SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.
“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.“Pagi, Bi Siti.”“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”“Alhamdulillah, Neng, Bibi sehat. Nyariin Neng Sasi?”“Iya, Bi. Ada, kan?”“Neng Sasi lagi berjemur sama si Kembar di taman belakang. Neng Yura langsung masuk saja, ya? Bibi mau ke depan beli sabun sebentar, Neng.”“Oke, Bi. Hati-hati di jalan.”Sepeninggal Bi Siti, langkah Yura lantas terayun melewati ruang tamu. Perempuan itu mengedarkan matanya ke sekitar, samar sekali telinganya mendengar suara percakapan seseorang.Yura sempat mengerutkan keningnya saat suara samar itu terdengar familiar di telinganya. Ini jelas hanya halusinasi Yura, hanya karena sejak tadi perempuan itu memikirkan pria itu, tidak mungkin dia ada di rumah ini, kan?Yura mengerjapkan matanya, membuang jauh bayang-bayang Krisna dari pikirannya. Perempuan itu lantas melanjutkan langkahnya ke belakang taman, bersamaan dengan Sasi yang menoleh ke arahnya.“Ra, barusan banget sampai?”Yura melangkah mendekati Sasi yang saat ini tengah duduk di salah satu bangku yang ada di taman. Perempuan itu tengah berjemur bersama kedua bayinya. Kanaka dan Kanaya yang baru berusia tiga bulan itu, terlihat begitu menggemaskan. “Hm-mm. Gue sempat dengar di depan suara orang ngobrol. Ada tamu?”Sasi melebarkan senyumannya, lalu meminta Yura untuk duduk di sampingnya. “Mau minum apa? Gue ambilin dulu.”“Nggak usah, Sas. Gue nggak lama, kok.”“Nggak lama gimana? Lo nggak ngehargain Bi Siti, ya. Bibi udah masak besar pagi ini, gara-gara gue bilang kalau lo mau ke sini.”“Lebay! Gue datang ke sini cuma mau ambil dokumen doang, ya, bukan mau minta sarapan.”“Tapi lo pasti belum sarapan, kan?”Yura menghela napas pelan, lalu melirik ke arah Kanaka dan Kanaya yang tampak tertidur pulas di bawah hangatnya sinar matahari.“Sas…”“Hm?”“Gue nggak jadi ambil beasiswa ke Sydney.”Sasi mengerutkan keningnya, terheran. “Kenapa? Bukannya udah lama banget lo pengen ngejar impian lo? Le Cordon Bleu bukan sekolah yang main-main lho, Ra. Lo yakin mau melepaskan kesempatan ini begitu saja?”“Tadinya gue kepikiran begitu. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, gue nggak mungkin ninggalin nyokap sendirian. Lo tau kan, semenjak bokap sama nyokap gue cerai, kondisi kesehatan nyokap gue mengkhawatirkan. Gue nggak mau ngejar impian yang justru malah berpotensi bikin nyokap gue kesepian apalagi sampai sakit-sakitan.”“Gue sih, apapun keputusan lo, gue bakalan tetap dukung lo, Ra. Tapi kalau dipikir-pikir juga, kasihan kalau lo ninggalin Tante Wulan sendirian, kan?”“Makanya, Sas.” Yura lantas melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. “Buruan ambilin dokumennya, keburu macet, nih.”“Sarapan dulu, Ra. Lo—”Belum Sasi melanjutkan ucapannya, suara seseorang yang terdengar membuat kedua perempuan itu menoleh ke arah suara.“Sayang…”“Mas?”“Lho, ada Yura di sini?” Mahesa melangkah dengan satu kruk di tangannya. Lalu keterkejutan Yura tidak bisa terhindarkan saat matanya menangkap sosok Krisna di samping Mahesa.“Eh, ada calon istri masa depan,” sahut Krisna dengan entengnya.“Kalian udah kayak jodoh tak terduga gini, ya?” Celetukan Mahesa membuyarkan keterkejutan Yura. Perempuan itu lantas melotot ke arah suami sahabatnya itu, lalu mendengus pelan.“Apaan sih, Mas, bilang jodoh-jodoh segala. Situ Tuhan?”Sementara Sasi terkekeh. “Kalian kapan nikah, sih?”Yura memutar matanya. Dia memang belum sempat menceritakan kejadian di Bali minggu lalu dengan Sasi lantaran kesibukannya yang mengambil alih.“Lo ngebet banget kayaknya comblangin gue sama dia, ya?” “Bentar lagi aku lamar orangnya, Sas. Doain diterima, ya?” jawab Krisna diiringi dengan senyuman tengilnya.“Apaan sih, Kris, receh lo!”“Buruan seriusin dong, Mas. Mas nggak mau punya yang lucu-lucu kayak mereka itu?” tunjuk Sasi ke arah Kanaka dan Kanaya.“Maunya juga gitu, Sas. Tapi Yura-nya belum mau diseriusin, coba?” ujar Krisna sembari melirik ke arah Yura.“Tampol mau, Kris?” sembur Yura kesal.“Disayang aja gimana sih, Ra?” Sementara Sasi hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. “Dasar kucing sama tikus. Sarapan dulu yuk, Mas, Ra. Bi Siti udah masak spesial nih buat kalian berdua.”“Emang indomie pakai spesial segala?” ujar Yura sembari bersungut-sungut.Sasi membiarkan kedua babysitter-nya mengambil alih Kanaka dan Kanaya. Sementara mereka melangkah menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama.Dengan langkah gontai, Yura melangkah menuju ke meja makan. Dari sekian tempat yang ada di muka bumi ini, entah mengapa selalu ada Krisna yang tidak sengaja dipertemukan dengannya.Kenapa bukan Refal Hady? Atau Ji Chang Wook? Barangkali Yura akan senang bertemu dengan mereka katimbang harus bertemu dengan Krisna di sini.“Ra, kalau tahu kamu bakalan ke sini, tau gitu tadi aku nebeng.”“Ck! Emang tampang gue udah kayak taksi online?”“Jangan ketus-ketus sama Mas Krisna dong, Ra, lo lupa ya, benci dan cinta itu bedanya cuma setipis kain lingerie.”“Gue nggak tahu setipis apa kain lingerie, jadi nggak bisa membandingkan.”“Besok kalau lo nikah sama Mas Krisna, gue kadoin lingerie, deh. Mau warna apa? Atau… cosplay apa? Cat Woman? Sailormoon? Atau Doraemon?”“Nggak lucu bercanda lo, Sas.”Sasi tergelak. Mereka sudah duduk di meja makan dan mulai menikmati nasi goreng sembari mengobrolkan hal ringan. Meskipun kesal, Yura tetap masih mau menanggapi obrolan mereka. Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh lebih sedikit, keduanya akhirnya berpamitan.“Gue berangkat dulu, ya?” ujar Yura saat setelah menerima berkas dari Yura.“Mas Krisna jangan ditinggal tuh, kasihan dia datang ke sini naik taksi tadi. Masa lo tega ninggalin dia sih, Ra.”“Dia udah gede, Sasi. Kenapa gue mesti repot ngurusin dia, sih?”“Kalian kan searah. Udah buruan.” Sasi meraih kunci mobil Yura, lalu mengangsurkannya kepada Krisna. “Naik mobilnya pelan-pelan aja ya, Mas.”“Oke, Sas. Thank you, ya.”“Dasar modus!”Usai berpamitan, Yura terpaksa naik ke kursi penumpang saat kursi kemudinya kini diambil alih oleh Krisna. Tak lama setelahnya, mobil itu melaju meninggalkan kediaman Mahesa dan mulai membelah jalanan utama.Sepanjang perjalanan mobil itu melaju, Yura memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela. Membiarkan Krisna fokus dengan jalan yang ada di depan sana, mengingat bahwa pagi itu jalan yang dilalui mereka terlihat padat.“Ra…”“Hm?”“Apa kabar?” tanya Krisna tak terduga.“Baik. Kenapa tanya-tanya, sih?”“Kamu nggak tanya kabarku?”“Nggak.”Krisna menerbitkan senyumannya. “Padahal aku kangen sama kamu.”“Gue nggak. Udah deh, nggak usah pakai bilang kangen segala. Mending lo fokus ke depan, deh. Gue mau pergi ke kantor, bukan ke rumah sakit!”Krisna tersenyum. Saat fokusnya kembali tertuju ke depan, ponselnya yang menyala sejenak mengalihkan perhatian Krisna.Pria itu sempat melirik sekilas pesan yang baru saja diterimanya dari Maura.[Mama: Bang, weekend ini pulang, kan? Acara pertunangannya Steven dan Awan bakalan diadakan di rumah. Steven minta Abang pulang.]Tidak pernah terpikirkan dalam benak Krisna, setelah dua tahun dia berusaha mati-matian mengubur kenangannya bersama sang mantan, tapi rupanya takdir justru mempertemukan mereka kembali.“Kris, awas!” Suara teguran Yura sontak membuat Krisna menginjak pedal rem dalam-dalam. Seketika rasa bersalah hadir, jantung Krisna mendadak berdebar kencang.“Maaf, Ra. Maaf.”“Lo ngalamun? Lo mau celakain gue beneran?”Krisna meraup wajahnya dengan gusar sembari menggumamkan maaf berulang-ulang. “Lagi mikirin apa, sih?”“Nggak ada, Ra. Maaf, aku nggak sengaja.”Suasana kembali hening. Setelah memastikan jalanan yang di hadapannya lengang, Krisna mulai menginjak pedal dengan perlahan. Kali ini dia memilih untuk fokus dengan kemudinya.Begitu mobil yang dikendarai mereka berbelok menuju pelataran parkir gedung Pandora Media Utama, Krisna menoleh ke arah Yura dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.“Kenapa?” tanya Yura saat menyadari ada hal yang ingin dikatakan Krisna kepadanya.“Mau nggak nemenin aku ke acara keluarga sabtu besok?”***“Mau, kan, nemenin aku ke acara keluarga?”Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Yura memutuskan untuk menjawab. Di antara semua sikap yang pernah ditunjukkan Krisna, baru kali ini Yura melihat mata kelam Krisna memancar ke arahnya.Pria itu mendesah frustasi, wajahnya tertunduk seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya, tapi tidak berhasil diungkapkan olehnya. “Aku pernah gagal bertunangan dengan seseorang. Semuanya sudah siap, tapi aku pernah mengacaukan segalanya dan membuat mereka kecewa,” aku Krisna. “Dan aku nggak mau bikin mereka kecewa untuk kedua kalinya, Ra.”“Lo nggak mungkin ngenalin gue sebagai cewek lo atau calon istri lo, kan?” tembak Yura tidak menyetujui ide Krisna.“Kalau itu bisa membantu, kenapa nggak?”Yura memutar matanya sembari berdecak. “Lo nggak mungkin bohong sama mereka kan, Kris? Bukannya mereka akan jauh lebih kecewa kalau lo bohong sama mereka?”“Kalau begitu nggak usah bohong sama mereka.”Sementara Yura hanya mendecak.“Niat awalnya kan memang pengen
“Ra, ada tamu di bawah, tuh.”Suara ketukan dari luar kamarnya, sejenak mengalihkan perhatian Yura yang sejak tadi sibuk menatap dirinya di depan layar kaca. Wulan—Mama Yura, tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap.“Siapa, Ma?”“Nak Krisna.” Wulan lantas melangkah mendekati Yura, lalu duduk di tepian ranjang tidurnya dengan matanya yang tak lepas dari menatap putri semata wayangnya.“Biar aja nunggu sebentar, Ma. Aku bentar lagi selesai, kok.”“Mama udah lama banget nggak ketemu sama dia. Mama pikir… kamu udah nggak sama dia lagi.”“Aku sama Krisna memang cuma temenan doang, Ma. Mama ngarepin apa, sih?”Wulan tersenyum. “Apa kamu nggak pengen nikah juga, Ra? Mau sampai kapan kamu sendiri terus, hm? Bahkan Sasi udah punya anak, kan?”“Aku nggak sendiri, kok. Kan ada Mama di sini yang bakalan nemenin aku,” jawab Yura tanpa memalingkan wajahnya dari depan kaca.“Mama serius, Ra. Mama nggak tenang kalau kamu masih sendiri begini. Emang kamu nggak tertarik sa
Dengan diselimuti rasa gugupnya, Krisna mengayunkan langkahnya melewati pintu depan rumah itu. Tangannya yang kini tengah menggenggam tangan Yura, membawa perempuan itu masuk lebih dalam hingga langkah mereka terhenti tepat di samping taman.Samar sekali Krisna mendengar suara seseorang yang tengah berbicara di sana. Matanya lurus ke depan, sementara Yura yang kini berdiri di sampingnya, bisa merasakan genggaman tangan Krisna semakin erat.“Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh keluarga besar saya yang sudah menyiapkan acara pertunangan ini.” Sayup-sayup suara Steven terdengar. “Dan di hadapan semua orang yang ada di sini…”Jeda sesaat, tatapan Steven kini teralihkan pada sosok perempuan yang tengah berdiri di sampingnya. “Rembulan Nawang Maninggar, will you marry me?”“Terima! Terima! Terima!” Suara gemuruh semua orang membuat suasana berubah menjadi riuh. “Will you spend the rest of your life with me?”Lalu anggukan samar dari perempuan itu mengubah suasana yan
“Abang!”Suara panggilan seorang perempuan sontak membuat Krisna dan Yura menoleh bersamaan. Disha yang baru saja menyadari keberadaan mereka, lantas menghampirinya usai berbincang dengan beberapa kerabatnya.“Sha, kenalin, ini Yura.”Disha menerbitkan senyuman lebar. “Hai, Kak Yura. Aku Disha. Adiknya Abang yang paling cantik sedunia. Akhirnya, bisa kenal sama pacarnya Abang, ya.”Yura balas menjabat tangan Disha. “Aku Yura. Senang bisa ketemu sama kamu, Sha.”“Setelah sekian lama Abang nggak pulang-pulang, sekalinya dia pulang yang dibawa justru kabar bahagia.” Disha tiba-tiba berhambur memeluk Yura. “Makasih ya, Kak Yura.”Masih dalam kebingungannya, Yura memutuskan untuk menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Dia membalas pelukan Disha, yang anehnya, dia bisa merasakan betapa hangatnya keluarga Krisna.“Kak Yura udah makan?”“Belum, Sha.”“Bang, Kak Yura masa nggak diambilin makan, sih? Ambilin dong, Bang.”Krisna terkekeh. “Ya udah, yuk, kita ambil makannya barengan!”“Yuk, Ka
“Lo pasti udah gila, Ra!” Yura menjeduk-jedukkan kepalanya di atas meja. Menyadari kebodohan yang baru saja dilakukannya.Perempuan itu tidak yakin betul alasannya mengapa tiba-tiba dia mengajak Krisna menikah. Yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia membantu Krisna untuk tidak terlihat menyedihkan di depan mantan kekasihnya. Tapi kenyataannya, dia justru terjebak dengan ucapannya sendiri.Segala penerimaan dan kebahagiaan yang memancar di tengah keluarga Krisna semalam menjadi satu-satunya alasan Yura. Terlepas dari tindakannya yang berhasil membuat hati Awan memanas, Yura menyukai bagaimana Maura dan Davin tertawa bahagia menyambut keberadaannya. Pun begitu dengan Disha, Freya, dan keluarga lainnya. “Ra, lo gila, ya!” Suara teguran Leon sontak membuat perempuan itu menoleh dengan wajahnya yang ditekuk. Leon baru saja keluar dari ruangan Wira setelah dipanggil oleh atasannya.Yura menegakkan posisi duduknya, lalu menggeser kursinya agar bergerak ke samping kubikel sahabatnya
YURA mengayunkan langkah memasuki kediaman rumahnya saat waktu sudah menunjuk angka enam petang. Badannya terasa lelah luar biasa, meskipun dia tidak ada tugas liputan di luar kantor, kenyataan bahwa ada banyak laporan yang harus dikerjakannya membuat perempuan itu kelelahan.“Ra…”Perempuan itu berjengit kaget saat suara seseorang memanggil namanya. Yura lantas menoleh, dan mendapati Abhimana berdiri di depan teras rumahnya.“Sejak kapan Om berdiri di sana?”“Dari tadi. Kamu lagi mikirin apa, sih?”“Nggak ada.” Yura kemudian mengayunkan langkahnya melewati Abhimana begitu saja. Namun langkahnya kembali terhenti begitu pria itu kembali bersuara.“Tadi siang makan siang sama siapa, Ra?” tanya Abhimana kemudian.Yura menoleh, tampak ragu menjawab pertanyaan dari pria itu. “Sama mamanya Krisna.”Abhimana manggut-manggut, agak terkejut mendengar jawaban Yura. “Susah sejauh mana kamu mengenal dia?”Yura mengembuskan napas lelah, lalu menatap ke arah Abhimana. “Aku sama Krisna sudah mau mel
“Ra, mau ke mana? Nggak mau makan dulu?”Suara vokal Wulan terdengar saat Yura baru saja menuruni anak tangga. Perempuan itu melangkah mendekati Wulan, lalu melirik sekilas ke arah Abhimana yang kini menatap ke arahnya.Perempuan itu mengulas senyum, lalu menggeleng. “Aku mau pergi, Ma.”“Mau ke mana?” Wulan lantas bangkit dari duduknya, mengabaikan Abhimana yang hanya diam sembari menikmati makanannya.“Aku mau keluar sama Krisna, Ma. Krisna udah ada di depan.”“Lho, kenapa nggak diajak masuk?” Wulan lantas melongokkan kepalanya ke arah depan, meskipun tidak terlihat dari tempatnya, rupanya Wulan tidak menyerah.Sang ibu lantas berjalan menuju ke depan mendahului Yura. Dan benar saja, Krisna berdiri di depan teras rumahnya, sementara mobilnya diparkirkan di depan pagar rumahnya.“Nak Krisna…”Krisna yang tadinya sibuk dengan ponselnya, lantas menoleh. Pria itu menerbitkan senyumannya, berjalan menghampiri Wulan untuk mencium punggung tangan perempuan paruh baya itu.“Apa kabar, Tante
KRISNA membelokkan mobilnya menuju basement begitu dia tiba di gedung Diamond Squad. Pria itu turun dari mobil, lalu melangkah menuju lobi. Hari ini, Mahesa mengajaknya untuk bertemu untuk membicarakan bisnis kerjasamanya Diamond Group dengan Diva Air. Sebagai perwakilan dari perusahaan, tentu saja Krisna tidak menolaknya.Pria itu lantas menekan panel angka enam puluh dua. Untuk selama beberapa saat, hening. Suasana gedung perkantoran siang itu tampak lengang, tapi kesibukan dari masing-masing mereka tidak terhindarkan.Setelah lift berhenti di lantai tujuannya, Krisna melangkah menyusuri lorong. Bersamaan dengan suara sapaan Julia terdengar.“Selamat siang, Mas Krisna.”Krisna menerbitkan senyumannya begitu berdiri di hadapan Julia. “Siang, Julie. Apa kabar kamu?”“Baik, Mas. Ada janji sama Pak Mahesa, ya?”“Iya, Jul. Mahesa ada, kan?”“Ada, Mas. Pak Mahesa tadi bilangnya kalau Mas Krisna datang disuruh langsung masuk saja. Silakan.” “Oke, Julie. Kalau begitu saya masuk dulu.”Kri