Share

Menimbang, Mengingat dan Memutuskan

Sore yang indah di Yogyakarta, tanah tumpah darahku. Matahari sudah nyaris tenggelam tapi langit masih terlihat cerah. Tidak berwarna jingga atau merah saga memang tapi sedikit mirip daging kunyit bercampur biru muda. Gumpalan awannya mulai berarak cepat ke arah barat saat aku sampai di depan rumah, seolah-olah ingin memberi tahu kalau di dalam ruang tamu sana ada Tante Ariane. Oh, andaikan  senja dapat berbicara! Pasti aku sudah memutar badan dan berlari kembali ke rumah Uta. Menyelamatkan diri dari pertemuan paling garing di sepanjang usia. 

Tahukah kalian, apa yang dikatakan Tante Ariane tadi? Sudah sejak lama dia berniat mengajakku berlibur di Eropa tepatnya di Den Haag, Netherlands. Tapi aku masih sibuk kuliah. Nah, kalau sekarang kan, aku sudah lulus jadi tidak masalah bukan kalau pergi berlibur sebentar? Lagi pula aku kan belum bekerja, apa salahnya membahagiakan diri sendiri? 

Percaya tidak sih, kalian? Tante Ariane bahkan sudah memesan tiket pesawat untuk kami, termasuk aku. Wah, itu belum seberapa gilanya jika dibandingkan dengan ini. Do you know what? Mulai besok pagi ini, dia akan membantuku membuat visa wisata dan juga berbelanja kebutuhan pribadi. Misalnya, pakaian ganti  untuk di perjalanan. 

"Mau ya Hill, sekalian Tante minta tolong lah … Biar ada teman di perjalanan. Om tidak ada waktu untuk menjemput Tante di sini." itu bujukan terakhir Tante Ariane dan anehnya, aku justeru memberikan sebuah anggukan kecil sebagai jawaban. Kontan, Mama dan Tante Ariane tertawa gembira tanpa basa-basi dalam bentuk apapun. Bukan hanya itu, mereka juga tos untuk merayakan kegembiraan. 

Ugh! 

Mama sampai melupakan aku. Maksudku, Mama sampai tak melirik ke arahku sedikit pun. Gila tidak sih, kalau seperti itu? Fine, fine. Tante Ariane sahabat dekat Mama sejak masih kecil dulu. Sama lah, seperti aku dan Uta. Tapi kan, seharusnya Mama tetap menyerahkan keputusan terakhir di tanganku, dong? Bukan seperti itu. Iya kan, Guys? 

"Makasih banyak ya, Hill?" ungkap Tante Ariane dengan ketulusan yang bercampur menjadi satu dengan kebahagiaan, "Tante senang sekali, akhirnya ada teman di perjalanan. Teman selama di sana juga sih, Hill. Tante suka kesepian kalau Om seharian bekerja di kantor. Jadi, nanti kita berlibur bersama ya, Hill? Banyak sekali obyek wisata yang menarik di sana. Apalagi kan, baru musim panas di sana. Wow, wonderful. Jangan khawatir, Tante orangnya easy going, kok. Nggak rewelan lah, pokoknya. Terus, Om juga sudah bicara  sama Tante. Nanti, setiap weekend kamu boleh jalan-jalan sendiri, tanpa Tante. Mana tahu kan, kamu pingin buat proyek pribadi selama di sana? Hehe. Please, be our pleasure lah, pokoknya." 

"Wah, Hill pasti seneng banget di sana." timpal Mama tanpa memperdulikan bagaimana perasaanku, "Titip Hill ya, Ar? Kalau nakal selama di sana, tolong dicubit saja. Hehehehe …!"

"Ah, Rumi. Apa sih, kamu …?" sergah Tante Ariane sambil mengibaskan tangannya, "Aku yakin Hill nggak pernah nakal kok, anaknya. Iya kan, Hill?"

Lagi, aku hanya bisa mengangguk. Menunduk dan entah bagaimana rasanya seperti tertindih gunung Merapi. Apa Mama tahu, kalau sebenarnya aku butuh beberapa hari lagi untuk memikirkan semua ini? Butuh banyak waktu untuk mengambil keputusan terbaik. Ya Tuhan, Netherlands kan bukannya Sleman atau Bantul?

Wow, apakah itu definisi dari sebuah pemaksaan?

Aku tidak tahu. Terlalu bingung untuk mendefinisikan apa pun untuk saat ini. Bahkan, jika Mama bertanya tentang apa definisi dari holiday pun pasti aku auto bisu. Hemmmhhh, niat sekali sih, Mama memberikan  kebahagiaan itu untukku? Padahal, dengan Mama yang legowo menerima diri ini apa adanya saja, sudah bahagia lho. Serius, bukan ghosting! 

Guys, jujur ya … Ini hal-hal penting yang membuat aku keberatan untuk menerima ajakan Tante Ariane. Uta, MMB dan Batik. Tahu kan, teman seangkatan aku di kampus? Teman tapi mesra tapi belum bisa didefinisikan sebagai pacaran. Ya, begitulah. Ugh! Dia langsung marah lho, waktu aku chat dan cerita kalau ada sahabat dekat Mama yang mau mengajak aku berlibur di Eropa. Benar-benar marah Guys, dia sampai memblokir chat room-ku. Apa tidak parah kalau seperti itu, Guys?

Oh ya, Uta memandang teduh ke arahku waktu aku berkunjung ke rumahnya. Senyuman tulus tergambar manis di wajah lugunya. Sekali lagi aku meminta pendapat tentang ajakan Tante Ariane dan jawabannya masih tetap  sama seperti kemarin. Jawaban yang berhasil membuat diriku takjub. Kagum. Ya, masa sih, tidak masalah baginya jika harus mengembangkan MMB seorang diri? Selama aku pergi berlibur, maksudku. Sedangkan dulu, beberapa bulan yang lalu, kami merintis perpustakaan keliling ini bersama-sama. Aku malah, yang punya gagasan untuk pertama kalinya. Lumayan kan, hasilnya bisa untuk tambah-tambah uang jajan? 

Ah! 

Kenapa sih, Uta sebaik itu padaku? 

Hemmmhhh, jahat tidak sih, kalau aku pergi juga? 

Sumpah, rasanya jauh lebih rumit dari pada waktu memilih judul skripsi dulu. Hiks. 

"Serius, kamu nggak apa-apa Ta?"

"Serius. Jangankan cuma tiga bulan, kalau memang rezekimu ada di Eropa dan harus lebih lama tinggal di sana pun aku rela. 

"Maksud kamu, Ta?"

"Ya, nggak … Mana tahu kan, tantemu itu mau ngasih pekerjaan buat kamu? Wah, belum-belum aku sudah bangga banget lho, Hill. Seorang The Hill yang tinggal di Jogja pinggiran, bisa bekerja di Eropa. Ckckckck, pasti teman-teman sekampus juga ikut bangga, Hill. Iya, kan?"

"Emmmhhhh?"

"Udah, nggak usah kebanyakan mikir sih. Nanti malah kesempatan emasnya dipatok ayam, lho. Hehehehe. Soal MMB, kamu santai saja Hill. Toh, aku juga nggak dirugikan kalau kamu jadi pergi. Malah, bisa jadi dua kali lipat kan, keuntunganku Hill? Biasanya dibagi dua sama kamu  eh sekarang buat aku sendiri. Hahahaha."

"Ih, ya ampun … Ketawanya?"

"Ups, sorry?"

Tanpa kusadari, akhirnya aku mengatakan ini pada Uta dan malah ditertawakan sampai nyaris sekarat, "Ta, sebenarnya ada hal lain yang membuatku pusing tujuh keliling dunia, nih."

"Eh, hahahaha  … Apakah itu, The Hill yang baik dan cantik?" tanya Uta penuh perhatian.

"Batik marah sama aku, Ta. Gara-gara aku bilang kalau mau pergi ke Eropa. Dia sampai blokir chat room aku. Hiks." terus terang, tanpa tedheng aling-aling aku bercerita, "Nanti kalau dia beneran marah gimana, Ta? Ya, aku kan sedih kalau kayak gini."

Bukannya memberikan tanggapan atau semacamnya, Uta malah tertawa sampai terpingkal-pingkal. Terjungkal-jungkal, entah apa artinya. Membingungkan memang, sahabat dekatnya sedih kok malah ditertawakan? Hiks. Untung, Uta segera insyaf. Menghentikan tertawanya dan menatap super duper serius padaku, "Kamu pilih mana, holiday yang bisa saja itu adalah jalan kamu untuk menggapai segala impian  atau Batik yang belagu dan angkuhnya selangit biru itu, ha? Hill, Hill. Kayak dunia ini hanya sebesar koin odong-odong saja. Dunia ini luas Hill, sangat luas. Tak terbatas. Ada Jacky, Lee, Sunar … Terus, apa kabar Ronu yang sampai hampir mati bunuh diri gara-gara ngarepin cinta kamu? Buka mata kamu, Hill. Aku nggak nyuruh kamu ninggalin Batik ya tapi tolong pikirin lagi kata-kataku ini. Untuk apa kamu ngelakuin  semua yang diminta Batik sedangkan dia tuh cuma manfaatin kamu? Denger ya Hill, Batik tuh nggak cinta sama kamu. Pergi saja kamu, liburan. Aku doain pulang dari liburan nanti, kamu sudah berubah pikiran tentang Batik."

Biyuh, Uta malah sampai menghimpitku seperti itu. Ya, memang sih, aku tertekan dekat dengan Batik. Jujur. Dia orangnya super posesif, egois dan emosional. Kadang-kadang aku sampai dibentak-bentak hanya karena masalah-masalah sepele. Terlambat pulang karena ada jadwal di MMB, kelamaan di toko buku, jalan-jalan bersama Uta tanpa chat dia sebelumnya dan masih banyak lagi lainnya. Pernah juga Batik mengamuk hanya karena aku lupa menemaninya makan malam. Bukan, bukan karena lupa. Asli, aku tertidur sewaktu menonton movie favorit di BV Best Videos. 

Entahlah, aku tahu kalau Batik seperti itu. Cacat karakter lah, istilahnya tapi rasanya tak bisa terlepas darinya. Kecuali dia sudah tak mau lagi denganku, mungkin aku baru bisa menjauh dan pergi. Hiks. Oh, selemah itukah, diriku? 

Aku tak tahu, Guys. 

Bagiku, hanya Batik lah yang bisa menerima segala kekurangan diriku. Aku yang serapuh kaca, cengeng, minder dan kadang-kadang pesimis. Wajarlah kalau dia membentak atau marah. Aku juga yang salah, karena tak bisa menjaga ketenangan hatinya. Iya kan, Guys?

Ah, jujur ya, jujur. Mengingat Batik membuatku semakin gerah. Lengket sekali rasanya tubuh ini, padahal tidak sedang berkeringat. Apa aku mandi dulu saja, ya? Sumpah, panas sekali rasanya, padahal tadi sore juga sudah mandi. Apakah ini pertanda kalau Batik tak bisa lagi menjadi penyejuk hatiku? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status