Share

Cincin dan Setangkai Mawar

Serta merta Uta mendekati kami, meninggalkan anak-anak yang terlihat asyik memilih-milih buku. Mimik wajahnya terlihat mengandung bara amarah, menakutkan. Aku sendiri masih berada dalam cengkeraman rasa terkejut yang begitu besar sehingga hanya bisa ternganga dalam arti yang sesungguhnya. Oh, aku yakin pasti sekarang ini sudah seperti anak kucing yang tersesat dan kehausan. Berharap akan segera menemukan genangan air di pinggir jalan untuk bisa melepaskan dahaga. 

"Sorry … Hill, sudah ditunggu sama anak-anak, tuh?" kata Uta dengan suara menyerupai desisan, "Banyak yang mau meminjam buku." 

Sekarang Uta melirik tajam ke arah Batik. "Sorry ya Batik, tolong jangan ganggu kami!" 

Batik membuang muka ke arah lain, tentu saja tanpa secuil kecil kata pun tergetar dari bibirnya. Tidak juga melirik ke arahku setelah itu, seolah-olah tidak pernah membentak seperti beberap menit yang lalu. Aku sampai berdecak kagum bercampur malu dan tak percaya, atas sikapnya yang setidak  peduli itu. Bukan berarti selama ini dia bersikap ramah, hangat atau bagaimana, sih. Tapi ini kan, di depan umum bukan di depan anak buahnya. Ya ampun! Masa dia tidak berhasil menempatkan  diri juga, sih? Ada banyak anak pelanggan MMB juga, lho. 

"Yuk, Hill?" Uta menarik tanganku yang terasa lemas tanpa tulang, "Nanti malah kemaleman kita, pulangnya!"

"Uta, Batik …?" 

"Sudah Hill, biarin saja dia di sana. Biar kapok dia, kena mental gara-gara kamu cuekin seperti tadi. Kamu harus bisa bersikap dong, Hill? Batik kan sudah sering banget nyakitin kamu? Masa kamu ngalah terus, sih? Walaupun ngalah itu bukan berarti kalah tapi kamu harus bisa ngebelain diri kamu sendiri dong, Hill? Siapa lagi yang bakal ngelindungi kamu, kalau bukan kamu sen---"

"Uta, sorry … Sebentar, ya?"

Entah kekuatan apa yang sudah mendorongku setengah berlari kembali mendekati Batik, mengabaikan peringatan Uta. Batik baru saja menyalakan mesin sepeda motornya. Masih, wajahnya masih sedingin yang tadi. Lebih beku, malah tapi aku tak memperdulikan itu. Ada hal yang lebih penting yang harus kukatakan padanya. 

"Batik, tunggu!" aku berseru sambil menghalangi jalannya, "Tunggu sebentar!"

Batik mendengus kesal. Mematikan  mesin sepeda motor dan menyedekapkan kedua tangan. Tatapannya terlihat setajam sembilu dengan wajah semembara api dalam tungku. 

"Minggu depan aku berangkat ke Belanda, Batik." takut-takut aku memulai pembicaraan, "Aku pamit, ya? Sekalian aku mau minta maaf, kalau selama ini banyak salah sama kamu." 

Sumpah! 

Sampai di sini, air mataku menggenang di kedua bola mata, nyaris tumpah. Jadi, demi mencegah terjadinya sesuatu yang bernama tangisan, aku tak mengucapkan apa-apa lagi. Hanya berusaha untuk memperhatikan bagaimana reaksi Batik dengan semua yang kuucapkan tadi. Nihil. Tak ada gejala atau pergerakan apa pun di tubuhnya, membuatku menggedikkan bahu, kecewa. Memutar tubuh yang sudah sedingin winter, berusaha melangkahkan kaki dengan normal ke arah Uta dan anak-anak pelanggan MMB. Oh sungguh, rasanya seperti terpental jatuh dari ketinggian. Menyesal sekali karena harus bertemu dengan Batik sore ini. Kenapa tidak menghilang untuk selama-lamanya sekalian, sih? 

Ugh! 

"Uta, sorry ya, yang tadi?"

"Oke Hill, nggak apa-apa kok."

"Aku jadi nggak enak nih Ta, sama kamu. Sekali lagi, maaf ya Ta?"

"Iya, nggak apa-apa beneran kok, Hill. Nggak usah dipikirin lagi. Aku bisa ngerti, kok. Lagian  anak-anak juga pada tertib kok, baca bukunya. Jadinya nggak repot banget. Itung-itung latihan  lah, Hill. Prepare sebelum kamu berangkat ke Belanda. Hehehehe  …!"

"Wah, makasih banyak  ya, Ta?"

Uta mengangguk kecil. Mengalihkan pandangan ke arah Batik yang mulai menjalankan sepeda motornya ke arah Malioboro dengan kecepatan super tinggi. Benar-benar tinggi, seolah ini bukan jalan raya melainkan tanah lapang yang sepi. Batik memang begitu kalau dalam keadaan emosi yang bergejolak. Jangankan sendiri, memboncengkan aku pun seperti itu, gayanya. Ah, mungkin dia pernah bercita-cita menjadi pembalap sebelum akhirnya kuliah. Mungkin lho, aku hanya menebak-nebak saja.

***

Haaa, what?

Untuk apa coba, Batik datang ke rumah malam-malam begini? Mama juga, kenapa tidak bertanya padaku dulu sih, tadi? Maksudku konfirmasi dulu lah, apakah aku bisa menemuinya atau tidak. Apa betul dia ada kepentingan denganku atau tidak. Hemmmhhh, kadang-kadang Mama memang sebaik itu, sungguh. Saking baiknya sampai tidak tahu kalau selama ini Batik sudah membully anak semata wayangnya ini hingga nyaris depresi. 

"Ba---" aku baru mau menyapa ketika tiba-tiba Batik menyela dengan sikap gugupnya yang sangat kentara.

Tidak, dia tak mengucapkan secuil  kecil kata pun, hanya mengangsurkan sebuah kotak karton berwarna merah mawar padaku. Ragu-ragu, aku mencari-cari pancaran sinar matanya. Entah bagaimana, aku merasa Batik sudah tidak marah lagi padaku. Padahal dia tidak tersenyum sama sekali, lho. Aneh, kan? Mungkinkah karena sudah terbiasa mendapatkan sikap yang seperti ini darinya? Mungkin.

"Apa ini, Batik?" aku bertanya dengan penuh keheranan tapi Batik tetap diam, seolah-olah tak mendengar pertanyaanku barusan.

"Ba---" aku bermaksud mengulangi pertanyaan, memperjelas apa yang menjadi maksud dan tujuan Batik ke sini malam-malam. Tapi lagi-lagi Batik memangkasnya tanpa perasaan.

"Buka saja!" titahnya sambil menghujamkan ketajaman sorot mata ke arahku. Tentu saja aku menunduk ketakutan, memandangi kotak karton merah mawar pemberiannya. Hanya memandang, tak memiliki sebutir keberanian pun untuk membukanya. Bukan apa-apa. Terus terang masih illfeel dengan sikap kasarnya tadi sore. Masa, dia sampai membentakku seperti itu, sih? Ya, kalau hanya berdua sih, tidak masalah. Lha ini, di pinggir jalan raya, lho. Banyak anak pelanggan MMB juga. Duh, malu sekali rasanya. Lebih malu dari saat di luar kendali menangis di mall tempo hari. Kalau itu kan, karena teringat Papa. Wajar, kan?

"Kamu nggak mau buka, Hill?"

"Emmmhhhh?"

"Mau, aku bukain?" 

Tanpa menunggu jawaban dariku, Batik mengambil kotak kartonnya dari tanganku. Sempat kulihat, dia menggambar senyum tipis di wajah gantengnya. Senyum yang pertama kali kulihat di sana.  Siapa sangka kalau sekitar tiga detik setelahnya, Batik akan mengeluarkan setangkai mawar sewarna kotak karton dari dalam jaketnya? Aku tidak sama sekali. Maksudku, selama ini aku berpikir kalau Batik tidak mungkin memiliki sisi romantis dalam dirinya. Mustahil kuadrat. Tapi ternyata, malam inilah buktinya.

"Wah, makasih banyak ya, Batik?" aku mencoba menetralisir situasi agar tak merambah status genting, "Kok, kamu tahu kalau aku suka mawar merah?"

Lagi, Batik menggambar senyum tipis. Menepuk-nepuk dada kirinya, entah apa maksudnya dan sekarang mulai membuka kotak karton yang di bagian atasnya direkatkan beberapa kancing tempurung kelapa dan kulit jagung dibentuk pita. Oh, bolehkah aku menjerit-jerit atas keromantisan yang tiba-tiba berubah menjadi harapan besar ini? Harapan supaya tidak terjadi hal-hal yang tak kuinginkan lagi. Misalnya, tiba-tiba Batik marah, megamuk atau pun meledak-ledak. Sungguh, itu sangat menyesakkan dada. Menyakitkan. 

Dug jlep, plaaasss!

Rasanya oh rasanya, seluruh aliran darah dalam tubuhku berhenti mengalir. Apa, apa itu yang ada di dalam kotak karton merah mawar, sebuah cincin? Oh, ada apakah gerangan sehingga seorang Batik datang ke rumah dengan membawa setangkai mawar segar dan cincin? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status