Dua minggu kemudian ….Hari yang ditunggu oleh Hans akhirnya tiba. Ia sudah tidak sabar ingin menikmati hal yang sudah bisa dia lakukan sejak pertama kali mereka mengikat janji suci.Sayangnya, Thania yang baru melahirkan tidak dapat ia sentuh dan harus menunggu waktu tersebut.“Hans?” panggil Thania yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.Lelaki itu menoleh kemudian mengulas senyumnya. Lingerie merah cerah transparan, memperlihatkan lekuk tubuh indah Thania membuat hasrat Hans semakin menggelora.Perempuan itu menghampiri suaminya lalu duduk di samping lelaki itu.“You look so beautiful, Sayang,” ucap Hans dengan suara lembutnya. Tangannya mengusapi sisian wajah perempuan itu. “Ready, hm?” bisiknya kemudian.Thania mengangguk dengan pelan. “Ya. I’m ready.”Hans kemudian meraup bibir perempuan itu penuh. Tangannya meremas gumpalan kenyal itu dengan gemas. Tidak ingin satu pun anggota tubuhnya menganggur, Hans melakukan permainan itu dengan sangat riang dan lincah.Meski baru per
Thania terkekeh pelan. “Candu banget, yaa?”Hans mengangguk. “Udah sah juga. Ngapain harus nolak? Kecuali kamu lagi sakit, halangan dan sebagainya.”“Hemm!”Hans kemudian mencium kening perempuan itu dengan tangan mengusapi dada Thania.“Besok, aku harus ke Amerika. Ada beberapa dokumen yang harus aku tanda tangani dan tidak bisa diwakilkan.”Thania menoleh dan menatapnya. “Berapa lama?” tanyanya ingin tahu.“Hanya satu minggu. Setelah itu, aku langsung pulang. Dan ….”“Dan apa?” ucap Thania.Hans menerbitkan senyumnya kepada istrinya itu. “Wanna play with you, Honey!” ucapnya lalu meraup bibir perempuan itu dengan penuh.Thania menatap wajah Hans lalu mengulas senyumnya. Memegang tangan lelaki itu dan menghela napasnya."Masih belum puas, hem?" tanya Thania dengan lembut.Hans kemudian menenggelamkan wajahnya di dada Thania hingga membuat perempuan itu terkekeh pelan."Satu minggu di Amerika, dan baru main ini sama kamu. Rasanya nggak bisa fokus, Sayang," ucapnya kemudian mencium dad
Satu minggu sudah, Hans berada di Amerika. Hari ini, ia sudah bisa pulang setelah pekerjaan di sana selesai."Halo, Sayang. Aku sudah di bandara, baru sampai di Indonesia." Hans menghubungi sang istri memberi tahu bila dirinya sudah di Indonesia."Cepet juga. Aku pikir kamu cuma bohongan, mau pulang. Ternyata beneran."Hans terkekeh pelan. "Because i miss you. And Devan too. Makanya aku beli tiket pesawat non transit biar cepat sampai ke Indonesia.""Dasar! Ya sudah, kamu hati-hati di jalannya, yaa. Bibi juga sudah masak banyak hari ini. Mami sama Papi juga on the way ke Jakarta.""Oh, ya? Ya sudah, kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya, ya. See you and i love you.""Love you too, Mas Suami." Thania lalu menutup panggilan tersebut.Setengah jam kemudian, Hans sudah tiba di rumahnya. Ia lalu melangkahkan kakinya menghampiri Thania yang tengah berdiri di dekat keranjang bayi anaknya.Tangan itu terulur memeluk sang istri hingga membuat Thania terkejut karena ulah suaminya itu."Hans!
Dua minggu kemudian. Hari pernikahan Cyntia dan Amar akan dilaksanakan hari ini."Hans. Mandi dulu gih. Bentar lagi acara Cyntia dimulai, lho." Thania membangunkan Hans yang masih terlentang di atas tempat tidur.Hans kemudian membuka matanya dengan pelan dan menatap wajah sang istri. "Emang hari ini, yaa?" tanyanya dengan suara seraknya."Iya, Sayang. Astaga, ini sudah jam tujuh, lho. Bangun, ih! Devan aja udah mandi. Masa kalah sama anaknya sih!"Hans menghela napasnya lalu duduk menyandar di sandaran tempat tidur. "Acaranya jam sepuluh, kan? Upacara pernikahan itu nggak sebentar, Sayang. Lama. Aku udah pernah soalnya.""Yaa terus? Kamu mau ke gereja setelah selesai gitu, acaranya?" tanya Thania kemudian."Nggak juga sih. Emangnya kamu udah mandi? Kok ninggalin? Biasanya juga mandi bareng.""Kamu sih, bangunnya lama. Ya udah, aku tinggal aja."Hans mengembungkan pipinya lalu beranjak dari tempat tidur. Menghampiri Thania dan memeluk tubuh perempuan itu dari belakang dengan kepala me
Pukul 23.00 WIB.Di saat Thania dan Devan sudah lelap dalam tidurnya, Hans menghubungi Amar untuk menanyakan dokter spesialis jantung."Halo, Mar. Gue nggak ganggu lo, kan?" tanya Hans usai Amar menerima panggilan darinya."Nggak lah, Hans. Ada apa nih, jam segini nelepon? Biasanya ada hal urgent yang mau elo sampaikan atau tanyakan ke gue.""Iya. Gue mau nanya dokter spesialis jantung di rumah sakit Gama. Besok ada jadwal nggak, ya?""Heuh? Elo ... ngapain nanya dokter spesialis jantung?" tanyanya bingung.Hans menghela napasnya dengan panjang. "Devan. Thania khawatir penyakit yang diderita William akan turun pada anaknya. Karena penyakit itu berasal dari maminya dulu."Amar menghela napas pelan. "Ada benarnya juga, apa yang ditakutkan oleh Thania. Bisa jadi, jika gen ke ayah lebih dominan. Dan sedikit banyak, wajah Devan pun mirip dengan ayahnya.""Iya. Gue juga mikir kayak gitu. Tapi, semoga aja penyakitnya jangan dibawa ke anaknya. Gue nggak mau lihat Thania tertekan karena ini, M
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.