Seminggu berlalu setelah percakapan itu, tetapi sang suami belum juga mengirim uang.
“Ck! Katanya gajinya mingguan, kok abang gak ngirim-ngirim sih!” gerutu Santi sebal.
Entah mengapa, yang dipikirkan hanya uang saja.
Dia seolah tak peduli apa pekerjaan suaminya dan kesulitannya.
Tut!“Bang, ini sudah seminggu Abang kerja, kenapa belum mengirim uang? Katanya mingguan?” cerocosnya setelah sambungan telepon diangkat oleh suaminya.“Ya Allah dek, bentar, nanti sore Abang kirim kerekening Nadia, sekarang Abang lagi kerja.”
“Ya sudah! Awas aja kalau nanti sore belum dikirim!” ucapnya ketus kemudian langsung memutuskan panggilan sepihak tanpa memberi salam.
Adi hanya mengelus dada, dan langsung kembali bekerja.
Sayangnya, Al-Dasim mulai bekerja.
“Istrimu itu cerewet. Yang dipikirkannya hanya uang. Bahkan kemaren saat kau menepolnnya dan mengatakan kau tak enak badan, dia malah menghinamu. Apa kau ingat? Dia bilang belum seminggu kau kerja sudah mau sakit dan dia juga bilang kalau kau jangan sakit karena dia dan anakmu butuh uang. Dia sama sekali tak memikirkan kondisimu yang kerja berat disini,” bisiknya di telinga Adi.
Pria itu terdiam. Emosi mulai tersulut di kepalanya.“Hey, Di! Kok kau melamun saja? Barang di sana tolong diangkat,” tunjuk Jamal pada tumpukan kardus keramik yang tertata rapi di pojok ruang.
Seketika Adi tersadar dari lamunan.
“Mau dikirim ke mana ini, Mal?” tanyanya
“Ke toko Material di Luar Kota. Oh iya, kau ikut ya, temenku yang biasanya, pulang lebih dulu, katanya istrinya lahiran.”
“Ok, Mal. Biar nambah-nambah buat dikirim ke anak istri.”
“iya, iya. Nanti di perjalanan kau teransfer lah itu uang.”
Mereka pun berangkat.Dan untungnya, bayaran Adi mulai terkumpul.
Dikirimkannya ke Santi dengan harapan sang istri tak marah lagi!
***
“Mak, ini Ayah transfer uang ke rekening aku.” Ucap Nadia putri sulungnya sambil memberikan ponselnya kepada sang Ibu.
“Loh, kok cuma segini yang dikirim Ayahmu, Nad?”
“400 Ribu mana cukup untuk seminggu, ini juga harus bayar hutang sama Naya, uang SPP kamu kan Emak pinjam ke dia dulu, sehari setelah Ayahmu kerja.”
“Memangnya Emak pinjam berapa?”
“Ya, pinjam 300 Ribu.”
“Hah? Ya Allah, Mak. Uang SPP Nadia itu hanya 150 Ribu, separuhnya lagi dibuat apa Emak? Kan sebelum berangkat Ayah ngasih uang, cukuplah buat biaya dapur seminggu.”
“Hallah … uang segitu mana cukup? Gak usah sok tau kamu! Belum lagi adekmu Mila minta jajan.”
“Berapa sih, uang yang Emak kasih buat jajan Mila? Akhir-akhir ini Mila minta jajannya ke aku, loh. Uang yang aku tabung untuk beli sesuatu udah aku relain buat jajan Mila.”
Santi gelagapan.
“Anu—itu, iya Emak beli baju dan daster baru!”
“Ya Allah, Emak, buat apa? Kan baju Emak sama dasternya udah banyak, Nadia liat Emak sering ganti baju. Sampek numpuk itu cucian kotor, kebanyakan bajunya Emak.”
“Heh diam saja! Itu baju udah lama. Emak pengen punya baju baru. Kau diam saja, ngomong sama kamu itu gak ada akhirnya. Gak pernah ngalah sama orang tua!” Hardiknya.
Nadia hanya bisa pasrah sambil mengelus dada, sedangkan Santi pergi ke luar rumah sambil mengomel.
“Kalau begini terus ya gak pernah cukup uang yang di berikan Ayah, lebih baik aku buat kue untuk di titipin ke warung sebelum berangkat ke sekolah, pulang sekolah mungkin bisa jual seblak atu cikie-cikie nantinya.”ucapnya penuh tekad.
Nadia langsung bergegas ke kamar, dia membuka laci yang berisi uang tabungannya selama ini. Entah itu di kasih keluarganya atau uang upah diberikan Mbak Minah ketika ia menyuruh Nadia untuk beli sesuatu di toko ujung desa.
“Alhamdulillah … Insya Allah cukup untuk modal awal bikin kue.”
Tiba-tiba ponsel Nadia berdering, ia tersenyum melihat nama dilayar ponselnya.
“Assalamualaikum, Ayah.”
“Waalaikum salam, Nak. Bagaimana kabar Nadia?”
“Alhamdulillah Yah, oh iya, Nadia mau jualan kue, bagaimana menurut Ayah?”
“Apa tidak mengganggu aktifitas sekolah kamu Nak, hum?”
“Enggak Yah, kan malam Nadia yang bikin adonan kuenya, pagi-pagi tinggal di olah dan sebelum berangkat Nadia akan titip di warung-warung sini, atau bias juga di kantin tempat Nadia sekolah.”
“Memangnya ada apa, sampai kamu berinisiatif buat jualan kue? Apa uang yang Ayah kirim tidak cukup?”
“Bukan, bukan begitu Ayah, hanya saja agar Nadia punya kesibukan dan bias punya penghasilan sendiri.”
“Emak masih beli baju terus?” terkanya.
Nadia terdiam tak menjawab pertanyaan sang Ayah.
Adi menghela nafas berat, istrinya sangat boros. Santi lebih suka beli keperluan diri sendiri ketimbang memikirkan isi perut dirinya dan kedua anak mereka. Jika dilarang dia akan marah besar dan mengatakan malu kepada tetangga yang lain, karena baju yang dia pakai itu-itu saja. Adi tahu, jika itu hanya alasan Santi, dari dulu istrinya selalu ingin lebih unggul dari pada yang lain. Padahal Santi tahu, ekonomi keluarganya yang pas-pasan.
“Ya sudah, Ayah balik jalan dulu ya. Ini kebetulan Ayah di ajak Cik Jamal buat ngirim barang keluar kota.”
“Baik Ayah, titip salam buat Pakcik.”
“Insya Allah, nanti Ayah sampaikan.”
Adi menutup telfon dari sang buah hati, dia merasa gagal menjadi seorang Ayah. Seharusnya Nadia hanya harus fokus pada sekolahnya. Adi menghela nafas berat.
“Di--Di, kau masih muda, tapi sering melamun saja, apa melamun sudah menjadi hobi barumu sekarang?” tegur Jamal.
“Hahaha … kau seperti ‘tak tahu apa yang menjadi beban pikirku saja.”
“Apa lagi? Sekarang ‘kan sudah kerja. Tidak perlu kau pusing-pusing lagi untuk pemasukan keluarga. Kerja di sini juga enak. Ada mess, ‘tak perlu pusing buat bayar kos.”
Adi hanya tersenyum hambar, dalam hatinya membenarkan semua apa yang dikatakan kawannya itu. Tetapi entahlah, seperti masih ada yang mengganjal di hatinya.
Sayangnya ... kekhawatirannya terbukti tanpa dia ketahui.
Istrinya kini tengah berduaan saja dengan sang mantan kekasih!
“Ternyata kau masih sama seperti dulu, San.”
Wanita itu hanya tersenyum, tetapi pipinya merona menahan malu.
“Aku sudah memiliki anak, Wan.”
“Tetapi masih cantik.”
Mendengar itu, Santi makin tersipu. Hanya saja, bayangan anak-anaknya melintas.
“Oh iya, Wan. Aku harus pulang, takut anakku nyariin.”
“Biar kuantar.”
“Tidak usahlah.”
“Tidak boleh menolak, aku tidak mau kalau kulit mulusmu sampai terkena matahari,” ucapnya merayu.
“Ah, kau ini, tetapi sungguh tidak perlu. Ini saja dibelikan baju dan barang-barang sama kamu aku sudah sangat senang, padahal kita baru saja bertemu setelah sekian lama.”
“Tak masalah, Ayok!”
Mereka pun beranjak dari kursi dan langsung berlalu menuju mobil.
“Ternyata mantan kekasihmu yang dulu lebih perhatian dan memanjakanmu. Tidak seperti suamimu yang taunya hanya mengekang kesenangamu! Wawan ini juga terlihat kaya, tidak seperi suamimu yang miskin,” ujarnya Dasim berbisik di telinga Sinta.
Deg!
Pikiran Santi berkelana.“Wawan dan Adi jauh berbeda, Wawan perhatian, royal, tanpan dan yang paling penting dia itu kaya, sedangkan Adi, pencicilan, aku Cuma mau beli baju baru aja ditanyain terus, pelit, miskin lagi. Masih untung kalau tampan, ini mah kucel, hitam. Gak sebanding sama aku yang cantik dan masih terlihat awet muda.”
Mengetahui targetnya mulai bimbang, Kakek Tua itu tersenyum menyeringai.
Al Dasim yang pandai dengan hasutan!
“Teruslah merendahkan suamimu, hilangkan rasa syukur di hatimu. Wahai Bani Adam …”“Emak dari mana?”“Jangan banyak Tanya! Sana bikin kopi buat Om Wawan!”Nadia tak membantah, dia berlalu ke dapur. Sedangkan Wawan menatap Nadia dengan pandangan berbeda, tanpa Santi sadari.“Aku ke dalam dulu ya, mau naruk ini di kamar.”ucapnya sambil memperlihatkan paper bag-paper bag kepada Wawan.“Mak, gak baik bawa temen laki-laki ke dalam rumah di saat Ayah gak ada di rumah.”“Heh, gak usah ceramah deh! Kau sama kayak bapakmu, sok Alim.”“Emakk … Mila mau minta uang, beli jajan.”“Ini lagi! Bisanya Cuma minta uang!” desisnya sambil mendorong Mila.Untung saja Nadia dengan sigap menangkap adiknya, jika tidak. Mungkin kepala Mila sudah terbentur sisi meja.“Mak!”“Apa?! Jangan melihatku seperti itu!”Santi pergi setelah menoyor kepala Nadia cukup keras.“Huhuhu .. Ayah.”“Sabar ya dik, Adik mau jajan ‘kan? Nanti kakak kasih uang, ya. Sekarang Adik jangan nangis lagi, ya.”Gadis kecil tersebut mengangguk cepat dan langsung mengusap air matanya dengan kasar, Nadia tersenyum.“Heh!
“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.Al-Dasim tertawa puas.“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia
“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”“Ketemu?”“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada d
Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah. Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya. Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin. Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain? Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya sedang selingkuh di sana. “An .. aku—aku pulang dulu, y
“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin
Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka
Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!
Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila