Meeting online Edric mendadak diinterupsi oleh sang asisten pribadi, Hendry. Pria itu terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Kenapa Hendry berani masuk ke dalam ruangannya di saat dia sedang meeting dengan orang penting? Ada hal urgent apa?
“Excuse me, Sir. Give me three minutes.” Edric kemudian memberi kode kepada lawan bicaranya di depan layar sambil menonaktifkan fitur microphone-nya sebentar.
“Ada apa, Hen? Kamu tau saya sedang meeting.”
“Pak, saya baru mendapat kabar kalau nomor ID kemahasiswaan nona Zura sudah tidak aktif.”
“What?” Edric berdiri dari kursinya. Refleks. “Maksudnya bagaimana?”
“Sepertinya nona Zura sudah berhenti kuliah, Pak.” Hendry menjawab dengan mantap. Namun jantungnya kini berdetak cepat karena sudah memprediksi reaksi sang bos setelah ini. Benar saja. Raut wajah Edric berubah secepat saat kita akan memekik jika tidak sengaja menyentuh permukaan wajan yang masih panas. Kata-kata Hendry seperti petir di siang bolong baginya.
“Cari informasi yang valid, Hen!”
“Ini sudah konfirmasi langsung ke kampusnya, Pak. Jadi, tadi saya berencana ingin membayar uang kuliah nona untuk semester depan, tapi gagal terus. Saat menelepon ke bagian administrasi, dapat info demikian.”
Edric mengusap wajahnya dan mondar-mandir di depan laptop. Tiga menit yang dia janjikan tidak terasa hampir habis sementara isi kepalanya sudah buyar dan kacau.
“Kamu sudah lacak GPS handphone-nya?”
“Sudah, Pak. Sinyalnya mati. Sepertinya nona juga sudah tidak memakai ponsel yang Pak Edric berikan.”
Seluruh udara di dalam paru-paru Edric seperti habis tak bersisa. Dia sama sekali tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. Dia terlalu percaya diri akan tetap bisa mengikat Zura dengan caranya sendiri, yaitu dengan mewujudkan mimpi gadis itu kembali melanjutkan kuliah.
Edric kembali duduk di kursi. Kursi yang lain. Tangannya menyugar rambut hitam dan lebatnya ke belakang. Tubuhnya sedikit gemetar membayangkan Zura benar-benar pergi. Sekalipun mereka sudah tidak bertemu selama delapan bulan lebih, Edric masih merasa aman karena dia selalu mengawasi Zura. Dia merasa gadis itu akan selalu berada dalam jangkauannya. Namun kenyataannya?
Apa yang terjadi sekarang? Ke mana gadis itu pergi? Kenapa dia malah memutuskan perkuliahan yang menjadi mimpinya sejak dulu? Sebanyak apapun Edric memasok udara ke dalam paru-parunya, rasanya masih tetap sesak dan membuatnya tidak nyaman.
Di mana kau Zura Taniskha Wijaya?
*****
Edric menghentikan virtual meeting-nya begitu saja. Menyuruh Hendry segera mempersiapkan mobil karena dia harus memastikan keberadaan Zura. Dia harus mendatangi kampus swasta dimana dia mendaftarkan gadis itu beberapa bulan yang lalu. Berani-beraninya dia menghilang begitu saja!
Hendry yang sudah menduga ini akan terjadi, tentu saja sudah mempersiapkan sopir di loby utama. Sehingga, saat Edric memberi komando, mereka bisa langsung berangkat tanpa harus membuang waktu untuk menunggu. Si bos sudah terlihat kalut dan tidak tenang. Sepanjang perjalanan menuju Kampus X, Edric hanya diam sambil menatap ke luar jendela dengan tangan yang menopang dagu.
“Pak, kita sudah sampai.” Edric tersentak saat Hendry bersuara dari depan. Laki-laki itu membuang napas sembari menegakkan tubuh. Hendry turun dan membukakan pintu untuknya. Setelah itu, mereka berjalan memasuki gedung rektorat kampus. Pihak yang ingin mereka temui sepertinya sudah bersiap, karena Hendry sudah menghubungi mereka sesaat sebelum berangkat tadi. Itu lah pekerjaannya. Jika tidak, Edric pasti akan kesal karena harus menunggu.
“Selamat siang, Bapak Edric. Silakan duduk, Pak.” Bahkan sekelas rektor rela mengosongkan jadwal demi mereka. Pria berambut putih bernama Subianto itu ikut duduk setelah bokong Edric dan Hendry menyentuh permukaan sofa di hadapannya.
“Mohon maaf sudah mengganggu kesibukan Pak Subianto. Mungkin ini terlalu mendadak, tapi ada unsur urgensinya. Jadi kita terpaksa buru-buru ke sini.” Edric memulai dengan sopan.
“Tidak-tidak. Saya kebetulan sedang tidak ada jadwal penting. Malahan sepertinya Pak Edric lah yang sedang sibuk, tapi harus memaksakan diri datang ke sini. Semoga saya bisa membantu, Pak.”
Edric tersenyum kecil. “Saya ingin menanyakan status kemahasiswaan gadis yang saya bawa ke sini waktu dulu, Pak. Saya mendapat kabar bahwa dia sudah tidak melanjutkan perkuliahannya. Apakah benar demikian?”
Subianto terlihat berpikir. Karena memang Edric hanya datang satu kali ke tempat ini, pria paruh baya itu langsung mengingatnya. Gadis belia yang sempat putus kuliah dan disekolahkan kembali oleh Edric yang mengaku sebagai walinya.
“Hm ... bisa saya cek sebentar ke bagian kemahasiswaan?” Subianto jelas tidak mungkin mengawasi gadis itu karena pekerjaanya sebagai seorang Rektor tidaklah sedikit. Waktu itu Edric memang menitipkan gadis itu kepadanya. Namun Subianto tau itu hanya sebuah bentuk basa-basi dalam menutup pertemuan. Dia sangat yakin bahwa Edric memahami jadwalnya yang padat.
Sejenak Subianto berbincang di telepon. Hampir lima menit lamanya dia bertanya ini dan itu agar informasi yang dia sampaikan ke Edric tidak setengah-setengah. Kemudian, dia meletakkan kembali gagang telepon dan berdehem kecil.
“Jadi, dua bulan yang lalu, setelah ujian semester selesai, nona Zura memang mengajukan pengunduran diri secara resmi ke Universitas, Pak. Saya sudah meminta seseorang untuk membawakan surat asli pengunduran dirinya kemari, agar kita bisa membaca alasan yang bersangkutan ingin berhenti kuliah.”
Edric menghela napasnya. Tadinya, dia masih berharap Hendry keliru sehingga ingin memastikannya sendiri ke sini. Namun penjelasan Subianto membuat hatinya mencelos karena membenarkan informasi dari sang anak buah.
Diamnya Edric membuat dua orang lainnya ikut membisu. Mereka serba salah. Untungnya pihak yang ditugaskan Subianto untuk membawakan berkas-berkas Zura segera datang dan memecahkan keheningan di dalam ruangan. Setelah map itu ada di tangan Subianto, dia langsung memberinya kepada Edric.
“Saya rasa Pak Edric juga ingin melihat hasil perkuliahan nona Zura selama satu semester berkuliah di sini,” kataya sebagai alasan. Padahal pria itu hanya tidak mengerti apa yang diinginkan Edric secara spesifik. Lebih baik anak muda itu yang mencari jawabannya sendiri.
Edric menerima map database tentang Zura Taniskha Wijaya. Di sana ada berkas data diri Zura saat pendaftaran, ada transkip nilai selama satu semester dan tentunya surat pengunduran diri yang dimaksud Subianto. Edric sempat tersenyum kecil melihat nilai-nilai Zura yang sangat baik. Ternyata dia memang cerdas. Nilai ujian semesternya dipenuhi A dan B. Sama sekali tidak ada C. Edric sangat bangga kepadanya.
Namun senyum Edric langsung memudar setelah jari-jarinya sampai di lembaran terakhir. Surat pengunduran diri Zura. Edric membacanya dengan hati-hati. Begitu ingin tau mengapa gadis itu harus mengubur mimpinya menjadi seorang tenaga pendidik.
‘Adapun surat pengunduran ini saya buat dikarenakan saya harus ikut wali pindah domisili ke kota XX.’
Edric mengerutkan keningnya membaca satu paragraf yang menjelaskan alasan singkat Zura berhenti kuliah. Pindah domisili? Wali? Bukankah ibunya sudah meninggal? Bagaimana mungkin dia bisa pindah sendiri?? Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Menggeleng pertanda tidak percaya akan apa yang tertulis di lembaran tersebut.
“Jadi dia sudah dua bulan meninggalkan kampus ini, namun tidak ada satu orang pun yang memberi tahu saya?”
Subianto terdiam sejenak. Dia melihat ada sorot kekecewaan yang diarahkan Edric kepadanya. Pria tua itu cukup memahami jika Zura adalah orang yang sangat penting bagi Edric. Jika tidak, mana mungkin seorang putera keluarga Louis sampai turun tangan mengantarnya ke kampus seperti dulu? Edric bisa saja menyuruh orang kepercayaanya jika Zura hanyalah ‘kerabat’ biasa.
“Maafkan kami, Pak. Kami lalai dalam menangani ini.”
Ucapan permintaan maaf Subianto itu pun sukses menampar Edric. Kesadarannya yang hilang karena terlalu tenggelam dalam kepanikan akhirnya kembali. Sungguh tidak pantas dia melontarkan pertanyaan yang menyudutkan seperti tadi. Sampai-sampai orang yang lebih tua darinya meminta maaf atas sesuatu yang sebenarnya bersifat pribadi.
Kunjungan kampus tersebut akhirnya disudahi dengan permintaan maaf yang sebesar-besarnya oleh Edric kepada Subianto karena sudah merepotkan beliau. Edric juga memberikan buah tangan yang biasanya selalu ready di mobil untuk diberikan kepada rekan kerja dan juga kerabat yang dia kunjungi setiap hari. Sebuah jam tangan dari brand mahal yang sudah pasti cukup untuk membayar waktu berharga seorang rektor besar universitas.
Setelah keluar dari ruangan Subianto, Edric menyerahkan lembaran itu kepada Hendry dan meminta pria itu menganalisanya.
“Cari ke mana dia pindah!” perintahnya sambil berjalan cepat menuju parkiran.
*****
Pencarian akan Zura ternyata menjadi sebuah misi yang membuat produktifitas Edric di perusahaan menjadi sedikit terganggu. Dia dan Hendry sibuk mendatangi rumah orang-orang yang dianggap mengenal dan dikenal Zura di masa lalu. Mereka ke rumah orang tua Zura yang dulu dan juga ke apartemen yang diberikan Edric untuknya. Keluar masuk sana sini namun tidak ada yang bisa memberikan petunjuk yang berarti.Edric malahan semakin dibuat bingung dengan adanya saksi yang mengatakan bahwa sebelum Zura meninggalkan apartemen, gadis itu sering membawa laki-laki masuk ke dalam apatemennya. Tak pelak perasaan Edric bagai dihantam batu seberat 1 ton. Apakah Zura berselingkuh?Dan saat pertanyaan konyol itu muncul dalam benaknya, Edric seketika tersenyum miring. Selingkuh? Bukankah Edric sendiri yang menyudahi hubungan mereka?*****Bulan berganti tahun. Edric tetap menjalani kehidupannya yang sedikit banyak sangat terpengaruh atas keperg
Dubai … dua hari kemudian. Edric dan Calvin sudah tiba di apartemen yang menjadi peninggalan buyut mereka, Louis. Dulu, apartemen yang berada di kawasan Marina Dubai itu dihadiahkan Louis kepada sang cucu sebagai hadiah pernikahan, yaitu Dominic. Sempat ingin menolak, namun akhirnya Dominic menerima pemberian mahal ini. Siapa sangka, sepertinya sang kakek memang sudah mempersiapkan semuanya, karena beberapa bulan kemudian, Dominic dan Brandon berhasil menandatangani sebuah kerja sama bisnis dengan salah seorang pengusaha berdarah Indonesia di Dubai. Jadi, apartemen ini benar-benar bermanfaat setiap kali mereka ada kunjungan ke sini. “Brother, sudah selesai belum? Jangan sampai tuan Radesh menunggu kita.” Calvin yang baru saja selesai mandi dan beberes terdengar memanggil Edric yang berada di kamar utama. Sesaat kemudian orang yang dipanggil keluar dengan penampilan yang sudah rapi, layaknya akan bertemu dengan rekan bisnis. “Hahhh, seharusnya kita tid
Zura … Taniskha … Wijaya. Mengapa Edric tidak bisa merasakan apa pun saat mendengar nama gadis itu? Hatinya seperti sudah kebas dihantam rasa rindu dan kesepian. Lagian, benarkah ini Zura yang pernah dia kenal? Mereka seperti dua orang yang berbeda. Zura yang Edric kenal adalah gadis berusia dua puluh tahun, anak kuliah yang lugu dan polos. Sementara, Zura yang ini dari penampilannya saja sudah berbeda. Dia begitu elegan dengan balutan blazernya. Hanya melihat sekilas saja Edric tahu betul, setelan kantor itu berasal dari brand ternama dan mahal. Belum lagi riasan wajah serta tatanan rambut yang membuat wanita itu terlihat jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Bukankah seharusnya dia baru dua puluh lima tahun? What’s going on here? Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah dia lewatkan? Edric masih terpaku di tempatnya sambil tidak berhenti menatap wanita itu. “Brother!” Calvin menyikut lengannya. Alhasil itu membuat Radesh tertawa kecil. Edric sendiri
“Brother!” Seruan Calvin serta sikutan sang sepupu di lengannya membuat kesadaran Edric kembali. Pria berkulit putih itu tersentak kecil dan langsung salah tingkah menyadari sekarang Zura dan Radesh sedang melihat ke arahnya.“Kau ingin menambahkan sesuatu?” ujar Calvin lagi, kini dengan anda yang sudah merendah. Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Calvin tau Edric akan mengatakan tidak. Dia sangat tau jika sang sepupu tidak fokus dengan rapat mereka sejak tadi. Seandainya bisa, Calvin ingin sekali mengguyur kepala Edric dengan air es yang ada di dalam gelasnya demi mengembalikan kesadaran laki-laki itu.“Ah, tidak. Tidak ada.” Edric menjawab sambil tersenyum tipis. Kan? Dugaan Calvin benar.“Jadi Pak Edric sepakat ya dengan usulan Ibu Zura tadi?” Berbeda dengan Radesh yang sepertinya masih ingin memastikan Edric benar-benar memahami isi meeting mereka. Siapa juga yang tidak sadar jika sedari tadi pria itu seperti terp
Calvin menghela napas lega saat melihat Edric akhirnya muncul dari lift VIP yang baru saja terbuka. Pria itu nyaris kehabisan bahan obrolan dengan Radesh. Namun dia tidak mendapati Zura berjalan bersama Ed. Calvin langsung memahami jika percakapan mereka tidak berjalan dengan baik.“Maaf membuat Pak Radesh menunggu lama.” Edric menghampiri mereka sambil menyampaikan permintaan maafnya.“Tidak apa-apa, Pak Edric. Saya dan Pak Calvin juga sedang asik mengobrol.” Radesh menyahut dengan ramah. “Ah, Ibu Zura-nya ke mana?”“Sedang ke toilet dulu, Pak. Mungkin sebentar lagi akan turun.” Edric hanya mengarang. Hanya kebetulan karena Zura juga tidak ada di sini. Besar kemungkinan gadis itu singgah ke toilet untuk memperbaiki penampilannya.“Ohh,” gumam Radesh. “Ah ya, Pak Edric, tadi saya dan Pak Calvin sudah merencanakan dinner bersama, entah besok malam atau lusa. Semoga Pak Edric tidak keberatan.
Zura sedari tadi hanya berdiam diri di tengah tiga orang pria yang sedang sibuk membahas trading dan saham. Dia sebagai pendengar mulai bosan karena Radesh kelihatannya sangat nyaman dengan Calvin dan Edric. Zura berniat untuk mencari angin sejenak di luar gedung. Seingatnya, di bagian belakang stage vvip ini ada pintu yang mengarah ke balkon gedung. Dia kemudian berbisik kepada Radesh untuk permisi dan pria itu mengangguk sebagai tanda mengizinkan.Melihat Zura yang bangkit berdiri, perhatian Edric langsung terbagi dari Calvin yang sedang berbicara ‘Mau ke mana dia?’ Batin Edric penasaran.“Ibu Zura mau ke mana?” Mulutnya refleks terbuka dan melontarkan pertanyaan konyol itu. Namun, sedetik kemudian, dia langsung menyadarinya dan mengutuk dirinya. Sebegitu tidak inginnya dia Zura pergi. Ke manapun itu.“Dia ingin mencari angin.” Radesh yang menjawab karena Zura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu seperti tida
Zura merasakan jantungnya berdenyut lebih kencang mendengar bisikan Edric yang begitu persis di telinganya. Dia menegakkan kembali punggungnya dengan tempo yang wajar, karena Calvin masih menunggu jawaban atas pertanyaannya : 'Dia (Edric) bilang apa?'"Dia hanya mengigau dan dia sudah tertidur," jawab Zura. Berusaha membuat Calvin tidak khawatir. Kenyataannya memang Edric terlihat kembali tenang setelah bisikan terakhirnya.Sial. Dia tidur tenang, aku yang berdebar. Zura mengumpat dalam dirinya sendiri. Dibuangnya pandang ke arah jendela mobil. Debar-debar di dalam dadanya sekarang ini persis seperti debaran saat pertama kali Edric sering menggodanya di kantor dulu. Saat sang bos mulai menunjukkan perhatian lebih yang tidak pernah dia duga.Hufffff. Semakin sesak dadanya mengingat hal tersebut. Karena pikiran Zura sudah langsung melompat ke satu tahun setelahnya. Saat Edric tiba-tiba membuangnya karena sebuah perjodohan.Kedua mata Zura tidak dapat berboh
Meja berisi empat orang itu sejenak hening kala Edric baru saja membeberkan satu menu nasi padang secara rinci dengan sekali tarikan napas. Itu adalah menu kesukaan Zura yang baru saja ingin disebutkan Radesh juga. Alhasil Edric langsung sadar bahwa dia sudah melakukan sebuah kesalahan. Lagi. "Wah, bagaimana Pak Edric bisa tau? Benar loh, Ibu Zura sangat suka dengan menu yang Pak Edric barusan jabarkan." Kedua mata Radesh membesar bersamaan dengan senyum yang merekah di wajahnya. Menutupi kecurigaan yang sebenarnya semakin besar melihat terlalu banyak kejanggalan di sini. Apakah Zura dan Edric memang mempunyai masa lalu? Kalau iya, bukankah itu sangat kebetulan ketika mereka kembali bertemu di Dubai sebagai partner bisnis? Sebuah kebetulan yang hanya akan terjadi satu di antara seribu kisah cinta. "Ah ...." Edric menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mampus lah. Sekarang harus bilang apa coba? Apalagi gadis di hadapannya itu kini melihatnya dengan tatapan data