih terdiam cukup lama. Ia baru sadar kalau pihak lawan sudah mulai mundur. Sebuah sirine mobil polisi membuat para siswa lari terbirit-birit. Setra menghampiri Elgan yang malah diam bukan kabur.

“Gan! Kabur! Polisi!” teriak Setra seraya mearih tangan Elgan.

“BURUAN!!!!” teriak seseorang dibelakang Setra.

“Tunggu, Shai!” jawabnya.

Elgan menggelengkan kepalanya. Ia tersadar. Ia harus kabur sekarang juga. Hanya saja, tangan perempuan itu lebih cepat untuk dapat menahan Elgan.

“MAU KEMANA KALIAN? TIDAK MAU BERTANGGUNG JAWAB, HAH?”

“Maaf, Ibu. Kita harus pulang, mamah menunggu di rumah,” ucap Setra seraya menarik tangan Elgan sekuat tenaga agar terlepas dari perempuan yang seperti guru itu.

“Dia—guru?” beo Elgan.

“Mungkin. Ah udahlah … cepetan polisi itu!!” Setra yang hendak menambah kecepatan larinya harus ngerem mendadak karena polisi sudah ada di depan mata dengan gagahnya.

Tamat.

Riwayat.

Mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status