Share

Membahagiakan Mama

Akhirnya, demi kebahagiaan Mama aku merelakan diri memenuhi undangan Tante Ariane untuk berlibur di Eropa tiga bulan ini. Aku tidak tahu, apakah ini model lain dari pemaksaan agar terkesan manis dan lembut atau bagaimana, terpenting Mama bahagia. Oh Tuhan, sesederhana itu kah, kebahagiaan Mama? Melihatku menikmati liburan bersama Tante Ariane. 

Aku tak tahu, bagaimana dengan mama-mama yang lain di dunia ini. Apakah juga akan sebahagia Mama jika anaknya diajak berlibur sahabat dekatnya atau justeru sebaliknya. Merasa insecure dan tidak mudah untuk melepaskan. Jujur, sampai detik masih tak percaya dengan jalan pemikiran Mama. Apa karena rasa percaya pada Tante Ariane yang begitu besar, sehingga bisa dengan tenang melepaskanku bersamanya? Mungkin. 

Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, bukan? Eropa juga tidak sedekat Yogyakarta - Magelang, tentu saja. Tapi sepertinya Mama sudah siap, sudah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan baik. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kalau aku tidak betah tinggal di sana? 

"Hill, jangan berpikir buruk begitu, Hill." Mama berujar sambil terus menyisir rambut keriwilku yang panjang sepinggang setelah mendengar curahan hatiku yang lebih panjang dari pada selokan Mataram. Dua kali atau tiga kali lipat lah kira-kura, kalau diukur dengan pengukur jalan.

"Nggak mungkin kamu nggak betah di sana, Hill." Mama mulai mentransfer keyakinannya padaku, "Eropa, Eropa … Bayangkan!" 

Apanya yang harus kubayangkan? Aku kan, belum pernah ke sana? Jangankan ke Eropa. Ke Jakarta saja baru beberapa kali. Tiga atau empat kali, ya? Waktu kecil dulu, diajak Papa jalan-jalan ke Monas dan Taman Impian Jaya Ancol. Hiks, aku mabuk waktu kami naik kapal boat di pantai Marina. Muntah-muntah hebat aku, di pangkuan Papa. Terus, waktu SMP. Itu juga karena acara wisata siswa dari sekolah. Kami mengunjungi pasar Senen, Taman Ismail Marzuki, Monumen Pancasila Sakti dan Taman Mini Indonesia Indah. Sisanya, diajak Mama ke rumah Om dan Tante di Cibubur. 

Waktu kuliah, kami study tour ke Bali. Wah, rasanya amazing tralala. Seru luar biasa. Kami mengunjungi banyak tempat wisata di sana. Di antaranya  Pantai Sanur, pasar Sukowati dan Besakih. Wah, jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku saat itu. Lebih dari berbunga-bunga. Tiada terkira lah, pokoknya. 

Tapi Eropa lebih tepatnya Den Haag, Netherlands?

Sejujur-jujurnya kukatakan, selama ini aku hanya pernah melihatnya di internet. Pernah punya impian ke sana? Pernah. Mimpiku, sekolah atau kuliah di sana. Terus kalau sudah lulus, langsung dapat pekerjaan. Jadi orang sukses dulu, baru pulang ke Yogyakarta. Kenapa harus pulang? Karena ada Mama yang pasti merindukanku, anak semata wayangnya yang super istimewa. Selain itu, juga ada makam Papa. Satu-satunya tempat yang setiap menziarahinya, rasa rindu seberat apapun langsung terobati. Ya, walaupun ketika sampai di rumah rasa rindu itu sudah mulai bertumbuh lagi. 

Ugh!

Aku aneh, ya? Sekarang, walaupun tidak dalam rangka sekolah, kuliah atau bekerja Tante Ariane mengajakku ke sana. Eh, bukannya bergegas menerima tapi malah berbelit-belit. Percayalah, aku memang bukan pribadi yang kuat. Mungkin malah lebih rapuh dari pada kaca.

"Ya deh, Ma." akhirnya aku bergumam untuk memberikan  jawaban, "Aku mau kok, menemani Tante Ariane berlibur ke Eropa."

"Oh Hill, benarkah itu?" Mama bertanya dengan menurunkan logat bicara Tante Ariane, "Ya udah Hill, kalau gitu kamu harus siap-siap sekarang. Sebentar lagi Tante Ariane jem---"

"Tapi Mama beneran bahagia, kan?"

"Ya, Hill. Jangan khawatir."

"Syukurlah, Mama."

"Ya, Hill."

"Oh ya, Mama nggak perlu gantiin aku di MMB, kok. Uta dan aku sudah buat kesepakatan bersama. Mama jangan khawatir lagi, ya?"

"Siap, Hill. Wah, Mama seneng banget ini, Hill. Ya udah sana, kamu siap-siap. Sebentar lagi Tante Ariane dateng, lho. Masa kamu malah belum siap?"

Sumpah, melihat Mama segembira itu, hatiku benar-benar seperti tanaman yang ditumbuhkan oleh musim semi. Selain memang ada kebahagiaan tersendiri sih, di sudut hati. Ya, siapa tahu saja---sama seperti yang dikatakan  Mama---liburan ini bisa memberikan  banyak pelajaran dan pengalaman untukku. Iya, kan? Bukankah pengalaman adalah guru yang paling berharga? Semoga. 

See you, Guys! Aku mau ke kantor IMIGRASI dulu, ya? Harus sudah foto hari ini. Harus menandatangani berkas-berkas juga. Nah, kalau urusan di kantor IMIGRASI sudah selesai, besok pagi atau lusa tinggal berangkat ke kantor Kedutaan Belanda untuk Indonesia di Jakarta. Tidak sendiri sih Guys,  tapi rasanya tetap deg-degan. Hehe. Doakan aku selalu, ya?

***

Wow, fantastis! Ternyata Tante Ariane tidak hanya mengajakku ke kantor IMIGRASI tapi juga shopping di mall. Dia membelikan aku lima stel baju, dua pasang sepatu, dua pasang kaos kaki, sweater dan jaket untuk dipakai di pesawat. Underware juga, yang walaupun awalnya malu-malu tapi akhirnya riang gembira. Nanti, begitu sampai di Netherlands---kata Tante Ariane dengan semangat membara di wajahnya---kami akan shopping lagi. Tidak mungkin kan,  memakai pakaian yang dari Indonesia selama di sana? Walaupun musim panas tapi tetap tak boleh menyepelekan masalah warna, model dan terutama bahan pakaian. 

Bukan hanya itu,  Tante Ariane juga membelikanku arloji alias jam tangan tadi. Untuk apa? Katanya sih, supaya aku belajar lebih on time lagi dalam setiap kegiatan. Hitung-hitung latihan lah, karena kan di Netherlands nanti tidak berlaku lagi jam karet atau sejenisnya. Walaupun sedikit tersindir dengan istilah jam karet tapi aku termotivasi juga pada akhirnya. 

On time. On time. On time, Hill! 

Please, don't be late!

"Hill, kamu butuh tas punggung atau koper juga, kan?" tanya Tante Ariane dengan senyum lebarnya yang khas, "Habis ini kita ke toko tas, ya? Tante juga mau beli koper lagi, nih. Koper yang di rumah terlalu besar."

Aku hanya mengangguk lalu mengikutinya berjalan ceria menuju meja kasir. Wow, fantastis. Uang puluhan juta melayang dalam waktu kurang dari tiga jam! Hemmmhhh, jadi teringat Papa. Dulu, sebelum Papa meninggal dunia, dia juga sering mengajak Mama dan aku shopping seperti ini. Jalan-jalan, makan malam atau pergi ke toko buku dan membolehkanku membeli banyak buku bacaan. Wah, tentu saja aku langsung memborong teenlit, dong. Kapan lagi, coba? 

"Lho Hill, kok kamu malah nangis?" teguran penuh perhatian dari Tante Ariane membuatku terkesiap, "Hill … Kamu kenapa, Sayang? Oh, Tante salah ya sama kamu? Tante buat kamu sedih, ya?" 

Secepat mungkin aku menggeleng-gelengkan kepala, menyeka air mata. Malu juga rasanya, menangis di depan umum seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Siapa yang bisa menahan besarnya rasa sedih karena kehilangan seseorang yang paling berharga? Aku, jelas bukan orang yang pandai bersandiwara.

"Hill?"

"Ya, Tante … Maaf Tante, tadi Hill teringat Papa. Hill rindu sama Papa, Tante."

"Oh, Hill. Sini, peluk Tante?"

Itulah Guys,  untuk pertama kalinya aku menumpahkan air mata di depan umum. Tapi aku tidak menyesal atau merasa bersalah dalam hal ini, karena menangisku tadi bukan karena cengeng. Bukan juga karena ada masalah atau bagaimana. Oh Guys, hati ini hanya rindu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status