Esok harinya, Thania sudah diperbolehkan pulang oleh dokter setelah kondisinya dirasa sudah membaik."Baby-nya biar aku aja yang gendong. Kamu masuk mobil duluan aja, yaa," ucap Hans yang baru saja mengurus administrasi pembayaran biaya Thania selama di rumah sakit.Thania mengangguk. "Iya, Hans." Ia kemudian berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di depan loby menunggunya dan juga Hans.Thania masuk ke dalam mobil, disusul oleh Hans dan keduanya pun meninggalkan rumah sakit.Thania kemudian mengusapi kepala anaknya yang tengah digendong oleh Hans lalu mengulas senyumnya."Anteng banget yang habis minum susu," ucap Thania lalu mengadahkan kepalanya menatap Hans."Masih anteng karena masih bayi. Kalau udah gede, jangankan tidur, suruh mandi aja pasti susahnya minta ampun."Hans terkekeh pelan. "Akan melewati masa-masa itu, Hans. Kamu akan menemaninya, kan?"Hans mengusap sisian wajah perempuan itu dan mengangguk. "Tentu saja. We are get married. Tentu, akan menemani kamu menjaga Ba
Tidak terasa, satu minggu sudah, usia Devandra saat ini. Thania ditemani oleh sang ibu merawat bayinya, juga Hans yang selalu menemaninya di sana."Kamu mandi dulu aja. Biar Devandra Ibu mandikan," ucap Ima kepada Thania yang baru bangun dari tidurnya."Bentar dulu, Bu. Mau lihat bayiku yang udah bangun lebih dulu dari mamanya," ucapnya kemudian menerbitkan senyumnya kepada anaknya itu. "Selamat pagi, baby boy.""Udah, sana. Mandi dulu. Kalau sudah mandi, seger nanti.""Iya, iya. Ini mau mandi." Thania kemudian beranjak dari tempat tidur kemudian menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan Hans."Hans di mana, Bu?" tanya Thania kemudian."Ada meeting mendadak katanya. Makanya langsung pergi, sekitar lima belas menitan lah."Thania manggut-manggut dengan pelan kemudian mengambil ponselnya. Ia tahu, Hans selalu mengirim pesan padanya jika tidak berpamitan terlebih dahulu.Thania lalu menerbitkan senyumnya kala melihat beberapa pesan masuk dari calon suaminya itu. Sudah dipastikan, dia
Hari di mana yang dinanti-nanti oleh Hans dan Thania telah tiba. Keduanya akan mengikrarkan janji suci di depan imam dan para saksi yang akan menyempurnakan kisah cinta mereka berdua."Thania ...." Winda menghampiri perempuan itu yang tengah duduk di tepi tempat tidur yang sudah dibalut oleh gaun pengantin berwarna putih, menunggu waktunya tiba.Thania menoleh kemudian menerbitkan senyumnya. "Wind."Winda memeluk perempuan itu dan mengulas senyumnya. "Congrats, ya. Akhirnya elo dan Hans udah mau nikah, bentar lagi. Dalam hitungan menit."Thania mengangguk. "Iya, Wind. Gue nggak pernah nyangka juga, kalau ternyata pilihan terakhir gue adalah sahabat gue sendiri.""Nggak apa-apa. Wajar aja, mau siapa pun juga. Yang penting elo nyaman, sayang dan tentunya diperlakukan dengan baik."Thania mengangguk dan menghela napasnya dengan panjang. "Hans lebih dari sekadar baik, Wind. Dia udah buat gue yakin untuk melangkah dan menikah lagi. Gue yakin, Hans akan jadi pelabuhan terakhir gue.""Amin.
Dua minggu kemudian ….Hari yang ditunggu oleh Hans akhirnya tiba. Ia sudah tidak sabar ingin menikmati hal yang sudah bisa dia lakukan sejak pertama kali mereka mengikat janji suci.Sayangnya, Thania yang baru melahirkan tidak dapat ia sentuh dan harus menunggu waktu tersebut.“Hans?” panggil Thania yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.Lelaki itu menoleh kemudian mengulas senyumnya. Lingerie merah cerah transparan, memperlihatkan lekuk tubuh indah Thania membuat hasrat Hans semakin menggelora.Perempuan itu menghampiri suaminya lalu duduk di samping lelaki itu.“You look so beautiful, Sayang,” ucap Hans dengan suara lembutnya. Tangannya mengusapi sisian wajah perempuan itu. “Ready, hm?” bisiknya kemudian.Thania mengangguk dengan pelan. “Ya. I’m ready.”Hans kemudian meraup bibir perempuan itu penuh. Tangannya meremas gumpalan kenyal itu dengan gemas. Tidak ingin satu pun anggota tubuhnya menganggur, Hans melakukan permainan itu dengan sangat riang dan lincah.Meski baru per
Thania terkekeh pelan. “Candu banget, yaa?”Hans mengangguk. “Udah sah juga. Ngapain harus nolak? Kecuali kamu lagi sakit, halangan dan sebagainya.”“Hemm!”Hans kemudian mencium kening perempuan itu dengan tangan mengusapi dada Thania.“Besok, aku harus ke Amerika. Ada beberapa dokumen yang harus aku tanda tangani dan tidak bisa diwakilkan.”Thania menoleh dan menatapnya. “Berapa lama?” tanyanya ingin tahu.“Hanya satu minggu. Setelah itu, aku langsung pulang. Dan ….”“Dan apa?” ucap Thania.Hans menerbitkan senyumnya kepada istrinya itu. “Wanna play with you, Honey!” ucapnya lalu meraup bibir perempuan itu dengan penuh.Thania menatap wajah Hans lalu mengulas senyumnya. Memegang tangan lelaki itu dan menghela napasnya."Masih belum puas, hem?" tanya Thania dengan lembut.Hans kemudian menenggelamkan wajahnya di dada Thania hingga membuat perempuan itu terkekeh pelan."Satu minggu di Amerika, dan baru main ini sama kamu. Rasanya nggak bisa fokus, Sayang," ucapnya kemudian mencium dad
Satu minggu sudah, Hans berada di Amerika. Hari ini, ia sudah bisa pulang setelah pekerjaan di sana selesai."Halo, Sayang. Aku sudah di bandara, baru sampai di Indonesia." Hans menghubungi sang istri memberi tahu bila dirinya sudah di Indonesia."Cepet juga. Aku pikir kamu cuma bohongan, mau pulang. Ternyata beneran."Hans terkekeh pelan. "Because i miss you. And Devan too. Makanya aku beli tiket pesawat non transit biar cepat sampai ke Indonesia.""Dasar! Ya sudah, kamu hati-hati di jalannya, yaa. Bibi juga sudah masak banyak hari ini. Mami sama Papi juga on the way ke Jakarta.""Oh, ya? Ya sudah, kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya, ya. See you and i love you.""Love you too, Mas Suami." Thania lalu menutup panggilan tersebut.Setengah jam kemudian, Hans sudah tiba di rumahnya. Ia lalu melangkahkan kakinya menghampiri Thania yang tengah berdiri di dekat keranjang bayi anaknya.Tangan itu terulur memeluk sang istri hingga membuat Thania terkejut karena ulah suaminya itu."Hans!
Dua minggu kemudian. Hari pernikahan Cyntia dan Amar akan dilaksanakan hari ini."Hans. Mandi dulu gih. Bentar lagi acara Cyntia dimulai, lho." Thania membangunkan Hans yang masih terlentang di atas tempat tidur.Hans kemudian membuka matanya dengan pelan dan menatap wajah sang istri. "Emang hari ini, yaa?" tanyanya dengan suara seraknya."Iya, Sayang. Astaga, ini sudah jam tujuh, lho. Bangun, ih! Devan aja udah mandi. Masa kalah sama anaknya sih!"Hans menghela napasnya lalu duduk menyandar di sandaran tempat tidur. "Acaranya jam sepuluh, kan? Upacara pernikahan itu nggak sebentar, Sayang. Lama. Aku udah pernah soalnya.""Yaa terus? Kamu mau ke gereja setelah selesai gitu, acaranya?" tanya Thania kemudian."Nggak juga sih. Emangnya kamu udah mandi? Kok ninggalin? Biasanya juga mandi bareng.""Kamu sih, bangunnya lama. Ya udah, aku tinggal aja."Hans mengembungkan pipinya lalu beranjak dari tempat tidur. Menghampiri Thania dan memeluk tubuh perempuan itu dari belakang dengan kepala me
Pukul 23.00 WIB.Di saat Thania dan Devan sudah lelap dalam tidurnya, Hans menghubungi Amar untuk menanyakan dokter spesialis jantung."Halo, Mar. Gue nggak ganggu lo, kan?" tanya Hans usai Amar menerima panggilan darinya."Nggak lah, Hans. Ada apa nih, jam segini nelepon? Biasanya ada hal urgent yang mau elo sampaikan atau tanyakan ke gue.""Iya. Gue mau nanya dokter spesialis jantung di rumah sakit Gama. Besok ada jadwal nggak, ya?""Heuh? Elo ... ngapain nanya dokter spesialis jantung?" tanyanya bingung.Hans menghela napasnya dengan panjang. "Devan. Thania khawatir penyakit yang diderita William akan turun pada anaknya. Karena penyakit itu berasal dari maminya dulu."Amar menghela napas pelan. "Ada benarnya juga, apa yang ditakutkan oleh Thania. Bisa jadi, jika gen ke ayah lebih dominan. Dan sedikit banyak, wajah Devan pun mirip dengan ayahnya.""Iya. Gue juga mikir kayak gitu. Tapi, semoga aja penyakitnya jangan dibawa ke anaknya. Gue nggak mau lihat Thania tertekan karena ini, M