Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Prang! Di rumah itu, piring hancur berhamburan. Semua perabotan juga berantakan.Tampak sekali ada pertengkaran luar biasa sebelumnya. “Pergi kau dari sini! Laki-laki tidak tahu diri, masih untung aku dulu mau denganmu!” Mendengar ucapan sang istri, laki-laki itu sontak bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengemasi barang-barang pribadi miliknya. “Mulai sekarang, kau bukan siapa-siapaku lagi, detik ini juga ,aku mengatakan dengan lantang. Aku Talak kamu!” ucapnya lantang. Alih-alih takut, wanita itu berteriak tak kalah keras, “Baguslah, setidaknya mulai sekarang aku tak akan melihat wajahmu yang menjijikan itu!” Brak! Tanpa basa-basi, pintu rumah dibanting keras. Pria itu pun pergi meninggalkan sang istri.Hancur sudah pernikahan dua orang yang dulu saling mencinta--digantikan kemarahan yang meluap.“Mak …”Gadis kecil yang sedari bersembunyi tampak takut. Dia tak mengerti mengapa kedua orang tuanya yang penuh kasih sayang--terus-menerus bertengkar.Hanya saja, wanita itu just
“Bang, kamu gak kerja lagi hari ini?”Adi menggeleng lesu. “Enggak dek, masih belum ada yang butuh tenagaku.”“Kalau belum ada orang yang butuh tenaga Abang, ya Abang cari kerjaan lain dong! Jangan malah enak-enakan duduk ngopi aja. Tuh beras sama keperluan dapur lainnya udah mau habis! Apalagi sebentar lagi mau bayar uang SPP Nadia, mau dapat uang dari mana, kalau Abang gak kerja?”“Iya, nanti Abang tanya-tanya sama temen.”“Kok nanti? Sekarang, dong!” ucap Santi ketus. Dia pun kembali ke dalam rumah sambil cemberut. Baginya, sang suami tidak ada usaha sama sekali.Sudah dua bulan ini, kerjanya di rumah saja. Alasan sang suami adalah tidak ada yang membutuhkan pijat refleksi darinya.Padahal, kebutuhan rumah ‘kan semakin menumpuk!“Bun, minta uang. Aku ada kas hari ini.” Suara anak bungsunya menyadarkan Santi dari lamunan.Namun, wanita itu masih dikuasai emosi.Tanpa memedulikan gadis kecil yang masih mengadahkan tangannya ke depan, Santi pun berlalu.“Minta saja sana sama ayahmu,”
Seminggu berlalu setelah percakapan itu, tetapi sang suami belum juga mengirim uang.“Ck! Katanya gajinya mingguan, kok abang gak ngirim-ngirim sih!” gerutu Santi sebal.Entah mengapa, yang dipikirkan hanya uang saja.Dia seolah tak peduli apa pekerjaan suaminya dan kesulitannya.Tut!“Bang, ini sudah seminggu Abang kerja, kenapa belum mengirim uang? Katanya mingguan?” cerocosnya setelah sambungan telepon diangkat oleh suaminya.“Ya Allah dek, bentar, nanti sore Abang kirim kerekening Nadia, sekarang Abang lagi kerja.”“Ya sudah! Awas aja kalau nanti sore belum dikirim!” ucapnya ketus kemudian langsung memutuskan panggilan sepihak tanpa memberi salam.Adi hanya mengelus dada, dan langsung kembali bekerja.Sayangnya, Al-Dasim mulai bekerja. “Istrimu itu cerewet. Yang dipikirkannya hanya uang. Bahkan kemaren saat kau menepolnnya dan mengatakan kau tak enak badan, dia malah menghinamu. Apa kau ingat? Dia bilang belum seminggu kau kerja sudah mau sakit dan dia juga bilang kalau kau janga
“Emak dari mana?”“Jangan banyak Tanya! Sana bikin kopi buat Om Wawan!”Nadia tak membantah, dia berlalu ke dapur. Sedangkan Wawan menatap Nadia dengan pandangan berbeda, tanpa Santi sadari.“Aku ke dalam dulu ya, mau naruk ini di kamar.”ucapnya sambil memperlihatkan paper bag-paper bag kepada Wawan.“Mak, gak baik bawa temen laki-laki ke dalam rumah di saat Ayah gak ada di rumah.”“Heh, gak usah ceramah deh! Kau sama kayak bapakmu, sok Alim.”“Emakk … Mila mau minta uang, beli jajan.”“Ini lagi! Bisanya Cuma minta uang!” desisnya sambil mendorong Mila.Untung saja Nadia dengan sigap menangkap adiknya, jika tidak. Mungkin kepala Mila sudah terbentur sisi meja.“Mak!”“Apa?! Jangan melihatku seperti itu!”Santi pergi setelah menoyor kepala Nadia cukup keras.“Huhuhu .. Ayah.”“Sabar ya dik, Adik mau jajan ‘kan? Nanti kakak kasih uang, ya. Sekarang Adik jangan nangis lagi, ya.”Gadis kecil tersebut mengangguk cepat dan langsung mengusap air matanya dengan kasar, Nadia tersenyum.“Heh!
“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.Al-Dasim tertawa puas.“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia
“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”“Ketemu?”“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada d