Cerita ini aaku ambil alih ya semuaaa.. pasti udah dapat kabar ddari Sky Of Love kan..^^jadi untuk kedepannya, cerita ini aku yang ambil lanjutkan..tenang, nggak bakalan melenceng kok dari yang Sky mau.
******
Bastian membelokkan mobilnya ke dalam pekarangan rumah Tian. Setelah cukup lama terhadang macet, akhirnya ia sampai juga di rumah super megah tersebut.
Sebelum ke sini, Babas sempat mampir ke toko kue dan membeli dua buah brownies kesukaan Riani.
Dengan senyum, ia menenteng kue tersebut dan masuk melangkah ke dalam.
"PAGIIIII..wuiihh romantis amat.."
Suara Bastian langsung membuyarkan canda tawa Tian dan Riani.
"Kau di sini? Mana Ara?" Riani melirik ke belakang Babas, dan menunggu Ara masuk, namun tak kunjung muncul.
"Dia di rumah." jawab Babas santai lalu berjalan menuju ruang keluarga.
"Di rumah? Kau tak mengajaknya ke sini?" tanya Riani lagi yang dijawab gelengan oleh Babas.
Riani dan Tian langsung saling tatap. Mereka paham situasinya. Ini akibat dari pernikahan terpaksa.
"Lalu apa yang kau lakukan di sini?"
"Menemui kalian.."
"Untuk?"
"Apa harus kusebutkan alasannya? Selama ini aku ke sini apa dengan alasan?" Babas berjalan menuju dapur dan meraih pisau roti lalu kembali lagi ke ruang keluarga.
"Tidak, maksudku kau tak mungkin di sini makan enak sementara Ara di rumah sendirian."
"Dia sudah makan.." jawab Bastian santai.
"Dari mana kau tahu?"
"Dia masak.."
"Dan kau di sini? Ya Tuhan Babas, otakmu terbuat dari apa? Dia pasti sudah membuatkan sarapan untukmu.." Ucap Riani geram.
Namun Babas tak peduli. Ia justru memilih memakan roti yang ia beli tadi.
"Sayang, siapkan ini ke dalam piring ya dan antar ke ruang kerjaku.!" pinta Tian lalu menyerahkan sekotak roti yang tadi sudah di potong oleh Babas pada Riani.
Riani meraihnya lalu membawa ke dapur.
"Kau ikut aku ke ruang kerja." kali ini giliran Babas yang diminta Tian.
Babas menurut dan tak membantah. Ia mengikuti Tian menuju ruang kerja. Sesampai di sana, Babas langsung mengambil posisi nyaman di sofa empuk di ruangan tersebut.
"Alasan utama kau ke sini apa?" Tian bertanya tegas.
Babas mendelik, ia tak suka Tian mengintrogasinya seperti ini.
"Tak ada. Au hanya berkunjung.."
"Lalu kenapa tak kau bawa Ara?"
Haaahh..
"Ayolah Tian. Kau tahu aku menikahi Ara bukan karena cinta.."
Tian menatap Babas tajam, "Lalu untuk apa? Kau mengatakan padaku dan Riani kalau kau ingin bertanggung jawab karena sudah merusaknya. Apa hanya untuk menutupi rasa bersalahmu?"
Kali ini giliran Babas yang menatal Tian tajam.
"Itu bukan urusanmu.." jawab Babas dingin.
"Aku tahu. Tapi setidaknya perlakukan dia sebagai istri. Bukan boneka.."
"Ck! Kenapa kau peduli pada Ara? Dia istriku bukan istrimu."
Tian mengepalkan tangannya erat, sampai kuku jemarinya memutih.
Ia tak suka Ara diperlakukan seperti ith oleh sahabatnya sendiri. Karena mau tak mau, suka tak suka, Aralah yang menyelamatkan nyawanya. Berkat Ara, ia selamat dari hantaman Ferdinan.
"Aku tak ingin kau menyesal nantinya.." ucapan Tian sudah melunak.
Namun tidak dengan Babas. Pria itu masih saja keras kepala, "Aku tak akan menyesal. Pernikahan ini hanya status, aku tak pernah ambil pusing."
Haaahh. Sifat Babas yang sebenarnya sudah muncul. Keras kepala dan tak mau mendengarkannya.
"Kau tak takut istrimu sakit?"
"Dia jago bela diri Tian, kau lupa?"
"Apa hubungannya?"
"Tentu saja ada. Fisik atlit itu berbeda dengan orang biasa.."
"Lalu kau berpikir Ara itu hebat?"
Babas mengangguk, "Membunuh Ferdinan saja ia sanggup. Aku tak ingin mati di tangannya.."
Tian kaget bukan main. Mati di tangan Ara? Siapa? Babas? Ia tak yakin. Ara lah yang akan mati di tangan Babas, mati karena luka.
Suara ketukan pintu pun terdengar, tak lama setelahnya, Riani masuk sembari membawa nampan yang di atasnya ada piring berisi kue dan dua cangkir kopi panas.
Ia meletakkan makanan dan minuman tersebut di atas meja.
"Bagaimana?" tanya Riani pada Tian.
"Ntahlah sayang. Dia terlalu keras kepala.."
Riani menatap Babas, "Jika seperti ini, kenapa kau nikahi Ara?"
Babas diam, ia menatap Riani dengan tatapan yang sulit diartikan.
Babas ingin menjawab, namun lidahnya mendadak kelu. Jujur, paksaan dan amukan Riani lah yang membuat Babas memutuskan menikahi Ara. Babas tak ingin hubungannya dengan Riani serta Tian hancur hanya karena satu kesalahan yang memang jika diingat kembali, kesalahan itu begitu fatal.
"Aku hanya ingin bertanggung jawab.". Ucap Bastian melunak.
"Dengan menyakiti perasaan Ara?"
"Oh ayolah Ri, aku tak menyakiti siapapun. Ara baik-baik saja dan aku yakin dia juga bersikap sama sepertiku.."
"Kau tahu dari mana?"
Haaahh.. Babas menghela nafas berat. Riani jauh lebih keras kepala darinya dan juga Tian.
"Kita nikah tanpa cinta jika kau lupa."
Kali ini Riani yang terdiam. Ia tak habis pikir dengan Babas. Apa tak bisa setelah menikah Babas berusaha mencintai Ara? Kenapa pria di depannya ini penuh egois.
"Kau tak mencintai Ara sedikitpun?" tanya Riani yang mulai melunak.
Babas diam sejenak lalu menggeleng, "Aku tak menyukai Ara. Sedikitpun. Sama sekali."
Riani memejamkan matanya, mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat. Ia tak tahu harus bicara seperti apa lagi untuk membujuk Babas.
Ara perempuan yang baik. Bahkan Ara yang sudah menyelamatkan Tian dan dirinya.
Jika bukan karena Ara, mungkin ia dan Tian sudah mati.
"Tian, aku ingin mengunjungi Ara. Apa boleh?" Riani menatap Tian memohon.
Tian tersenyum lalu mengangguk.
"Dengan sopir ya.."
"Iya.."
Tian memberi izin. Riani pun keluar dari ruangan kerja Tian meninggalkan Babas beserta Tian di dalam.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan?" tanya Tian to the point.
Babas nampak berpikir, "Aku? Mungkin menghitung hari. Jika nanti waktunya tiba, dan cinta itu juga belum datang, aku dan Ara mungkin akan bercerai.." ucap Babas santai.
Sedangkan Tian yang mendengar itu langsung menghembuskan nafas kasar. Ingin ia menghajar Babas saat ini juga, namun ia urungkan. Ia sadar jika kehidupan Babas sekarang tak bisa ia ikut campurkan.
Tapi jika terus melihat Babas yang keras kepala seperti ini, ia takut yang hancur nantinya bukan hanya Ara, tapi juga pria di depannya ini. Ia takut Bastian menyesal sudah memperlakukaan Ara seperti ini.
"Aku ikut inginmu saja. Tapi aku harap tak ada penyesalan di akhir Bas.." ucap Tian pasrah.
Babas mengangguk, "Tak akan ada Tian. Aku pastikan itu. Kau tenang saja. Aku bisa mengatur semuanya.."
Pembicaraan itupun terhenti. Kesunyian langsung menyelimuti dengan Tian dan Babas yang bermain dengan pikiran mereka masing-masing.
Pikiran campur aduk antara yakin dan tidak yakin, terutama untuk Tian. Ia takut semua berubah di akhir. Saat Ara menyerah, dan Babas mulai mencintai. Ia takut Babas akan terpuruk nantinya.
Tapi dia ingin melihat sejauh mana ini berjalan, sejauh mana ini melaju..
*****
"Kau yakin Ra?" Raka melirik Ara dengan raut tak percaya dan terkejut.
"Aku yakin.."
"Tapi lawan yang akan kau hadapi bukan kaleng-kaleng."
"Tak apa Senpai, aku bisa.."
"Ra, Kenya bisa saja membunuhmu di lantai pertandingan.."
Itu yang kumau...Ara menjawab dalam hatinya.
"Masih ada waktu setarus hari lagi kan untuk berlatih. Jadi aku ingin mengikuti pertandingan tersebut."
"Ra.. "
Ara meraih pena dan menandatangani formulir dari kementrian olahraga tersebut.
"Ra, pikirin lagi.." Raka masih terus membuju Ara, namun sepertinya akan sulit. "Apa kau tak sedih jika nanti kenapa-napa, suami mu akan terpuruk?"
Dia tak akan terpuruk Raka.. Dia tak akan menangis kalau aku mati..
Ara tersenyum pada Raka, ia menunduk sebentar lalu pamit dari ruangan tersebut.
Keputusan Ara sudah bulat. Ia tak ingin bercerai dengan Babas. Ia ingin pernikahannya ini satu sampai ia mati.
Dan ia akan menghitung hari tersebut dari sekarang. 100 hari untuk hidupnya. Apa nanti akan berakhir dengan dia mati di tangan Kenya atau bahagia bersama Babas.
Jika nanti ia selamat dari Kenya, Ia berjanji akan berjuang mendapatkan hati Bastian, namun jika ia mati di tangan Kenya, ia akan tersenyum bahagia sebelum menutup mata karena sudah melepaskan Babas dari kekangan wanita sepertinya.
"100 hari untuk Cintamu Ara.." gumam Ara. Ia tersenyum manis lalu keluar dari gedung dan berlari menuju basecame tempat ia biasa latihan.
*****
bersambung...
Jangan lupa bintang lima nya ya..^^
Bastian memijit pundaknya pertanda ia sudah lelah. menyibukkan diri di tempat kerja dan cafe membuat waktu Babas tersita sangat banyak. namun sebenarnya ia sengaja melakukan itu semua agar tak terlalu mono dan diam.Hari ini ia juga sudah menemui Tian untuk membicarakan kontrak kerja pembukaan cabang ke perusahaan Tian yang ada di Padang.ia meminta Tian untuk memberinya izin kalau biar saja cabang itu dia yang mengurus, setidaknya selama sebulan ia tak ada di Jakarta, namun keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Tian. jadilah ia memilih lanjut ke Cafe.sekarang Babas sudah menginjakkan kaki lagi di rumahnya, rumah dimana di dalamnya ada Ara, wanita yang baru ia nikahi tiga hari yang lalu.entah kenapa ia tak bisa menerima Ara ada dalam hidupnya. ia tahu kejadian malam itu adalah sebuah insiden yang tak ia harapkan terjadi, tapi mau bagaimana lagi.Ara juga salah menurutnya, karena wanita itu mau saja diminta datang dan saat itu hany
Aku melirik cermin di kamar tamu yang kini aku tempati. "Sialan, jejak tangannya benar-benar membuatku kesal.." gumamku sambil menyentuh pipiku yang memerah akibat tamparan dari Naima.Walaupun Ara membalasnya kembali, namun sikap Babas yang lebih membela Naima membuat Ara kesal. Ia tak habis pikir, siapa sebenarnya yang berhak atas Babas.BAAAMM..Suara keras bantingan pintu membuat Ara terkejut.Ara segera melirik ke arah pintu, di sana ia menemukan Bastian dengan wajah murka dan sekarang Babas tengah mendekatinya."Minta maaf pada Naima!" perintah Babas dingin.Cih! Tak akan sudi, batin Ara membalas."Kau dengan aku? Minta maaf pada Naima!""Harusnya dia yang melakukan itu.." balas Ara dingin."Apa?""Harusnya dia yang minta maaf padaku karena secara hukum dan agama aku, adalah istrimu.." lanjut Ara sambil menatap mata Nanas lirih."Cih! Istri? Kau pikir aku menganggapmu istri?"Ara
Seperti yang diperintahkan Tian, Selama Tian belum kembali, Ara diminta untuk tetap berada di rumahnya bersama Riani. Sebenarnya tujuan Tian membiarkan Ara di sana juga ada, yaitu menjaga Riani sampai ia kembali."Hei...udah mendingan?" Riani memukul pelan pundak Ara yang saat itu tengah bermenung di kursi lipat yang ada di pinggiran kolam berenang Rumah Riani.Ara tersenyum, ia meraih minuman dingin yang Riani sodorkan padanya."Aku tak apa Ri.." jawab Ara singkat dan masih sama yaitu tersenyum."Kamu nggak bisa bohong dari aku. Kamu bisa jujur. Sebenarnya kamu suka sama Bastian kan?" tebak Riani namun masih dalam memancing Ara dengan sebuah pertanyaan.Ara menundukkan wajahnya lesu lalu menggeleng. Ia tak menjawab 'iya' ataupun 'tidak'. Hanya saja hembusan nafas Ara meyakinkan Riani jika Ara sudah menyukai Bastian bahkan sebelum mereka menikah.Mungkin karena intensitas pertemuan keduanya yang sering. Apalagi Bastian yang mem
Tian baru saja sampai di rumah Babas. Saat masuk gerbang, pria itu melihat mobil Damian dan mobil yang tak ia kenal terparkir di sana.Tian berjalan menuju pintu masuk lalu menekan bel. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan memunculkan sosok gadis yang ia kenal. Gadis yang sebenarnya tak diharapkan muncul di kehidupan Babas lagi, namun harapannya tak dikabulkan.Naima.Gadis yang tak ingin ia temui itu kini ada di hadapannya."Tian?? Ya Ampuuunn, aku kangen banget.." Naima berhamburan masuk ke dalam pelukan Tian. Namun sebisa mungkin Tian berusaha melepaskannya.Dari belakang Naima, Tian bisa melihat Babas. Ia menatap Bastian tajam.Dengan sedikit kasar, Tian menghentakkan lengan Naima membuat Naima terkejut."Tian.. Kok kasar banget.." rajuk Naima."Sorry, gue punya istri.." ucap Tian sambil menatap Babas.Babas yang mendengar pernyataan Tian itu sadar sangat sadar jika dirinya tengah disindir Tian.
Sudah setengah jam Ara berdiri di luar rumahnya dan masih belum ada keinginan untuk masuk ke dalam.Bahkan supir Tian yang mengantarnya tadi sudah kembali.Ia masih ragu untuk masuk ke dalam. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan di luar juga terasa begitu dingin.Ara menarik nafas dalam. Ia menatap langit yang tak berbintang. Sepertinya malam ini hujan akan turun.Tak mungkin berlama di luar,Ara pun mulai melangkah masuk. Dengan hati-hati ia membuka pintu rumah. Beruntung pintunya tak di kunci.Ia mengendap masuk dan menutup pintu kembali tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.Ia segera menuju ke kamar tamu, namun langkah Ara terhenti saat melihat televisi masih menyala.Ara heran kenapa layar besar tersebut masih hidup padahal sudah malam begini. Jika Babas? Ia tak yakin Bastian betah di luar jika dirinya ada.Dengan penasaran, Ara mendekat ke arah sofa dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Ba
Sinar mentari masuk melalui celah gorden kamar Ara yang tak tertutup rapat. Ia menggeliat meregangkan tubuhnya untuk sedikit mencari kesegaran.Cuaca sudah tak sedingin semalam, bahkan pagi ini mentari pagi terasa hangat mengganti udara di kamarnya.Ara menyibakkan selimut tebal yang hanya menutupi tubuhnya setengah saja.Ia meraba pinggiran bantalnya guna mencari ponsel yang semalam ia letakkan di sana.Setelah mendapatkannya, Ara segera mengaktifkan layar dan melihat jam di sana."Haaahh..masih jam tujuh.." gumamnya.Namun ia harus segera bangun. Karena perutnya juga tengah keroncongan. Dengan sedikit malas, Ara turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.Ia ingin mandi air dingin pagi ini biar rasa segar semakin menyejukkan perasaannya.Setelah mandi, Ara langsung berjalan menuju lemari pakaian dan meraih gaun tidur yang ia beli kemaren. Sebenarnya gaun itu bisa di pakai di rumah dan tak harus untuk tid
Ara baru saja selesai latihan untuk hari ini. Hari ke sembilan dari seratus hari yang ia tetapkan sebelum ia bertanding.Ara duduk di sudut dinding untuk beristriahat sejenak. Ia sungguh kelelahan karena nyaris tiga jam nonstop ia latihan. Bahkan pelatihnya pun dibuat geleng-geleng kepala."Hai Ra.." sapa seseorang padanya.Ara yang tengah minum langsung menghentikan kegiatannya dan melihat siapa yang menyapa.Lelaki itu ternyata Raka, rekan satu tim nya dan juga satu warna sabuk."Oh Ka? Sejak kapan di sini?" Tanya Ara sedikit basa basi."Barusan.." jawabnya. Raka melihat Ara yang nampak kelelahan.Sebenarnya Raka penasaran apa asalan Ara mengambil perlombaan ini. Bukannya Ara baru saja menikah dan juga perlombaan ini sangat berbahaya. Apa tak ada larangan dari suaminya?"Ra...gue boleh tanya nggak? Tapi agak pribadi.." Ucap Raka yang sudah duduk di sebelah Ara.Ara melirik Raka sejenak lalu mengangg
"Kau ingin aku membuatmu medesah?"Aagghh...Bastian mencubit ujung dada Ara membuat istrinya itu memekik."Babas?" teriak Ara berang."Kenapa? Bukannya tak ada halangan lagi untuk kita bercinta?"Deg!Ara tediam. Ia tak bisa bereaksi apapun. Apa maksud ucapan Bastian barusan? Apa suaminya ini sudah menerimanya?"Ba..Babas?" Ara mendadak gugup. Jantungnya serasa tengah berdebuh kencang.Ara melirik tepat di pupil mata Babas. Namun ia hanya melihat tatapan kosong di sana. Kosong dan hanya diisi oleh gairah semata."Ba..Babas aku..""Kau ingin ini kan? Kita lakukan.." Bastian langsung melumat bibir Ara, ia tak membiarkan Ara menjawab ucapannya sedikitpun.Jemari Bastian dengan aktif bergerak mengurai rambut Ara yang hitam panjang, menyisirkan jemarinya di sana dan menahan kepala Ara untuk tak dielakkan oleh wanita itu.Ciuman itu semakin lama semakin panas. Ara bahkan sampai kewalahan dan