Dubai … dua hari kemudian.
Edric dan Calvin sudah tiba di apartemen yang menjadi peninggalan buyut mereka, Louis. Dulu, apartemen yang berada di kawasan Marina Dubai itu dihadiahkan Louis kepada sang cucu sebagai hadiah pernikahan, yaitu Dominic. Sempat ingin menolak, namun akhirnya Dominic menerima pemberian mahal ini.
Siapa sangka, sepertinya sang kakek memang sudah mempersiapkan semuanya, karena beberapa bulan kemudian, Dominic dan Brandon berhasil menandatangani sebuah kerja sama bisnis dengan salah seorang pengusaha berdarah Indonesia di Dubai. Jadi, apartemen ini benar-benar bermanfaat setiap kali mereka ada kunjungan ke sini.
“Brother, sudah selesai belum? Jangan sampai tuan Radesh menunggu kita.” Calvin yang baru saja selesai mandi dan beberes terdengar memanggil Edric yang berada di kamar utama. Sesaat kemudian orang yang dipanggil keluar dengan penampilan yang sudah rapi, layaknya akan bertemu dengan rekan bisnis.
“Hahhh, seharusnya kita tidur dulu seharian, Vin. Kepalaku masih pusing akibat mabuk dua hari yang lalu.” Edric berbicara sambil menyetel arloji mahalnya ke setelan waktu Dubai. Jika sekarang adalah pukul delapan pagi, itu artinya di Jakarta sudah jam sebelas siang. Indonesia lebih cepat tiga jam dari tempat ini.
“Seharusnya kau tau diri untuk tidak mabuk-mabukan jika sudah ada rencana flight panjang. Tante sampai menitipkanmu kepadaku. Padahal, dari segi usia, seharusnya kau lah yang menjagaku di sini, selaku kakak yang paling tua.” Calvin terawa mengejek sambil berjalan ke arah pintu. Kartu akses sudah ada di tangannya dan mereka siap-siap keluar dari tempat itu.
“Fathan sudah di bawah?”
“Sejak satu jam yang lalu.”
“Kenapa dia selalu kepagian? Apa dia bertengkar dengan istrinya lagi?”
“Mungkin. Atau bisa jadi dia sudah tidak sabar mendapat cinderamata darimu. Ha-ha-ha.” Calvin tertawa puas. Cinderamata yang dia maksud adalah tip yang selalu diberikan Edric kepada supir berdarah Indonesia-Arab tersebut. Fathan adalah supir perusahaan yang selalu ditugaskan untuk mengantar jemput Ed dan Calvin selama berada di Dubai.
Turun dari gedung berlantai delapan puluh biasanya memakan waktu sekitar lima menit. People come in and out. Edric sampai tidak sabar karena baginya ini melelahkan. Terlalu banyak orang kaya di negara ini. Sampai-sampai lift VIP pun tidak ada gunanya. Semua pengunjung sepertinya menyandang status sebagai penghuni ekskekutif, seperti mereka berdua.
Setibanya di loby, Fathan terlihat sudah menunggu di salah satu sofa yang ada di lounge. Pria berkulit sawo matang itu melambaikan tangan ke arah mereka.
“See? Dia sangat bersemangat. Dia siap menerima lembaran dolar darimu.”
“Ck!” Edric berdecak menanggapi gurauan Calvin yang disampaikan lewat gumaman.
“Good morning, Gentleman. So glad to see you again.” Fathan menyapa dengan semangat yang patut diacungi jempol.
“Kau bisa berbahasa Indonesia saja seperti biasanya. Sehat ‘kan, Tan?” Calvin menepuk pundak Fathan dengan ramah sebelum dia dan Edric masuk ke dalam jok belakang mobil.
“Alhamdulillah, Bos. Sehat,” jawab pria itu seraya nyengir kuda. Setelah Edric dan Calvin masuk, dia pun kembali ke kursi kemudinya.
Perjalanan menuju kantor berlangsung hening. Dulu, saat Dominic dan Brandon membangun kerja sama dengan oang tua Radesh di Dubai, mereka membangun satu kantor kecil sebagai perwakilan Inti Global dan Cakrawala di sana. Tidak ada direktur, atau CEO. Hanya ada penanggung jawab yang menjadi perpanjangan tangan mereka dengan pihak keluarga Radesh selama Dom dan Brandon berada di Jakarta. Penanggung jawab itu ditugaskan untuk menangani hal teknis di lapangan, seperti mengawasi barang yang baru tiba di pelabuhan, maupun di bandara serta memastikan proses pengantaran ke pabrik keluaga Radesh berjalan dengan baik.
Namun, setelah bertahun-tahun kemudian, bisnis mereka semakin berkembang. Kini kantor kecil itu sudah menjadi bangunan besar yang lebih layak. Hal ini dikarenakan proses produksi yang sudah dipindah ke Dubai. Dulu, Dom dan Brandon memproses semuanya di Jakarta dan barang yang dikirim ke Dubai adalah produk jadi, tinggal jual. Setelah melihat ternyata banyak kekurangan di sana-sini, mereka pun merubah sistem. Produksi dilakukan di Dubai, mereka hanya mendatangkan bahan baku yang berkualitas dari Jakarta.
Pada akhirnya, setelah sepuluh tahun bisnis mereka berjalan, Dominic dan Brandon memutuskan untuk memberikan nama pada gedung tersebut. Caranya? Dengan membentuk satu perusahaan baru yang akan menjadi milik mereka bersama. Eco Paper. Setelah itu, di mata rekan bisnis mereka yang ada di Dubai, tidak ada lagi Inti Global, tidak ada lagi nama Cakrawala. Yang ada hanya Eco Paper.
“Tuan Radesh sudah sampai di kantor. Pak Yonathan baru saja mengirim pesan.” Calvin bersuara. Membuat konsentrasi Edric yang sedang membaca berita seputar Dubai pagi ini menjadi terbagi.
“Sepertinya orang-orang terlalu bersemangat pagi ini. Apa hanya aku saja yang masih ingin tinggal di apartemen dan tidur?”
“Ha-ha-ha. Bersemangatlah, brother! Malam ini kita akan ke club. Aku akan tutup mulut kalaupun kau akan mabuk!” Calvin membuat gesture mengunci bibirnya sebagai lambang dia berjanji tidak akan mengadu kepada orang tua Edric.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di pelataran gedung berlantai empat tersebut. Di Dubai yang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit, gedung ini memang terbilang kecil dan tidak seberapa. Namun jika ditanya soal nama dan omset, tidak perlu diragukan lagi. Mereka tidak kalah terkenal bila dibandingkan dengan perusahaan industri lokal lainnya.
Saat memasuki loby, Edric dan Calvin langsung disambut oleh direktur dan jajarannya. Tidak banyak, tapi cukup menggambarkan bahwa perusahaan ini sudah memiliki struktur yang lengkap meskipun hanya sebatas pelaksana. Semua keputusan dan approval masih ada di tangan Edric dan juga Calvin.
“Selamat datang Pak Edric dan Pak Calvin. Tuan Radesh sudah ada di lantai tiga.” Yonathan, si manajer bisnis menyapa tanpa basa-basi terlebih dahulu. Cukup paham bahwa Edric bukan tipe yang suka membuang-buang waktu. Lihat lah, yang tersenyum hanya Calvin.
Mereka naik lift selama sekian detik menuju lantai tiga. Hanya sebentar, mereka sudah berada di depan sebuah ruang meeting. Saat Yonathan membuka pintu, yang bernama Radesh itu sudah ada di sana bersama seorang perempuan.
Apa … Edric tidak salah lihat?
Radesh dan perempuan itu spontan berdiri melihat orang yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Sama seperti Edric, gadis itu pun sempat menunjukkan ekspresi terkejutnya. Tapi tidak lama. Dia langsung bisa mengubah ekspresinya dalam hitungan detik.
“Halo, Tuan Radesh, terima kasih sudah bersedia menunggu.” Edric mengulurkan tangan ke arah Radesh dan disambut baik oleh pria berusia lima puluh itu.
“Ah, tidak jadi masalah. Senang bisa bertemu kembali dengan Pak Edric dan Pak Calvin.” Radesh tersenyum penuh arti. Setelah menyambut Calvin juga, laki-laki itu memperkenalkan seseorang yang berdiri di sampingnya.
“Hari ini, saya didampingi oleh Direktur Pemasaran Radesh Corp yang baru. Mulai sekarang, beliau lah yang akan berhubungan dengan bapak-bapak sekalian perihal kerja sama kita ke depannya. Perkenalkan, Nona Zura Taniskha Wijaya.”
Edric meneguk ludahnya sambil menatap lurus ke dalam manik hitam legam milik wanita yang berdiri di seberang meja. Apakah ini mimpi? Setelah empat tahun mencari ke seluruh pelosok Indonesia dan tidak ada hasilnya, kenapa mereka justru bertemu di tempat ini?
*****
Zura … Taniskha … Wijaya. Mengapa Edric tidak bisa merasakan apa pun saat mendengar nama gadis itu? Hatinya seperti sudah kebas dihantam rasa rindu dan kesepian. Lagian, benarkah ini Zura yang pernah dia kenal? Mereka seperti dua orang yang berbeda. Zura yang Edric kenal adalah gadis berusia dua puluh tahun, anak kuliah yang lugu dan polos. Sementara, Zura yang ini dari penampilannya saja sudah berbeda. Dia begitu elegan dengan balutan blazernya. Hanya melihat sekilas saja Edric tahu betul, setelan kantor itu berasal dari brand ternama dan mahal. Belum lagi riasan wajah serta tatanan rambut yang membuat wanita itu terlihat jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Bukankah seharusnya dia baru dua puluh lima tahun? What’s going on here? Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah dia lewatkan? Edric masih terpaku di tempatnya sambil tidak berhenti menatap wanita itu. “Brother!” Calvin menyikut lengannya. Alhasil itu membuat Radesh tertawa kecil. Edric sendiri
“Brother!” Seruan Calvin serta sikutan sang sepupu di lengannya membuat kesadaran Edric kembali. Pria berkulit putih itu tersentak kecil dan langsung salah tingkah menyadari sekarang Zura dan Radesh sedang melihat ke arahnya.“Kau ingin menambahkan sesuatu?” ujar Calvin lagi, kini dengan anda yang sudah merendah. Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Calvin tau Edric akan mengatakan tidak. Dia sangat tau jika sang sepupu tidak fokus dengan rapat mereka sejak tadi. Seandainya bisa, Calvin ingin sekali mengguyur kepala Edric dengan air es yang ada di dalam gelasnya demi mengembalikan kesadaran laki-laki itu.“Ah, tidak. Tidak ada.” Edric menjawab sambil tersenyum tipis. Kan? Dugaan Calvin benar.“Jadi Pak Edric sepakat ya dengan usulan Ibu Zura tadi?” Berbeda dengan Radesh yang sepertinya masih ingin memastikan Edric benar-benar memahami isi meeting mereka. Siapa juga yang tidak sadar jika sedari tadi pria itu seperti terp
Calvin menghela napas lega saat melihat Edric akhirnya muncul dari lift VIP yang baru saja terbuka. Pria itu nyaris kehabisan bahan obrolan dengan Radesh. Namun dia tidak mendapati Zura berjalan bersama Ed. Calvin langsung memahami jika percakapan mereka tidak berjalan dengan baik.“Maaf membuat Pak Radesh menunggu lama.” Edric menghampiri mereka sambil menyampaikan permintaan maafnya.“Tidak apa-apa, Pak Edric. Saya dan Pak Calvin juga sedang asik mengobrol.” Radesh menyahut dengan ramah. “Ah, Ibu Zura-nya ke mana?”“Sedang ke toilet dulu, Pak. Mungkin sebentar lagi akan turun.” Edric hanya mengarang. Hanya kebetulan karena Zura juga tidak ada di sini. Besar kemungkinan gadis itu singgah ke toilet untuk memperbaiki penampilannya.“Ohh,” gumam Radesh. “Ah ya, Pak Edric, tadi saya dan Pak Calvin sudah merencanakan dinner bersama, entah besok malam atau lusa. Semoga Pak Edric tidak keberatan.
Zura sedari tadi hanya berdiam diri di tengah tiga orang pria yang sedang sibuk membahas trading dan saham. Dia sebagai pendengar mulai bosan karena Radesh kelihatannya sangat nyaman dengan Calvin dan Edric. Zura berniat untuk mencari angin sejenak di luar gedung. Seingatnya, di bagian belakang stage vvip ini ada pintu yang mengarah ke balkon gedung. Dia kemudian berbisik kepada Radesh untuk permisi dan pria itu mengangguk sebagai tanda mengizinkan.Melihat Zura yang bangkit berdiri, perhatian Edric langsung terbagi dari Calvin yang sedang berbicara ‘Mau ke mana dia?’ Batin Edric penasaran.“Ibu Zura mau ke mana?” Mulutnya refleks terbuka dan melontarkan pertanyaan konyol itu. Namun, sedetik kemudian, dia langsung menyadarinya dan mengutuk dirinya. Sebegitu tidak inginnya dia Zura pergi. Ke manapun itu.“Dia ingin mencari angin.” Radesh yang menjawab karena Zura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu seperti tida
Zura merasakan jantungnya berdenyut lebih kencang mendengar bisikan Edric yang begitu persis di telinganya. Dia menegakkan kembali punggungnya dengan tempo yang wajar, karena Calvin masih menunggu jawaban atas pertanyaannya : 'Dia (Edric) bilang apa?'"Dia hanya mengigau dan dia sudah tertidur," jawab Zura. Berusaha membuat Calvin tidak khawatir. Kenyataannya memang Edric terlihat kembali tenang setelah bisikan terakhirnya.Sial. Dia tidur tenang, aku yang berdebar. Zura mengumpat dalam dirinya sendiri. Dibuangnya pandang ke arah jendela mobil. Debar-debar di dalam dadanya sekarang ini persis seperti debaran saat pertama kali Edric sering menggodanya di kantor dulu. Saat sang bos mulai menunjukkan perhatian lebih yang tidak pernah dia duga.Hufffff. Semakin sesak dadanya mengingat hal tersebut. Karena pikiran Zura sudah langsung melompat ke satu tahun setelahnya. Saat Edric tiba-tiba membuangnya karena sebuah perjodohan.Kedua mata Zura tidak dapat berboh
Meja berisi empat orang itu sejenak hening kala Edric baru saja membeberkan satu menu nasi padang secara rinci dengan sekali tarikan napas. Itu adalah menu kesukaan Zura yang baru saja ingin disebutkan Radesh juga. Alhasil Edric langsung sadar bahwa dia sudah melakukan sebuah kesalahan. Lagi. "Wah, bagaimana Pak Edric bisa tau? Benar loh, Ibu Zura sangat suka dengan menu yang Pak Edric barusan jabarkan." Kedua mata Radesh membesar bersamaan dengan senyum yang merekah di wajahnya. Menutupi kecurigaan yang sebenarnya semakin besar melihat terlalu banyak kejanggalan di sini. Apakah Zura dan Edric memang mempunyai masa lalu? Kalau iya, bukankah itu sangat kebetulan ketika mereka kembali bertemu di Dubai sebagai partner bisnis? Sebuah kebetulan yang hanya akan terjadi satu di antara seribu kisah cinta. "Ah ...." Edric menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mampus lah. Sekarang harus bilang apa coba? Apalagi gadis di hadapannya itu kini melihatnya dengan tatapan data
Zura menatap pantulan dirinya di sebuah cermin besar yang ada di kamar mandi apartemen miliknya. Tubuhnya polos tanpa mengenakan sehelai benang pun. Wanita itu mematut lekuk tubuhnya yang begitu indah. Jangankan lawan jenis, dia sendiri saja sangat mengagumi kesempurnaan yang dia miliki. Bukan kah dulu pun Edric betah padanya gara-gara ini? Dada yang bulat dan penuh berisi, perut yang rata, lekuk pinggang yang seksi, serta bokong yang proporsional. Masih sangat jelas dalam ingatannya bagaimana Edric selalu memekik penuh nafsu ketika bokongnya bergerak-gerak di atas benda tumpul yang berada di tengah-tengah paha pria itu. Zura menelan ludahnya tanpa ekspresi. Dia adalah makhluk paling menyedihkan di dunia. See? Sekuat apapun dia mencoba untuk mengenyahkan Edric dari dalam pikirannya, dia tidak bisa. Sejak mereka bertemu kemarin pagi, hingga hari ini, terlalu banyak hal yang membuat jantung Zura bagai diremas tangan tak kasat mata. Sebenarnya dia begitu rapuh di dalam,
Baik Edric maupun Zura, mereka berdua sama-sama tersentak dari sofanya masing-masing. Edric shock lantaran pesan yang dia kirim dalam sekejap mendapat tanda centang biru dan di belahan lain kota ini, Zura pun kaget karena tangannya begitu latah langsung membuka satu buah pesan yang baru masuk dari nomor baru. Apesnya lagi, setelah dia baca, sepertinya itu dari Edric. 'Sorry for tonight. Just want to show that i miss you that bad.' Zura membaca pesan itu berulang-ulang. Perasaannya kembali campur aduk. Antara senang sekaligus tidak nyaman. Di satu sisi dia tersanjung Edric mempunyai kontaknya yang sekarang. Dia juga menyukai sikap gentle pria itu yang meminta maaf akibat ulahnya tadi. Edric banget memang. Namun di sisi lain, ini menakutkan. Ini sama sekali tidak sejalan dengan prinsip dan misinya. Mencegah terjadi sesuatu yang lebih jauh, Zura menonaktifkan ponselnya lalu naik ke atas kasur, walau pikirannya dipenuhi oleh Edric. Aroma parfum laki-laki it