Sebentar panas, sebentar hujan deras.
Kadang langit keemasan, sesekali menggelap.Jangan tanya semburat apa yang terpancar nanti sore,belum tentu aku bisa menemuinya.Setelah sholat subuh, aku kembali membaringkan diri di tempat tidur. Mataku masih terasa berat. Sebenarnya sejak pukul sebelas malam aku sudah berbaring di atas kasur, tapi aku baru bisa tidur sekitar pukul dua pagi. Gara-gara membantu Damar melamar Anita di Taman Pelangi, aku jadi ikut-ikutan sumringah seolah-olah aku lah yang dilamar. Perasaan sumringah seperti itu sangat mudah menulariku, begitu mudah juga membuatku terjaga.
Aku menguap untuk yang keempat kalinya subuh ini. Peristiwa tadi malam kembali berkelebatan di b
Malam selalu datang terlambat di musim panas.Tapi bulan tak sekali pun mengeluhkan hal itu.Lalu kenapa ketika cinta terlambat dinyatakan,anak manusia meracau di akhir hari?Tak bisakah ia berbesar jiwa seperti si bulan?Aku akan minta maaf pada Jason di kantor pagi ini. Sebenarnya aku bisa saja meneleponnya dari kemarin, tapi rasanya kurang pas kalau meminta maaf lewat telepon padahal kami bisa bertemu langsung. Sebagai pihak yang bersalah dan mengharapkan maaf darinya, hari ini aku ingin menarik simpatinya dengan cara apapun, termasuk memakaidressbatik yang dibelikan ibunya dan parfum Versace yang dihadiahkannya padaku.Dengan rasa percaya diri yang tinggi a
Cinta akan menghampiri merekayang menyambutnya tanpa ragu.Selain Jason, setahuku hanya ada empat pasien lain di sini. Masing-masing pasien terbaring di ranjang yang dibatasi korden hijau khas rumah sakit pada umumnya. Sesekali terdengar suara dokter yang memberi instruksi kepada perawat, selebihnya hening. Satu-satunya suara yang terdengar secara konsisten di ruang ini adalah bunyi bip-bip yang dihasilkan alat-alatmonitoringkondisi pasien.Sepuluh menit sudah berlalu sejak aku duduk di samping Jason. Dia masih belum sadar dari pingsannya. Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih yang tadinya terlipat di ujung ranjang. Dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke leher itu, Jason tidak terlihat begitu mengerikan lagi. Lengan kanan
Bukankah tidak apa-apa,jika merasa nyaman terjebak dalam rutinitas?Salahkah berpuas diri dengan apa yang dimiliki saat ini?Panggillah aku si membosankan, aku tidak keberatan.Tak banyak perusahaan furnitur yang berorientasi ekspor di Yogyakarta. Dari yang tak banyak itu, Nilsson Home adalah salah satunya. Perusahaan furnitur yang didirikan oleh Karl Nilsson di daerah Timbulharjo, Yogyakarta itu telah berdiri sejak dua belas tahun yang lalu. Aku bekerja di perusahaan itu sebagai asisten pribadi Mr. Nilsson selama lima tahun terakhir.Selama hidupku, aku tidak pernah tinggal di kota lain. Bagiku Yogyakarta adalah rumahku dan aku tidak punya keinginan untuk mencoba hidup di kota lain. Tentu saja aku pernah ke Jakarta atau Denpasar waktu sekolahku dulu mengadakan study tour, tapi kedua kota besar itu pun tidak ada yang memikat hatiku. Sama halnya dengan pilihanku untuk tetap tinggal di kota ini, aku juga tidak memiliki keinginan untuk menjajal pekerjaan di perusahaan lain. Rutinitas pe
Hatiku mudah terikat.Dan kamu berdiri terlalu dekat.Kini masa depan terlihat pekat,tak lagi memikat.Jarum jam dinding baru menunjuk angka tujuh ketika ada ketukan di pintu rumahku. Aku segera bangkit dari sofa. Aku melihat sebentar pantulan wajahku di cermin dan menyisir sebentar rambutku yang beratakan. Pintu itu kembali diketuk agak keras dibanding ketukan yang pertama tadi. Aku bergegas membuka pintu, berharap Sam lah yang berdiri di balik pintu. Kekecewaan langsung menghinggapi hatiku. Ternyata Laras, sepupuku, yang berdiri di situ dengan senyum lebarnya yang khas."Kamu kan tinggal disini, Ras. Kenapa nggak buka pintu sendiri sih?" omelku."Kunciku ketinggalan di kamar," Laras menjatuhkan diri di sofa."Lain kali kuncinya diikat ke hidungmu.""Ide bagus tuh. Piye carane, Mbak?" godanya.Aku tidak menghiraukan leluconnya. Aku kembali duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan ponselku. Laras memiringkan tubuhnya sedikit ke arahku. Dia sedang menyenandungkan lagu Glenn Fredly de
Tak usah memusingkan dunia yang bising.Jalani saja hari-hari dengan gagah berani.Toh hidup ini selalu penuh dengan kejutan, bukan?Sekeras apapun usahamu untuk mempersiapkan diri,kau pasti akan tetap terkejut pada akhirnya.Hari Senin pukul sembilan pagi. Aku sedang mengetik email ketika ponselku berbunyi. Ada notifikasi WhatsApp dari *Samudra. Aku buru-buru menyelesaikan email itu, menekan tombol send, lalu membuka ponselku.Muncul sebuah foto yang dikirimkan Sam. Foto itu menampilkan empat air terjun yang airnya mengalir dari bukit bersemak yang tidak begitu tinggi. Airnya mengalir melimpah ruah ke bebatuan besar dan landai di bawahnya sehingga nampak seolah-olah ada air terjun-air terjun mini yang mengalir ke kolam berwarna kehijauan di depannya. Aku familiar dengan tempat itu, Sam pernah mengajakku ke tempat itu.*Samudra:Wish U were here. (Andai kamu di sini)Aku:Me too. Air terjun Sri Gethuk ya ini?*Samudra:Iya. Ngadem. Pusing di studio meluluAku:Art block?*Samudra:Ha
Terlalu nyaman dengan seseorangselama bertahun-tahun bisa membuatmu terlena,membuatmu merasa bahwa apa yang kamu dapatkan saat iniadalah yang terbaik untukmu.Aku baru saja masuk lobby dan menempelkan jempolku di mesin absensi ketika Anita menghampiriku. Wangi parfum mahalnya benar-benar membuat betah siapa pun yang ada di dekatnya."Mbak Hayu, nanti makan siang bareng yuk."Wah, tumben Anita mengajakku makan siang bersama. Setahuku, dia suka sekali memakai barang branded dan hanya mau bergaul dengan staf-staf yang juga memakai barang branded. Seperti biasanya, hari ini Anita juga memakai barang-barang branded. Blazer Zara warna hitamnya yang tidak dikancingkan memperlihatkan mini dress Forever 21 warna beige yang dia kenakan. Flat shoes yang dipakainya pun ada emblem Gosh di bagian sampingnya."Ada acara apa, Nit?""Ya makan siang bareng saja sambil ngobrol. Nanti aku mampir ke ruanganmu, Mbak. Kita ke kantin bareng ya.""Oh gitu. Liat nanti yah, Nit. Aku nggak janji. Takutnya Mr.
Dalam dongeng yang berakhir bahagia pun,sang pangeran harus mati-matian membuktikan cintanya.Lalu apa yang bisa dilakukan sang putri selain menunggu?Aku pertama kali bertemu Sam sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu aku Masih bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di World Languages atau biasa disebut WL, bimbingan belajar bahasa asing yang didirikan oleh kakak tingkatku. Aku mengajar kelas conversation level advanced dimana sebagian besar muridku berusia dua puluhan dan Sam adalah salah satu dari mereka yang lebih tua dariku. Setelah pertemuan yang ke empat, aku baru tahu kalau ternyata sebelum Sam mengikuti kelas itu, dia sudah lulus TOEFL dengan skor 540. Pantas saja kemampuan berbahasa Inggrisnya paling menonjol di antara teman-teman sekelasnya."Kenapa, Miss?" tanya Sam padaku suatu malam di area parkir World Languages."Kayaknya ban motor saya bocor ini," aku berjongkok memencet-mencet ban belakang motorku."Di pertigaan ada tukang tambal ban, Miss. Biasanya jam segini masi
Dulu ketika teman-temanmu diterima di kampus favorit,maka kamu juga menginginkan hal yang sama.Begitu pula ketika satu per satu sahabatmu menikah,kamu juga merasa menginginkan pernikahan.Bukankah memang kebanyakan manusia seperti itu?Aku baru selesai memasak tumis tauge dan ayam goreng ketika Laras duduk di depanku. Dia diam saja memperhatikan aku yang sedang menyiapkan hidangan dan perlengkapan makan di atas meja."Ambilkan nasi dong, Ras," kataku sambil melap piring satu per satu.Laras menurut saja. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil nasi. Setelah dia kembali ke ruang makan, dia langsung duduk lagi. Dia menopang dagunya sambil mengamatiku yang sibuk mengeluarkan botol air minum dan buah-buahan dari dalam kulkas. Pasti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Laras karena tidak bisanya dia menjadi pendiam."Jangan lupa berdoa dulu," kataku sambil menyendok tumis tauge dari mangkok saji."Mbak, kalau aku berhenti kerja gimana?" tanya Laras tiba-tiba sambil berusaha mencabik sepoton