Share

|6| Ambisi Keluarga Ghazalah

Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain. 

Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. 

"Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. 

"Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. 

"Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. 

"Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak berani bicara.

"Kenapa memanggilku?" Lelaki itu bersikap seakan tidak sadar sebutannya dariku berubah.

"Kudengar istikharah terakhirmu berhasil," lanjutku dengan sudut bibir bergetar. Mas Halim yang tadi wajahnya sedikit memiliki rona kembali menjadi datar dan dingin. 

"Jadi apa jawabannya Mas, tentang perasaanmu padaku? Kamu bilang istikharah yang kamu lakukan berkali-kali selama ini untuk memastikan itu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya dan menatap wajah lelaki itu tepat di matanya. 

"Aku menolak untuk merujukmu, itu jawabannya. Seharusnya kamu sudah paham, tanpa perlu kujelaskan lebih 'kan?" 

Kalimatnya menghujam layaknya pisau di dada, tapi di saat bersamaan, satu pemikiran yang terbersit di kepala mereflekskan mulutku untuk bertanya, "Berarti selain semalam, malam-malam sebelumnya yang Anda maksudkan 'gagal' itu, Allah memberitahu Anda mencintai saya?" 

Aku menepuk mulutku yang dengan entengnya berkata demikian. Ya Tuhan Talita, apa yang kamu katakan?! 

Tuan Harraz diam total. Sebelah tangan lelaki itu mengepal, membuatku menelan ludah takut. 

"Apapun jawaban yang Allah berikan padaku di istikharah-istikharah sebelumnya, yang pastinya setelah istikharah terakhir tadi malam yang jawabannya berbeda, aku sudah tidak ragu lagi. Sudahlah, jangan dibahas. Habiskan makanmu." Lelaki yang terlihat kesal tersebut menyudahi pembicaraan. Karena tidak mau bicara lagi, mulutnya sudah dipenuhi air dan nasi.

"Maaf Tuan ...." sahutku lirih sambil merutuki mulutku sendiri.

"Kenapa mendadak memanggilku 'Tuan' lagi?" Tuan Harraz terlihat tidak suka karena aku tidak konsisten dengan sebutan yang kugunakan padanya.

"Tidak boleh ...?"

"Jangan membuat telingaku sakit setelah membuatnya nyaman, panggil saja Mas. Mas Nazar, Mas Zidan dan saudara-saudaraku yang lain kamu panggil 'Mas', kenapa aku tidak?"

"Iya Mas," aku mengangguk menurut.

"Setelah kita benar-benar bercerai, tetap panggil aku Mas," pintanya lagi tanpa menatapku.

"Baiklah."

***

"Bagaimana saranku?" Tanya Dr. Leo setelah memeriksaku lagi. "Dia marah atau terlihat senang, saat kamu panggil Mas?"

"Sepertinya dia senang, tapi tidak terlalu kelihatan," jawabku membuat senyum Dr. Leo melebar.

"Nah 'kan, apa kubilang. Dia pasti senang. Harraz memang begitu, saat senang dan sedih, tidak pernah terlihat jelas. Kamu saja tidak peka, tapi jika Harraz bernafsu aku tebak kamu pasti menyadarinya untuk yang itu," Dr. Leo tertawa setelah bicara seenaknya.

"Karena Harraz tidak marah malah senang sesuai dugaanku, terus panggil dia 'Mas'. Jangan sesekali memanggilnya Tuan lagi, kamu bukan pekerjanya, kamu istri dan perempuan yang akan menjadi mantan istrinya," Dr. Leo mengingatkan dengan mata melotot, setelah itu mengemasi barang-barangnya untuk bersiap pulang.

 "Kalau ada keluhan sampaikan ke Ummu Hilza atau telpon aku langsung ya Lit, kandunganmu benar-benar harus dijaga, ada Harraz dan keluarga Ghazalah yang akan gila jika janin di dalam kandunganmu tersakiti." 

"Dan satu lagi," padahal sudah di ambang pintu Dr. Leo menahan langkahnya lagi, "Jangan terlalu banyak pikiran. Jika kamu stres, bisa memengaruhi kandunganmu. Kamu bisa keguguran karena itu."

 Tak lama Dr. Leo benar-benar pergi. Membuatku yang selama ini hanya memusingkan masa iddahku, ikut kepikiran keamanan janin di perutku. 

Jika dipikir-pikir sebagai calon ibu, aku tidak merawat kandunganku apalagi tubuhku dengan baik. Aku selalu memusingkan hal yang sama membuatku stres, suka telat makan tidak memikirkan ada nyawa lain yang butuh asupan gizi di perutku bukan hanya aku. 

"Ummu, bisa temani aku ke dapur?" Tanyaku terdengar terlalu bergantungan. Ummu Hilza tidak keberatan, aku meminta kesediaannya karena memang wanita itu pernah bilang jika aku kemana-mana jangan pernah sendirian, dia harus ikut serta. 

"Jika kamu ingin memakan sesuatu, Talita aku yang akan membawakannya ke sini." Ummu Hilza menawarkan diri dengan senang hati. 

"Aku ingin memasak sesuatu, boleh 'kan?" Awalnya Ummu Hilza ragu. Melihatku yang begitu berharap wanita itu akhirnya mengizinkan. 

Kami ke dapur untuk memasak sesuatu. Saat sibuk dengan sayur-sayuran dan alat dapur, tiba-tiba Tante Hanifa berteriak melarang. 

Tantenya Tuan Harraz tersebut menjauhkanku dari kompor dan menggantikanku memasak sambil mengomeliku dengan suara lembut. 

Ummu Hilza yang tidak salah 'pun kemakan omelannya juga, tapi pada Ummu Hilza wanita itu menjerit-jerit marah seakan tidak menghormati wanita yang lebih tua belasan tahun darinya. Aneh sekali mereka, padahal kandunganku masih muda sudah sprotektif ini. 

"Ummu Hilza tidak salah Tante," kusentuh lengannya yang tadi terayun-ayun saat menunjuk Ummu Hilza yang tertunduk pasrah. 

"Duh Talita sayang, ada Ghazalah kecil di perutnu jadi jangan banyak tingkah," wanita itu mengingatkan lembut sambil mengusap perutku dengan hati-hati. 

"Lebih baik kamu berdiam diri di dalam kamar, tidur, istirahat dan jangan banyak pikiran. Soal makanan, kamu ingin makan apa akan kami buat atau belikan, kamu tinggal terima-makan aja. Bukan hanya makanan, kalau kamu pengen barang-barang juga akan kami belikan."

"Tidak usah Tante Tapi jangan marahi Ummu Hilza lagi aku akan berhenti bertingkah," ujarku patuh agar tidak diomeli lagi. 

"Duh ini juga wajahmu, kenapa suka sekali sekusam dan sekucel ini?" Meniru Fatimah, Tante Hanifa menangkup wajahku dan mengomentari habis-habisan. "Jika mata Harraz terpesona, mulutnya akan mengikuti isi hatinya untuk merujuk, Talita."

"Ayolah, jangan biarkan kami berusaha sendirian untuk membujuk Harraz agar mau merujukmu. Kamu juga harus berusaha, seperti berdandan, atau menggodanya. Tak apa kok, tidak dosa. Malah kamu dapat pahala jika Harraz mau merujukmu. Satu sentuhan dari Harraz saat masa iddah-mu diiringi dengan kata rujuk yang dilihat beberapa saksi, kamu resmi kembali menjadi istrinya." 

Masakanku yang tidak selesai diserahkan pada Ummu Hilza untuk menyelesaikannya agar tidak terbuang sia-sia. Sedangkan aku dengan lembut diseret Tante Hanifa ke kamarnya. 

Saat kakiku terseret dengan lengan yang digandeng, aku mendapati Tuan Harraz duduk berdua dengan pamannya di ruang tamu. 

Sang paman yang merupakan suami dari Tante Hanifa tersebut bicara serius dengan lelaki itu. Tuan Harraz terlihat begitu menghormatinya, sejak tadi kepalanya tidak terangkat. Seakan lantai yang dia pijak begitu menarik. 

Ternyata, keluarga Ghazalah secekatan itu ingin Tuan Harraz merujukku kembali, sebelum tahun perutku berisi mereka hanya pasrah dan tidak berbuat apa-apa ketika Tuan Harraz menalakku. Bukan hanya Mas Nazar dan Tuan Fauzan, Paman Adam juga turun tangan. Tapi dilihat dari wajahnya yang sedingin es batu, sepertinya Tuan Harraz pendiriannya tidak bisa digoyahkan.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status