Share

Bab 15

Wajah Pamela berubah menjadi sedikit pucat.

Nyonya Frida yang berhasil menarik napas panjang berkata mendesak, "Agam, cepat lepaskan ...."

Barulah Agam melepaskan cengkeramannya, melempar Pamela ke samping dan menghampiri neneknya. "Bagaimana keadaan nenek?"

Nyonya Frida melambaikan tangannya dengan napas sedikit terengah-engah, baru menjawab, "Nggak apa-apa. Barusan, anak itu menyelamatkanku karena tersedak. Ada biji kurma di lantai yang sudah aku muntahkan."

Agam terkejut, menatap biji kurma yang teronggok di lantai, lalu menoleh ke arah Pamela dengan alis berkerut.

Pamela yang dilempar ke lantai olehnya perlahan beranjak sambil menggosok-gosok lengannya yang terbentur.

Kemudian, dia menghampiri Nyonya Frida dan menjelaskan.

"Nyonya, pagi ini aku membuat kue itu untukku sendiri. Biji kurmanya sengaja nggak aku buang karena aku lebih suka sedikit rasa pahit dari bijinya. Tapi, itu nggak cocok untuk dimakan oleh orang tua. Maaf karena sudah menyakiti nyonya."

Pamela membungkuk tulus, menegakkan badannya lagi dan menatap Agam.

"Paman, ehem, Pak Agam, akan lebih aman jika memanggil dokter untuk memeriksa keadaan nyonya."

Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan naik ke lantai atas menuju kamarnya.

Agam memandangi punggung Pamela yang kurus dan ramping. Tatapan matanya sedikit rumit.

...

Nyonya Frida sangat tertekan karena situasi ini. Dia dibantu masuk ke kamarnya dan tertidur.

Sore harinya, dokter keluarga datang untuk memeriksa kondisi Nyonya Frida. Dokter mengukur tekanan darahnya sebelum memastikan kalau keadaannya baik-baik saja.

Setelah dokter keluarga pergi, Nyonya Frida sudah mendapatkan kembali tenaganya. Dia berkata, "Olivia, kamu keluar dulu. Ada yang ingin nenek sampaikan kepada kakakmu."

Olivia sedikit enggan dan ingin mendengarkan pembicaraan mereka, tetapi karena mendapat tatapan tegas dari Agam, dia akhirnya keluar dengan patuh.

Tidak ada lagi orang ketiga di ruangan itu. Agam berjalan ke sisi tempat tidur, lalu mengatakan, "Nenek, apa masih ada yang nggak nyaman?"

Nyonya Frida menatap cucunya yang tinggi, dingin dan tampan itu, lalu tersenyum penuh kasih, "Nenek baik-baik saja, Agam. Jangan khawatir."

"Syukurlah kalau nenek baik-baik saja."

Nyonya Frida bertanya, "Agam, bagaimana kamu bisa mengenal Nona Alister?"

"Cuma kebetulan."

Nyonya Frida mengangguk pelan, lalu mengatakan, "Dia anak yang baik, aku menyukainya."

Mata Agam menunjukkan keterkejutan yang dalam. Dia menyipitkan matanya, lalu mengatakan, "Karena dia sudah menyelamatkan nyawa nenek?"

Sepertinya, sebelum dia kembali, neneknya telah menghukum gadis kecil itu. Namun, sekarang neneknya bilang kalau dia menyukainya?

Nyonya Frida tidak bisa menyembunyikan kekaguman di matanya. "Anak itu sangat tenang. Dia nggak melawan ketika dihadapkan dengan tuduhanku. Dia nggak nangis dan memaki ketika disalahpahami. Dia bahkan menjelaskan dengan tenang dan meminta maaf kepadaku. Dia sangat dewasa. Aku menyukainya."

Memang benar.

Agam terdiam sambil memikirkan bagaimana dia hampir saja mematahkan leher gadis kecil itu karena marah.

"Agam, kamu dan dia belum tidur bersama, 'kan?"

Percakapan berubah begitu cepat, membuat wajah Agam berubah serius.

Nyonya Frida menggoda, "Usiamu sudah hampir tiga puluh tahun, apa yang memalukan dari hal itu!"

"..."

"Agam, aku tahu kalau kamu menikah terburu-buru untuk memenuhi keinginan kakekmu yang keras kepala. Tapi, aku rasa kamu telah memilih istri yang baik. Pernikahan bukan permainan. Kalian berdua, hiduplah dengan baik."

Agam tidak dalam posisi untuk menjelaskan apa pun kepada neneknya.

Nyonya Frida menambahkan, "Pada hari pernikahanmu, aku sedang berada di luar negeri bersama kakekmu yang sedang mempersiapkan operasinya dan nggak bisa datang. Hari ini aku akan menjadi saksi. Kalian berdua tidurlah bersama malam ini. Dengan begitu, setelah kakekmu sembuh dan kembali, dia bisa menimang cucu."

Agam menjawab dengan wajah menunduk, "Nek, aku pikir hal semacam ini ...."

Nyonya Frida mengerutkan kening, lalu mengatakan, "Kalau kamu nggak mau, nenek akan bilang kepada kakekmu kalau kamu hanya melakukan pernikahan palsu. Kamu tahu sifat kakekmu. Walaupun dia sudah selesai melakukan transplantasi, dia akan tetap marah dan bisa saja jatuh sakit lagi!"

Agam mengernyitkan alisnya, lalu mengatakan, "Nenek, aku akan meminta pelayan membawakan makan malam. Nenek bisa makan dan beristirahat dengan baik."

Setelah itu, Agam berbalik dan keluar kamar.

Nyonya Frida tidak berhenti sampai di situ. Dia kembali mengatakan, "Jangan mengecewakanku. Aku akan memeriksa kamarmu nanti!"

...

Ketika Agam kembali ke kamar, dia melihat Pamela sedang duduk sendirian di depan meja komputernya, seperti sedang menulis sesuatu. Pamela bahkan tidak mendongak ketika Agam masuk.

Agam berjalan ke belakang Pamela dan melihat ke bawah pada apa yang sedang ditulisnya. Dia bertanya, "Gadis kecil, kamu lagi ngerjain tugas kuliah?"

Pamela menulis dengan penuh perhatian dan menjawab, "Menyalin aturan keluarga! Sekarang sudah abad ke-21 dan keluarga kalian masih memiliki peraturan tertulis di rumah. Ckck, luar biasa ...."

Agam mengangkat tangan Pamela dan mengambil pulpennya, lalu mengatakan, "Nggak perlu disalin. Nggak ada yang bakal hukum kamu lagi."

Pamela meregangkan tubuh, lalu menjawab, "Kalau begitu, aku akan pergi mandi, lalu tidur!"

Setelah mengalami yang namanya dicekik sampai hampir mati, Pamela memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang kesenjangan kekuatan antara dirinya dan Agam.

Pria ini bisa mencekiknya sampai mati. Baginya, membunuh Pamela semudah membunuh semut.

Bukannya Pamela takut padanya. Dia hanya tidak merasa perlu untuk menciptakan kesulitan untuk situasi yang sudah sulit ini.

Tiga bulan ini dia mau bermain dengan aman di Keluarga Dirgantara dan tidak mau mencari musuh. Dia akan mencoba untuk tidak terlalu banyak berhubungan dengan pria ini. Ketika waktu tiga bulan tiba, dia akan berkemas dan pergi dengan tenang.

Pamela beranjak dan berjalan mengitari Agam untuk menjauh darinya sejauh mungkin, tetapi tiba-tiba lengannya dicengkeram.

"Ah!"

Dia mengernyitkan alisnya dan mengaduh kesakitan. "Paman, apa yang kamu lakukan?"

Agam menyipitkan matanya ke arahnya, lalu mengatakan, "Kamu masih bisa merasa sakit?"

Tangannya yang besar mencengkeram lengan Pamela tepat di bagian yang terluka!

Ketika Agam melemparkannya hari ini, lengannya terbentur sudut meja dan terluka.

Pamela berusaha untuk tidak membuat masalah lagi, tetapi pria ini malah yang mencari masalah dengannya.

Pamela menjawab dan terlihat kesal, "Sakit juga karena kamu!"

Agam tertegun, melepaskan tangannya dan berkata dengan suara pelan, "Turunlah ke bawah dan minta dokter keluarga untuk merawat lukanya."

"Nggak perlu. Cuma tergores dan bukan luka serius!"

Pamela tidak ambil pusing. Dia menepis tangan Agam dan langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi.

Saat keluar dari kamar mandi, dia sudah mengenakan piyama dan langsung berbaring di tempat tidur.

"Kemarilah!"

Suara pria itu terdengar tidak menyenangkan.

Pamela menoleh dan melihat Agam yang tengah bersandar malas di sofa tunggal dengan sikap santai bak seorang kaisar.

Pamela tak ingin menurutinya. Dia menjawab, "Kenapa?"

Dagu tampan pria itu terangkat, menunjuk kotak obat di meja pojok, lalu mengatakan, "Kasih obat."

Pamela menjawab lugas, "Nggak perlu. Terima kasih!"

Agam menyipitkan matanya, lalu berkata dengan menatap tajam ke arahnya, "Kamu yang ke sini atau aku yang ke sana?"

Pamela menjadi kesal!

Dia tidak ingin pria itu menghampiri sisi tempat tidurnya. Sambil mengertakkan gigi, dia beranjak dan berjalan mendekat, menyodorkan lengannya yang terluka.

"Lakukan dengan cepat!"

Awalnya Agam bermaksud agar gadis kecil itu mengobati lukanya sendiri dengan menggunakan kotak obat yang dibawakan pelayan. Namun, sepertinya dia salah mengartikan kalau Agam yang akan mengobatinya.

Agam belum pernah melayani siapa pun dan tidak akan pernah melayani siapa pun.

Agam membuka kotak peralatan medis. Dia membuka tutup botol yang berwarna merah, mengoleskan isi di dalamnya ke atas kapas dan mengoleskannya dengan lembut pada luka di lengan kecil gadis itu.

Pamela sebenarnya sengaja menawarkan lengannya kepadanya.

Dia melakukannya untuk melampiaskan kemarahannya. Namun, tidak disangka Agam benar-benar mengoleskan obat pada lukanya. Dia mengangkat alisnya, lalu mengatakan, "Paman, apa kamu merasa bersalah kepadaku?"

Agam menjawab dengan wajah tanpa ekspresi, "Hari ini, akulah yang nggak sengaja melukaimu. Jadi, aku yang harus bertanggung jawab. Mengenai nenekku, kamu nggak perlu menyimpan dendam kepadanya. Dia nggak akan lama di sini."

Pamela tidak berpikir demikian, "Apa gunanya menyimpan dendam? Nenekmu bukan orang jahat!"

Agam menatapnya, lalu menjawab, "Kamu nggak menganggap dia jahat karena sudah menghukummu untuk menyalin aturan keluarga?"

Pamela menjawab sambil menatapnya tajam, "Apa orang jahat akan memberikan hukuman dengan menyalin aturan? Itu akan menjadi hukuman terberat yang bisa dipikirkan oleh orang baik. Semua orang jahat yang pernah kutemui sebelumnya akan ...."

Pamela tidak melanjutkan perkataannya. Mata Agam menegang, lalu mengatakan, "Apa yang akan mereka lakukan?"

Mulut Pamela sempat keceplosan tadi. Dia merasa tidak perlu menceritakan pengalamannya pada seseorang yang tidak dia kenal dengan baik.

"Bukan apa-apa! Apa sudah selesai? Aku mau tidur kalau sudah selesai!"

Obat sudah dioleskan, tetapi Agam tidak melepaskan lengannya.

Berpikir bahwa Agam masih memiliki beberapa kekhawatiran di hatinya, Pamela berkata dengan tegas, "Jangan khawatir, Paman. Aku berjanji padamu kalau aku akan patuh denganmu selama tiga bulan ini. Jadi, aku akan menyelesaikan pekerjaan itu dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab! Adikmu mungkin sedikit menyebalkan, tapi nenekmu cuma nggak tahu masalah yang sebenarnya. Dia hanya ingin melindungi cucunya. Aku mengerti dan nggak akan marah."

Mata Agam makin dalam saat dia menatap Pamela.

Dia awalnya mengira gadis kecil ini sedikit seenaknya, tetapi sebenarnya dia cukup bijaksana.

Dia juga manis.

Bulu mata Pamela panjang, tebal dan lentik. Wajahnya masih muda, dengan sedikit lemak yang pas dan dua lesung pipit di kedua pipinya.

Agam tiba-tiba beranjak dan mengagetkan Pamela, "Paman?"

Tangan panjang pria itu meraih ke bawah pinggangnya dan mengangkatnya tanpa peringatan!

Pamela terkejut bukan main. Nadanya sedikit meninggi, "Paman, apa yang kamu lakukan?"

Begitu Pamela bertanya, dia dilempar begitu saja ke tempat tidur.

Agam melepas jasnya, menarik dasinya dan membuka kancing kemejanya dengan gerakan yang liar dan agresif.

Pamela berniat bangun dan mencoba untuk menghindar, tetapi dia didorong oleh sepasang tangan besar pria itu sampai terjerembab lagi ke ranjang.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pamela melihat tenggorokan dan dada seorang pria dari jarak yang begitu dekat. Itu benar-benar sangat menggoda!

"Paman, jangan main-main! Sadarlah, jangan lupa kalau orang sepertiku nggak sesuai dengan seleramu!"

Kedua lengan Agam disandarkan di kedua sisi kepala kecil Pamela. Tatapannya yang seperti serigala lapar menjulang tinggi di atas Pamela, menatapnya dalam-dalam.

"Bagaimana kalau aku mau mencoba sesuatu yang bukan seleraku?"

Tubuh kuat pria itu menekan Pamela tanpa sadar dan membuatnya hampir berteriak. Namun, mulutnya sudah dibungkam.

"Hmm ...."
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Maha Bintang
liat episode nya sampe ribuan. ... udah pusing duluan. lebih menarik cerpen
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status