Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Jakarta, 26 Maret 2013 Brakk Tidak sengaja Sofia menabrak dua orang yang sedang berciuman. Gadis itu terjatuh, lalu mendongak melihat siapa yang ditabraknya.Matanya membulat, ketika melihat pria dan wanita berpakaian minim yang masih terus berciuman. Seolah tidak merasa terganggu karena kehadirannya. “Dev!” pekik Sofia. Mendengar suara teriakan yang cukup keras, membuat kedua orang itu menghentikan kegiatan panas mereka. “Dasar brengsek!” Sofia berdiri dengan tertatih. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi dia tidak peduli akan hal itu. “Siapa dia Ar?” tanya wanita berpakaian minim yang merasa terganggu karena kehadiran Sofia. Arnold mengendikan bahu. “Sepertinya dia mabuk parah,” ejeknya dengan tertawa. “Putus cinta.” “Dev, jadi ini wanita pilihanmu. Bahkan dia lebih rendah dariku.” Sofia menatap wanita di hadapannya dengan tatapan sinis. Wanita itu meradan
5 tahun kemudian.... Milan, 27 Januari 2018 Milan merupakan kota metropolitan dan pusat bisnis di Italia. Milan juga merupakan salah satu kota tersibuk di Italia. Kota ini juga dikenal akan industri fashion, baik dalam bidang seni maupun desain. Milan juga dikenal sebagai salah satu kota mode setelah Paris dan New York. Di tengah tumpukan salju, tampak seorang wanita sedikit berlari setelah turun dari bus. Wanita berambut sebahu berwarna cokelat tua itu, tampak sedang terengah. Selain karena cuaca yang dingin, dia juga mengkhawatirkan putra semata wayangnya. Tidak peduli dengan dada yang terasa sesak, akibat cuaca dingin. Hari ini dia pulang terlambat sampai larut malam, akibat badai salju yang melanda kota Milan dari pukul 2 sore tadi. Sofia, melangkahkan kakinya untuk segera masuk ke dalam lift menuju unit miliknya. Beruntung letak apartemennya tidak terlalu jauh dari tempat dia bekerja. Mendapati lift yang kos
Nicholas Luciano, merupakan pria berdarah Italia-Indonesia. Nicholas lahir dan besar di Italia. Nicholas merupakan anak dari pasangan Tuan Luciano dan Nyonya Elina. Ibunya merupakan wanita asli Indonesia. Walau kedua orang tuanya memilih tinggal di Indonesia sejak 15 tahun terakhir, dia tetap tidak mau mengikuti kedua orang tuanya di sana. Nicholas lebih memilih tinggal di tanah kelahirannya. Dia hanya berkunjung sesekali ke Indonesia, untuk menemui kedua orang tua dan juga urusan pekerjaan. Nicholas Luciano, pria berusia 30 tahun itu merupakan seorang Ceo dari salah satu perusahaan milik ayahnya yang berada di Milan. Perusahaan yang bergerak di bidang desain itu telah berkembang pesat di tangannya. Perusahaan yang dulunya kecil, kini telah menjadi perusahaan yang mulai diperhitungkan di kota Milan. Tentang Sofia, Nicholas bertemu dengan gadis itu kurang lebih 5 tahun lalu. Pertemuan yang membuat Sofia ikut bersamanya, dan tinggal di salah sat
“Pekerjaan apa yang kau butuhkah?” tanya Nicholas, setelah mempertimbangkan beberapa hal. “Apa pun, aku bisa melakukan segalanya,” jawab Sofia penuh semangat. “Apakah kau punya surat kelulusan atau semacamnya yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan?” Sofia tampak termenung. Dia tidak membawa apa pun dari rumah, hanya pakaian yang melekat ditubuh serta tas kecil yang berisi identitas miliknya. Gadis itu menggeleng lemah, matanya menatap Nicholas dengan tatapan penuh permohonan. Sofia yakin, pria asing itu adalah orang baik. Nicholas tampak memikirkan pekerjaan apa yang akan dia berikan. Sementara dia, akan kembali ke Milan hari ini juga. Lagi-lagi ada satu sisi dari hatinya, yang mengatakan bahwa dia harus menolong gadis malang itu. “Tuan, aku bisa melakukan pekerjaan rumah tangga sekalipun.” ‘Walau aku tidak pernah melakukannya dan tidak tahu bagaimana caranya aku akan tetap berusaha melakukannya,’ batin Sof
Milan, 03 Desember 2013 Kini kehamilan Sofia sudah memasuki masa untuk melahirkan. Mungkin dalam hitungan hari dia akan melahirkan. Selama hamil, Nicholas menjaganya dengan baik. Bahkan pria itu melarangnya mengerjakan pekerjaan yang berat. Sofia tinggal di apartemen bersama dengan Nicholas. Dia masih bekerja sebagai asisten di apartemen pria itu. “Sofia, ho portato questo per te (Sofia, aku bawakan ini untukmu).” Nicholas datang dengan membawa kotak pizza, yang beberapa bulan terakhir menjadi makanan favorit Sofia. “Grazie (Terima kasih).” Sofia menerima kotak yang diberikan Nicholas lalu membukanya. Dia menyantap dengan lahap pizza yang sangat lezat itu. Sofia sudah mahir dalam berbahasa Italia. Dia memang gadis yang cerdas, maka dari itu dalam waktu singkat, Sofia sudah berhasil menguasai bahasa tempat dia tinggal. “Delizioso (Enak).” Sofia mengacungkan dua ibu jarinya ke hadapan Nicholas dengan mulut penuh. Terlihat sangat menggemas