Share

HIATUS
HIATUS
Author: Ollane

|1| Haid

"Kapan terakhir kali kamu haid?"

Ummu Hilza menanyaiku yang baru saja menyudahi sarapan. Mendadak aku gugup mendengarnya, dengan lirih suaraku menyahut, "Tanggal 26 bulan Agustus lalu, Ummu." Helaan napas Ummu Hilza terdengar. Wanita itu menyusun wadah sisa makanku, lalu pergi keluar dari ruangan tanpa berkata sepatah katapun.

Setelah ditinggal sendiri lagi di kamar megah ini, aku langsung merasa kesepian. Sudah sebulan lamanya aku terkurung di ruangan ini. Kamar yang ada di ujung bangunan rumah, yang jauh dari peradaban depan yang biasanya dikumpuli orang-orang.

Sebulan yang lalu Tuan Harraz menalakku. Sesuai aturan agama yang diterapkan di keluarga besarnya, sebelum meninggalkan rumah suamiku dan benar-benar menjadi mantan istrinya, aku yang sudah berhubungan berkali-kali dengannya selama menikah harus menjalani masa iddah.

Ummu Halsa bilang, aku akan dipersilahkan pergi setelah menyudahi tiga kali masa suci. Tapi sudah sebulan lebih aku di sini sebagai istri yang tengah menyelesaikan masa iddah, haid pertamaku belum kunjung datang. Membuatku sedikit gugup, takut ada anugerah di ambang perpisahan kami.

Karena jujur saja, lepas dari Tuan Harraz, pergi dari rumah ini sebagai wanita yang bebas dari jeratannya adalah impianku setelah lima tahun menjadi istrinya.

Jika aku hamil, masa iddah itu kata Ummu Hilza akan diperpanjang sampai aku melahirkan. Bagiku itu ide yang buruk, karena aku tidak mau berlama-lama di sini.

Apalagi Ummu Hilza juga mengatakan, hak rujuk ada di bibir Tuan Harraz. Selagi masa iddah-ku belum usai, lelaki itu bisa merujukku kapan saja untuk sah kembali menjadi istrinya. Dan impianku untuk terpisah darinya benar-benar pupus. Tapi kuharap Tuan Harraz teguh pada pendiriannya dan tidak berubah pikiran untuk merujukku. Demi Tuhan, aku sangat ingin lari dari sini.

"Apa kamu pernah merasa tidak enak badan, Talita?" Ummu Hilza kembali lagi dan menanyaiku. Dengan anggukan ragu aku mengiakan, akhir-akhir ini aku memang sering merasa mual dan tidak enak badan. Karena tidak mau berpikir yang aneh-aneh, kukira aku masuk angin dan hanya mengusapkan minyak kayu putih ke perut.

"Sudah pernah kujelaskan sebelumnya 'kan?" Ummu Hilza bertanya yang kuiyakan lagi. "Ini ambil," wanita itu menyerahkan sebuah test phack untukku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar, karena takut dengan apa yang sama-sama terbersit di kepala kami.

"Coba periksa dulu, aku juga menakuti apa yang kamu takutkan Talita."

Aku patuh dan masuk ke dalam kamar mandi. Hasilnya membuatku shock. Ummu Hilza yang terlalu lama menunggu di luar menyusulku masuk dan sama shocknya.

"A-aku hamil ...." bisikku frustrasi. Impianku untuk cepat terbebas dari sini pupus sudah. Masa iddahku diperpanjang, aku harus melahirkan bayi ini dan sampai itu terjadi, aku takut karena bayi ini Tuan Harraz mengurungkan niatnya untuk menceraikanku.

"Aku harus memberitahukan ini pada Tuan Harraz Talita," Ummu Hilza berujar merasa bersalah, membuatku gelagapan.

"T-tidak, Ummu. Jangan beritahu dia. Aku tidak mau terpenjara lebih lama di sini. Aku ingin terbebaskan dari Tuan Harraz sesegera mungkin. Bagaimana jika nanti dia urung melepaskanku? Aku tidak mau menjadi istrinya lagi, Ummu."

Ummu Hilza yang masih terlihat sama merasa bersalahnya mengurai cekraman tanganku dari lengannya. Wanita itu mengusap rambut halusku, "Maaf, Talita. Aku sudah diamanahkan untuk melakukan ini. Memberitahukan sedetail mungkin tentangmu pada Tuan Harraz dan tidak menyembunyikan apapun selama proses masa iddahmu. Apalagi kehamilanmu."

Aku gagal membujuk wanita itu. Ummu Hilza mengabaikanku yang menangis dan meninggalkanku sendirian di kamar. Aku merutuki kehamilanku di atas kasur raksasa yang indah. Kupukul-pukul sendiri perutku yang berisi.

Lima tahun lamanya kami dulu menikah, kenapa bayi kecil ini harus hadir di saat-saat yang seperti ini? Bukan aku membenci anugerah, tapi jika nyawa baru hadir di saat aku tengah menantikan sebuah kebebasan, kusebut ini petaka!

"Dia di dalam?" Suara bariton yang amat kukenal, terdengar dari luar.

"Iya Tuan," suara Ummu Hilza menjawab membuatku gemetar.

Pintu kamarku akhirnya terbuka. Aku menyesal tidak sempat mengunci benda itu sebelumnya. Di ambang pintu, kudapati Tuan Harraz berdiri tegap. Lelaki itu menatapku dingin dalam diam, lalu berjalan mendekat.

"Kamu hamil?" Padahal dia sendiri sudah tahu jawabannya, Tuan Harraz tetap bertanya. Aku mengiakan pertanyaan lelaki itu, membuat helaan napas kasarnya terdengar.

"Apa keputusanmu, Harraz?" Harraz Ilham Ghazalah menoleh pada sepupunya yang menanyai. Aku gugup menantikan jawaban lelaki itu.

"Maksudmu?" Tuan Harraz balas bertanya pada Fauzan.

Fauzan dengan bibir terkatup rapat melirik kami berdua, "Maksudku, setelah mengetahui kehamilan Talita, bukankah lebih baik kamu merujuknya? Kalian tidak hanya berdua saja sekarang, kalian sudah bertiga. Dan setiap anak pasti mengharapkan keutuhan rumah tangga orangtuanya, bukan?"

Raut Tuan Harraz menjadi dingin setelah mendengar jawaban Fauzan sepupunya. Mendadak aku grogi jika lelaki itu setuju.

Perkataan Tuan Fauzan memang ada benarnya, tapi aku yakin anakku bisa kubesarkan sendiri tanpa seorang Ayah. Sekalipun Tuan Harraz yang menginginkan hak asuhnya, anakku masih bisa bahagia dengan ibu yang lain, asal wanita baru yang mungkin akan Tuan Harraz nikahi suatu hari setelah kami benar-benar berpisah adalah perempuan yang baik.

"Tak ada getaran hati yang ingin melontarkan kata rujuk untuknya Tuan Hakim," Tuan Harraz menjawab.

Seharusnya aku bahagia, karena nyatanya aku hanya perlu menunggu lebih lama, tidak akan lagi terjebak. Tapi kalimat jujurnya entah kenapa membuatku terluka, hati ini seperti teriris-iris karena untuk ke sekian kalinya sadar ... lelaki ini tidak lagi mencintaiku. Atau memang tidak pernah mencintaiku sedari awal.

"Baiklah jika itu keputusanmu, tadinya aku berniat membantumu di pengadilan andai kamu ingin membersamai Talita lagi," Tuan Fauzan terlihat kecewa. Hati kecilku juga merasakan hal yang sama. Tuan Fauzan seakan menyadari hal itu, membuatku mati-matian mengendalikan ekspresi dan air mata agar tidak kebablasan terlihat sedih.

"Lahirkan anakku," Tuan Harraz berujar. "Setelah kelak dia lahir, kamu akan kupulangkan ke rumah orangtuamu—"

"Anda lupa Tuan, tiga tahun yang lalu ayahku meninggal. Saya yatim-piatu sekarang." Lelaki itu terdiam mendengar jawabanku. Binar penyesalan terlihat di sepasang matanya yang setajam elang.

"Maaf," sahutnya merasa bersalah. Memang tidak seharusnya seorang menantu lupa ayah mertuanya telah tiada. Karena selama kami menikah, lelaki ini memang tidak pernah memulangkanku ke kota asalku, bahkan hanya untuk sekedar bertemu Ayah. Saat Ayah meninggal saja, aku tidak bisa kemana-mana. Tanpa izinnya, aku tidak bisa pergi.

"Kalau begitu, semua biaya kehidupanmu meskipun kita sudah bercerai, masih aku yang tanggung. Akan kuberikan rumah yang berada di dekat sini, uang bulanan dan semacamnya. Hak asuh anak kita, aku yang ambil. Jika kamu tidak setuju, kita bisa rundingkan nanti jika kelak dia lahir." Rasanya memalukan jika mengiakan kesanggupan pria itu. Tapi karena aku tidak punya apa-apa, bahkan keluarga, aku hanya bisa mengangguk.

"Anggap saja, meski kelak kita bukan lagi sepasang suami-istri, sampai kamu menikah lagi atau sampai kamu dengan yakin percaya sudah mandiri, kamu itu tetap tanggungjawabku." 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status