Langit masih gelap.Di sebuah kompleks perumahan biasa di Kota Marila.Bam! Bam! Bam!Suara bel pintu, bercampur dengan suara gedoran pintu yang mendesak, membangunkan Silvia dan Sonya ....Sonya merasa kesal karena dibangunkan seperti ini. Dia mengucek matanya sambil bangkit dan berkata, "Siapa, sih, subuh-subuh begini, sudah datang mengetuk pintu?!"Silvia sudah turun dari ranjang dan pergi mencari baju ganti sambil berkata, "Sonya, tidur saja, biar Ibu lihat itu siapa!"Meskipun Sonya baru bangun tidur dan pikirannya masih belum jernih, kewaspadaannya tetap sangat kuat. Dia turun dari ranjang dan menahan ibunya yang hendak pergi membuka pintu."Ibu, ini bukan rumah kita. Teman Ibu juga sudah lama nggak tinggal di sini! Siapa yang akan subuh-subuh begini datang mengetuk pintu rumah orang lain?! Kita harus hati-hati, bisa saja itu orang jahat!" kata Sonya.Silvia melihat ke arah jam yang tergantung di dinding. Jam itu masih menunjukkan pukul empat subuh. Mengetuk pintu rumah orang lai
Sonya mengangguk dengan terus terang dan menjawab, "Bibi Quenne, kalau kamu datang mengetuk pintu jam segini, kamu seperti tiba-tiba pindah tempat dari Negara Muriana ke hadapan kami. Siapa pun akan terkejut!"Wanita ini tersenyum dengan malu, lalu berjongkok dan memeluk Sonya sambil berkata, "Maaf, maaf .... Bibi bukan sengaja .... Bibi melihat lukisan yang dikirimkan ibumu hari ini mirip sekali dengan putri Bibi, jadi Bibi langsung membeli tiket pesawat dan datang mencari kalian!"Sonya tercengang sesaat. Dia pun mengerti!Kakak cantik yang pernah menyelamatkan dia dan ibunya mungkin adalah putrinya Quenne yang dikira sudah meninggal!Pantas saja, tadi, saat Quenne menggedor pintu, pengawal yang diaturkan Theo untuk mengawal di depan pintu tidak melakukan apa pun karena mereka mengenali Quenne sebagai sahabat terbaik Silvia.Silvia menatap sahabatnya yang bergegas datang ke tempat ini dengan tidak berdaya dan membuang napas. Dia memindahkan koper Quenne ke dalam terlebih dahulu, lalu
'Kalau begitu, bagaimana putriku bertahan hidup sendirian selama ini?'Makin dipikirkan, Quenne merasa makin sedih, hingga bahkan bernapas pun terasa menyakitkan.Silvia menuangkan segelas air hangat untuk Quenne dan berkata, "Sudahlah, kamu pasti sudah lelah. Minumlah air ini dan istirahat. Nanti pagi, aku akan membawamu ke gadis bernama Pamela itu."Quenne menerima air hangat yang disodorkan sahabatnya dan menyesapnya seteguk sambil menahan perasaan rumit dalam hatinya ...."Oh ya, Silvia, bagaimana hubunganmu dengan suamimu? Kalian masih bertengkar?" tanya Quenne.Setelah menenangkan dirinya, Quenne juga mengkhawatirkan masalah hubungan sahabatnya.Mendengar sahabatnya mengungkit tentang suaminya yang menyebalkan itu, ekspresi Silvia menjadi cemas. "Aku nggak ingin membahas tentang dia," kata Silvia.Silvia memang tidur tidak nyenyak, lalu dibangunkan lagi oleh sahabatnya, sehingga kondisi Silvia kurang baik. Dia pun duduk di sisi putrinya.Quenne bisa melihat bagaimana Silvia sudah
Frida menatap Pamela dengan tatapan ramah dan berkata, "Nggak apa-apa! Nenek hanya datang melihatmu! Pamela, semalam, kamu membawa tiga anak ke taman hiburan, kamu pasti sangat lelah, 'kan?"Pamela menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Nggak, kok, mereka sangat patuh. Nenek, masuklah!"Frida menjulurkan kepalanya ke dalam kamar. Melihat ketiga anak yang masih terlelap di atas ranjang, dia menggeleng dan berkata, "Nenek nggak masuk lagi, deh! Biarkan saja mereka tidur lebih lama! Pamela, Nenek ingin meminta bantuanmu!"Dengan alis terangkat, Pamela bertanya, "Ada apa, Nenek?"Frida menjawab dengan serius, "Dua hari lagi, putri dari Keluarga Andonis akan menikah. Keluarga Andonis mengirimkan undangan. Tapi, setelah dipikir-pikir, kesehatan Nenek dan Kakek juga kurang baik, jadi kami nggak mau pergi merepotkan. Nanti, kamu saja yang bawakan amplop kami, ya! Adsila adalah keponakan yang paling disayang oleh Agam. Sekarang, Agam nggak di sini, jadi kamulah yang harus lebih repot menjaganya
Setelah mematikan panggilan ini, Adsila memonyongkan bibirnya sambil memelototi Marlon yang berbaring di sampingnya. Dia juga memukul pria ini dengan tangannya yang kecil."Semuanya salahmu! Kenapa kamu asal bicara dengan Bibi!" seru Adsila.Marlon mengulurkan tangannya dan menarik Adsila untuk mendekati dirinya sambil berkata, "Memangnya aku bilang apa? Hingga wajahmu semerah ini?"Adsila menjulingkan matanya dengan kesal sambil berseru, "Kamu sengaja mengucapkan kata-kata yang membuat Bibi salah paham! Nanti siang, bagaimana aku bisa menghadapi Bibi?!"Marlon tertawa dan berkata, "Sekarang, kita sudah berhubungan suami istri, kamu masih takut orang lain salah paham? Lagi pula, itu Bos, bukan orang lain!"Adsila meronta dalam pelukan pria ini dengan penuh amarah, dia ingin melepaskan dirinya dari pelukan ini. "Apa pun itu, biar kuperingatkan. Nanti siang, jangan asal bicara lagi pada Bibi. Mengerti?"Marlon berpura-pura ketakutan dan berkata, "Baik! Istriku, aku akan mematuhi ucapanmu
Kalau dipikir-pikir, Justin sedang menjaga ayahnya, jadi tidak tentu dia akan ikut makan. Oleh karena itu, Pamela berkata, "Ajak saja si Ariel. Kita bisa makan bareng, lalu membantu Adsila memilih gaun pengantin bersama."Marlon tersenyum dan berkata, "Baiklah, kalau begitu, aku akan menghubunginya sekarang juga!"Adsila bersandar pada Pamela, seakan-akan dia adalah anaknya Pamela, sambil bergumam, "Bibi, sejujurnya, aku ... aku gugup!"Pamela mengangkat alisnya dan berkata dengan nada bercanda, "Gugup apanya? Kamu juga bukan pertama kalinya menikah, 'kan?"Mendengar ucapan ini, Adsila mengangkat kepalanya dan mengernyit sambil berseru, "Bibi! Kenapa kamu mengungkit hal itu?! Itu masa laluku yang memalukan!"Pamela tertawa sambil mencubit pipi Adsila dan berkata, "Justru itu! Untuk apa kamu merasa gugup? Kali ini nggak akan lebih buruk daripada sebelumnya! Meskipun calon suamimu kali ini juga biasa-biasa saja, dia jauh lebih baik daripada yang sebelumnya! Tenang saja, ada aku, dia ngga
Seusai berbicara, Justin langsung berjalan mengikuti mereka, lalu bergegas duduk di kursi utama!Mereka adalah teman-teman dari satu generasi yang pergi makan bersama, jadi tidak ada yang mementingkan posisi utama dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak ada yang memperhatikan Justin.Pamela, Adsila dan Ariel memesan makanan, sedangkan Marlon mengambil peran pendukung. Dia duduk bersila dalam diam di samping sambil menunggu arahan.Sampai setelah semua orang memesan makanan mereka masing-masing, tidak ada yang memperhatikan Justin.Justin tidak tahan lagi, dia langsung berseru, "Hei! Aku belum pesan, kenapa kalian mengembalikan menunya ke pelayan?"Ketiga wanita itu hanya mengangkat kepala mereka dan melihat Justin sekilas. Kemudian, mereka menunduk lagi dan melihat foto gaun pengantin di layar tablet yang dibawa Adsila untuk membantu Adsila memilih gaunnya.Justin merasa murka hingga dia hampir menggila. Marlon menepuk-nepuk bahunya untuk menghiburnya, lalu berbisik padanya, "Tuan Justi
Begitu dipelototi oleh pacarnya, Justin seketika menjadi patuh. Dengan perasaan kesal, dia tidak mengikuti Ariel dan duduk kembali dengan kaki tersilang di tatami.Adsila berkata, "Haha, kamu kena marah lagi, 'kan? Bu Ariel sama sekali nggak berencana untuk menikah denganmu, tapi kamu malah mau membawanya memilih gaun pengantin, mana mungkin dia mau menghiraukanmu!"Ekspresi Justin menjadi masam. Dia memelototi Adsila dengan penuh amarah dan berkata, "Jangan kira karena kamu bersembunyi di samping kakakku, aku nggak bisa melakukan apa pun padamu!"Namun, Adsila malah berkacak pinggang dengan percaya diri dan berkata, "Aku memang bersembunyi di belakang Bibi. Apa yang bisa kamu lakukan?""Kamu ...." Justin menggertakkan giginya dengan penuh amarah. Dia memang sudah merasa kesal karena dia tidak memahami isi hatinya Ariel, tetapi Adsila masih saja terus memancing amarahnya!'Huh, aku memang nggak bisa melakukan apa pun padanya! Dia seorang wanita, jadi mana mungkin aku memukulnya?!'Just