Share

Chapter 2

Aria kembali melihat langit biru dan tumpukan awan yang cerah, tetapi kali ini dia berpikir langit dan awan tersebut sedang mengejek dirinya yang ditimpa musibah dan terlihat konyol.

Menghela napasnya, Aria kemudian mulai berbicara dengan dirinya sendiri, “Apakah ini benar-benar nyata?”

Selama beberapa waktu, ia telah melakukan banyak uji coba untuk kontrol perintah dasar yang harus ia ketahui. Dan hasilnya ia harus mengerjakan itu secara manual.

Sebagai contoh, saat ingin mengambil barang di dalam tempat penyimpanan yang biasanya pemain selalu atur menggunakan tombol perintah, Aria harus membuka tas tempat penyimpanan itu lalu melihat isinya dan mengeluarkan barang yang ingin ia keluarkan.

Tas isi penyimpanan ukurannya terbilang kecil, namun itu seperti tas ajaib yang dapat menampung banyak barang.

Karena Aria mengeluarkan banyak uang untuk fungsi seperti ini, tas Aria mampu menyimpan 1200 barang tanpa mempedulikan berat benda dan telah mencapai batas maksimal. Sisanya ia simpan di tempat lain.

Meski begitu di dalam kepalanya, Aria memikirkan berbagai macam hal yang mungkin bisa saja terjadi. Namun dia masih tinggi berharap apa yang ia alami saat ini hannyalah sebuah bug.

Meski ia tahu bahwa dia berbicara dengan salah satu NPC (Non Player Characters), bahkan sempat merespons gerakan tangannya adalah hal yang sangat aneh walaupun dengan teknologi yang diimplementasikan di game Godtales.

Di tengah konflik pikiran yang Aria sedang berlangsung, pendengarannya yang tajam akibat status tingginya menangkap ada sesuatu sedang mendekat, suara kereta kuda!

Awalnya, Aria tidak menghiraukan hal tersebut karena suara yang didengar tidak sedang menuju ke sosoknya yang sedang terbaring bebas di padang rumput luas.

Sayangnya, Aria menyadari hal aneh. Kereta kuda ternyata semakin dekat dari tempatnya berbaring.

Aria kemudian bangkit. Ketika Aria merasa sang penunggang dapat melihat dirinya di hamparan rumput luas, ia mengangkat kedua tangannya dan melakukan gerakan untuk menarik perhatian orang tersebut.

Menyadari dan melihat Aria melambai pada dirinya, sang penunggang kemudian mengubah arah jalan kudanya yang semula lurus menyusuri jalan, kini mendekat ke arah Aria.

Aria yang juga menyadari orang tersebut melihat dirinya, menurunkan tangannya dan menunggu sang penunggang kuda.

Semakin mendekat, Aria kemudian melihat bahwa orang yang dipanggilnya adalah seorang pria pendek berumur akhir 40 tahun, berbadan gemuk dan memakai pakaian yang cukup bergaya dengan topi seperti mahkota yang dipakainya.

Pria tersebut kemudian berhenti setelah ia tepat berada di depan Aria.

“Apa kau perlu sesuatu?”

“Ya, pak. Apakah aku boleh menanyakan sesuatu?”

Pak Gemuk itu kemudian menyipitkan matanya, bisa dibilang itu cukup mengintimidasi dengan kumis tipis yang dimiliki oleh dirinya.

“Selama aku bisa menjawabnya.”

Aria kemudian tersenyum menerima jawaban yang membuat dirinya sedikit lega.

Aria menginginkan informasi yang berguna baginya, dan ia harus mencari itu di mana saja.

Kemungkinan dirinya akan selamat lebih besar jika ia mempunyai informasi yang banyak, setidaknya sampai—yang Aria harapkan—bug itu selesai meskipun Aria mengambil keputusan yang terburuk yang bisa terjadi.

“Apakah kau adalah seorang pedagang, Pak?”

Pak Gemuk itu langsung menjawab, “Ya, aku adalah seorang pengusaha di Kerajaan Mitridem.”

“Jadi, yang di sana adalah Mitridem dan kau keluar dari tembok batu yang besar itu?” tanya Aria.

“Ya, karena di sanalah tempatku.”

“Apakah semua kerajaan harus menggunakan kartu identitas untuk masuk?”

“Tidak, hanya di negeri ini saja.”

Pikirannya kemudian menyimpulkan sesuatu setelah mendapatkan fakta yang baru ia dapatkan.

Aria kemudian tersenyum kembali.

“Maafkan aku, Pak. Tapi, bisakah aku ikut bersamamu? Setidaknya, jika kau pergi ke negeri yang lain aku akan berhenti di sana.”

Pak gemuk itu sedikit curiga tetapi kemudian ia tidak mempermasalahkannya. “Oke, tapi bisa kau sebutkan alasanmu?”

“Sebenarnya, aku adalah orang yang tinggal di sebuah tempat yang jauh dan tidak ada manusia di dalamnya. Aku baru saja keluar untuk mengetahui dunia yang lebih luas lagi.”

Tentu saja itu bohong dan hanya karangan yang dibuat oleh Aria.

Dia terpaksa menyebut dirinya sebagai seorang yang hidup terpencil dan tidak berinteraksi dengan manusia lainnya.

Hal ini dibutuhkan oleh Aria agar orang dapat percaya bahwa dia bukan orang yang jahat, terlebih Aria tidak mengetahui dunia yang ditinggalinya ini seperti apa.

Menjadi seseorang yang tidak tahu dunia luar adalah alasan terbaik di dunia yang mungkin saja peradaban metropolitan tidak ada.

Namun, sang pengusaha seperti tidak puas dengan alasan yang dibuat Aria dan melihat Aria dengan lebih teliti lagi.

“Apa ada yang salah?” tanya Aria gusar.

“Tidak, hanya saja kau tidak terlihat seperti orang yang hidup terpencil.”

Aria kemudian menyadari bahwa yang dimaksud pedagang itu adalah pakaiannya yang mencolok dari tatapan pak tua gemuk. Bahkan, terlalu mewah bagi seorang yang hidup di daerah terpencil seperti yang dikarang olehnya.

Pakaian serba hitam yang dikenakan Aria lebih mirip seperti baju militer yang sering ada di berbagai macam komik atau novel yang beredar.

Desain baju Aria dibeli dari seorang drawing artist yang terkenal di sosial media. Aria memang sudah menggemari artist tersebut, kemudian ketika mengetahui desainnya bisa dipakai di dalam game, Aria langsung membeli desain tersebut. Dan itu cocok dipakai di karakter yang dibuat Aria.

“Maksudmu pakaian ini? Ini aku dapat dari keahlianku menjahit yang diajarkan oleh ayahku dulu. Untuk bahannya sendiri, aku dapatkan di sekitar lingkunganku dulu. Aku bersyukur dikelilingi hal yang bagus di tempatku dulu.”

Selain menjahit, apa yang dikatakan Aria tadi juga tentu merupakan karangan untuk dirinya agar tidak dicurigai. Tapi Aria juga menyadari, alasan tidak jelas seperti itu sulit untuk dipercayai.

Mata mereka berdua saling bertatapan satu sama lain, dan Aria berharap karangan yang ia buat bekerja.

“Baiklah, kau boleh naik.”

Dengan jawaban itu, Aria kemudian menaiki kuda yang membawa banyak barang di belakangnya layaknya seorang pengusaha.

Setelah itu, mereka pergi dengan si pengusaha sebagai kusir untuk mengendalikan kedua kudanya, dan berjalan dengan arah awal mereka jalan sebelum bertemu Aria.

Selama perjalanan, Aria melihat pemandangan sekitar. Dia tidak melihat sesuatu seperti bangunan beton ataupun yang lainnya yang berhubungan dengan dunia modern.

Banyaknya jam yang Aria mainkan membuatnya berpikir bahwa itu adalah dunia yang biasa.

Di dalam game membuat ia teringat kembali bahwa seluruh kota maupun desa ditutupi oleh tembok, berbeda dengan dunia modern yang populasinya sudah meningkat banyak.

Walau tidak semuanya, Aria dapat mengingat kembali saat ia baru saja bermain permainan RPG ini.

Ia tersadar kembali tentang perasaan awal ia masuk ke dunia dan menyadari bahwa dunia virtual bukanlah sesuatu yang buruk.

Kemudian Aria mengingat sesuatu yang penting. “Kau bilang kau berasal dari Mitridem, bukan?”

“Ya, aku percaya aku dilahirkan di sana,” jawab Pak gemuk itu.

“Berarti, kau mempunyai kartu identitas, bukan begitu?”

“Ya! Tentu. Milikku adalah pengusaha karena aku adalah pengusaha.”

“Bolehkah aku untuk melihat itu?”

“Tentu. Tunggu sebentar.”

Melihat Pak Tua Gemuk langsung menyetujui permintaan Aria, menunjukkan kartu identitas ke orang lain berarti bukanlah hal yang besar.

Tapi, Aria masih khawatir apakah memang seperti itu? Pasalnya, dari pengalamannya, menunjukkan kertu identitas ke orang yang tidak dikenal akan merugikan diri sendiri.

Pengalaman itu bukan pengalaman Aria sendiri, melainkan orang-orang yang ‘dekat’ dengannya.

Sambil mengendalikan kudanya, si pengusaha meraba-raba saku di seluruh tubuhnya dan menggali sampai bagian terdalam kantung tersebut.

Ia kemudian menemukan kartu miliknya di saku dadanya. Setelah itu si pengusaha memberikan kartu itu kepada Aria.

“Ini.”

“Terima kasih.”

Menerima kartu tersebut, Aria kemudian melihatnya dengan teliti.

Kartu milik sang pengusaha memiliki motif di ujungnya dan dikelilingi oleh garis di setiap sisinya. Bentuknya persegi panjang berwarna coklat dan tertera tulisan Eksklusif di tengah atas setelah garis dengan huruf yang aneh dan belum pernah Aria lihat. Meski begitu ia mampu membaca tulisan itu.

Ia kemudian melihat sebuah lambang seperti mahkota dengan 3 buah puncak mahkota yang ditampilkan. Di bawah lambang tersebut tertera Margins Co. Aria meyakini bahwa itu adalah korporasi yang dimiliki oleh si pengusaha.

Kemudian bergeser ke samping, ia melihat tulisan bahwa kartu tersebut dikeluarkan atas nama penguasa yang bersangkutan, dan diikuti dengan tulisan diberikan kepada Magnius.

“Magnius?” ucap Aria tanpa sadar.

“Oh, itu adalah namaku. Maaf belum memperkenalkan diriku. Berapa cerobohnya aku, sebagai pengusaha ini seharusnya tidak boleh terjadi. Perkenalkan, aku adalah Magnius, orang yang mempunyai Margins Co.”

Aria lalu mengembalikan kartu milik Magnius sambil meminta maaf juga. “Tidak, aku juga minta maaf. Namaku adalah Aria, seperti yang sudah aku ceritakan, aku adalah orang pedalaman.”

Aria sempat ragu untuk mengatakan hal itu, namun ia memutuskan bahwa itu baik-baik saja. Aria kemudian melihat ke arah barang-barang di belakang yang dibawa oleh si pengusaha.

Terdapat beberapa tumpukan kotak kayu di dalamnya. Di kotak tersebut terdapat lambang seperti mahkota, lambang yang sama seperti yang ia lihat di kartu identitas milik Magnius.

“Apakah itu barang usaha milikmu?”

“Ya, benar. Bukan jumlah yang banyak memang, tapi aku jamin kualitasnya.”

“Dan itu adalah?”

“Anggur! Minuman ini disukai oleh banyak orang. Dari rakyat miskin, kesatria, bangsawan, raja, hingga tokoh agama suka bermabuk-mabukan!” katanya sambil tertawa dengan keras.

“Apakah kau menjual permata juga?”

“Apa yang kau maksud adalah perhiasan? Ya, tentu. Itu ada di anak perusahaanku. Aku tidak ingin mengurus hal itu, jadi aku memberikan tugas itu kepada orang lain.”

Perkataan itu dikatakan secara mudah oleh Magnius sebagai seseorang pemilik perusahaan besar.

“Tapi aku lebih menyukai anggur yang target pasarnya untuk semua orang. Jadi, aku tidak perlu khawatir tentang penjualan yang terbatas hanya pada satu kalangan. Perhiasan adalah barang yang bagus, tapi warga desa tentu tidak dapat membelinya, bukan?”

Aria berpikir itu sangat logis. Di dunia dengan latar belakang abad pertengahan, bagi warga desa yang kebanyakan berada di bawah garis kemiskinan, akan sangat sulit untuk membeli perhiasan. Apa yang mereka utamakan adalah perut mereka sebelum wajah mereka.

“Apakah kau mempunyai pelanggan tetap akan hal itu?”

Magnius tertawa, “Ya, aku punya. Biasanya ia pakai untuk hadiah ke kerabatnya.”

Aria kemudian mencari sesuatu di dalam tasnya. Yang ia cari adalah sesuatu yang mungkin ia bisa mendapatkan kembali hal itu dengan yang lebih besar nilainya.

“Kalau begitu, bagaimana dengan ini?”

Dia mengeluarkan sebuah cincin dengan batu merah yang dibentuk menjadi persegi. Batu merah itu mengeluarkan warna merah yang cantik, ditambah emas sebagai yang menopangnya dari bawah, batu merah tersebut memancarkan aura kemewahan yang memikat Magnius dalam sekali lihat.

Magnius yang melihatnya mengeluarkan sedikit kegembiraan di suaranya. Melihat seperti ia yakin itu adalah barang yang sangat berkualitas.

“I-itu adalah batu ruby, benar?” Magnius terbata melihat indahnya warna yang dihasilkan batu ruby tersebut.

Di dalam hatinya, ia sangat ingin menyentuh barang tersebut, namun harga dirinya sebagai seorang pengusaha menahannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status