Malam terakhir di Yogyakarta. Oleh karenanya Mama mengundang Uta dan Tante Ruby makan malam di rumah. Alakadarnya sih, untuk melepaskan keberangkatanku ke Netherlands besok pagi. Lebih tepatnya, sama-sama berdoa untuk keselamatan kami.
"Lho, kok jadi repot, Mbak Ruby?" protes Mama berbasa-basi ketika mereka datang dengan membawa beberapa kotak kue basah dan pudding untuk dessert, "Duh, aku jadi nggak enak ini, Mbak?"
"Nggak repot kok, Dek Rumi. Uta tadi yang punya ide. Hehehehe …!" kata Tante Ruby membuatku mendelik sayang ke arah Uta. Gemas, sih. Segitunya dia memberikan perhatian terhadapku.
"Oh, ya … Makasih banyak ya Mbak Ruby, Uta?" ungkap Mama sambil memberikan isyarat supaya mereka duduk di sofa usang di ruang tamu kami. Eh! Biar pun usang ta
Jakarta. Soekarno Hatta International Airport. Aku membeku di antara Tante Ariane dan Aldert, Guys. Aldert bukan hanya usil tetapi jahat. Sungguh. Berani-beraninya dia bersikap seolah-olah dia itu pacarku atau sejenisnya. Malah, sempat memanggilku dengan Sayang. Itu karena ada beberapa orang di seberang tempat duduk kami memperhatikan sikap dramatisnya. Ugh, bayangkanlah! Di tempat umum seperti ini, bisa-bisanya dia mengambil tema obrolan yang cukup personal menurutku.Kalau kalian bertanya bagaimana rasanya berlibur, aku tahu harus berkata apa. Beku. Tapi sejauh ini masih terus berharap semoga ini hanya sementara saja. Nanti, lama-lama kebekuan itu akan meleleh, mencair dan berganti dengan kehangatan.Ugh, ugh!"Ya kan Sayang, nanti kita arrange 3 Months Holiday
Kami masih di Soekarno Hatta International Airport dan aku nyaris membatu gunung oleh sikap berlebihan Tante Ariane dan anak laki-lakinya. Siapa lagi kalau bukan Aldert yang tingkah lakunya masih seperti anak ingusan itu? Ugh! Ya Tuhan … Mustahil kan, aku tersesat di toilet? Walaupun mungkin lebih lemah dari selembar tisu kering tapi percayalah, aku tidak buta huruf. Oh, jelas mereka sudah melupakan sebuah fakta kalau ini bandara internasional dan banyak terpasang plakat, papan pemberitahuan atau apa pun itu namanya. Iya, kan?So Guys, demi mencegah terjadinya ledakan emosi dalam diri sendiri terutama, aku memutuskan untuk segera keluar dari toilet wanita. Dengan setengah berlari, tentu saja karena Tante Ariane sudah terdengar seperti sesuatu yang melolong-lolong. Seolah-olah aku sudah musnah tersedot ke dalam water closed
"Welcome home, Hill!" Aldert berseru riang sambil merentangkan kedua tangan, menggambar senyum lebar hingga semua barisan giginya yang putih dan rapi terlihat sempurna. "Welcome to our 3 Months Holiday!"Terus terang aku mabuk pesawat, jadi tak begitu senang ketika pada kenyataannya benar-benar sudah sampai di Den Haag, Netherlands. Walaupun selama di perjalanan yang kurang lebih mencapai dua puluh jam, sangat menginginkan hal ini segera terjadi. Terwujud nyata. Sungguh, aku merasa seluruh tubuh sudah terpisah-pisah seperti kepingan puzzle. Oh Guys, hanya bisa berharap semoga kisah ini tidak menimbulkan trauma dalam hidupku. Semoga Mama juga baik-baik saja di sana."Hill, kenalkan ini papa Aldert … Om Frank." cakap Tante Ariane dengan tingkat kelembu
"Oh Hill?" Tante Ariane membelalak, bahunya terangkat dengan sempurna menyatukan dagu dengan lehernya, "Kita belum mandi. Oh, menurut Hill lebih baik mandi atau sarapan dulu? Ah Hill … Maafkan Tante sudah melupakan hal yang sepenting itu?"Sampai di sini mata Tanta Ariane masih membelalak tapi bahunya sudah turun dan terlihat normal kembali. Senyum geregetannya terlihat lucu, membuatku tertawa lirih. Sumpah demi apa, Tante Ariane justru ikut tertawa sampai cekikikan."Ah sudahlah, Hill. Mandilah segera biar segar. Baru setelah itu sarapan dan istirahat." Tante Ariane berujar bijak setelah tawanya terhenti dan meninggal semburat merah di kulit wajahnya, "Nanti Tante bantu membongkar kopermu, ya?"Ha, what?
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Hill, bisa bantu Tante?" seru Tante Ariane dari bawah rumah pohon, menyeret tubuhku untuk segera turun melalui tangga. Sampai sejauh ini belum berani turun dengan cara yang dilakukan Om Frank dan Aldert, berpegangan pada tali yang terikat kuat pada pohon lalu meluncur. Masih ngeri rasanya. Lagi pula, kalau ada jalan yang lebih mudah kenapa harus mempersulit diri. Iya, kan?"Ya, Tante?""Bisa bantu Tante membawa makan siang kita ke sini, Hill?""Bisa Tante, tolong tunggu sebentar.""Ya Hill, hati-hati. Tante ke dalam dulu, ya?"Aku mengangguk kecil lalu menuruni anak tangga dengan super duper hati-hati. Samar, aku mendengar Tante Ariane menerima telepon dari seseorang di dalam rumah, en
"Apa, aku …?" bodohnya dua penggal kata itu terlontar begitu saja dari mulutku sehingga Aldert semakin menjadi. Kasar, dia menunjuk ke pintu rumah pohon yang berarti mengusirku. Memang, Om Frank sigap bertindak begitu juga dengan Tante Ariane. Mereka menegur Aldert atas sikapnya, tentu saja tetapi bagiku itu tidak berarti apa-apa. Semuanya sudah terlambat. "OK, aku turun ya Aldert? Mari Om, Tante? Selamat makan siang untuk kalian!"Gontai namun tak berusaha sedikit pun untuk menahan rintik air mata, aku menuruni tangga. Rasanya terlalu sakit. Terlalu pedih. OK, fine Batik memang kasar, emosional, menekan tapi belum pernah memperlakukan aku dengan seburuk ini. Pernah sih, di pertemuan terakhir kami---dia memarahi, membentak-bentak aku di pinggir jalan waktu keliling bersama Uta di kawasan Malioboro---