"Masa' cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami. Annisa Saktiara, yang dipanggil Nisa ini dulunya seorang anak konglomerat yang jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Annisa bersikeras. Cinta membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Apalagi pada awalnya Iman memperlakukannya bak seorang putri. Ia semakin mabuk kepayang. Tapi perjalanan hidupnya tidak seperti yang Nisa bayangkan. Nisa mulai merasakan pahitnya hidup susah. Apalagi sikap Iman yang pemalas dan lebih mendengarkan ucapan saudara saudaranya. Apakah Annisa menyesal?
View More"Papah kok lebih ngebelain mereka, sih? Mereka itu cuma sementara, Pah. Kalau renovnya udah selesai mereka juga nggak mancing lagi di sini.""Nah, itu Mamah tau. Kita manfaatin aja yang 3 hari ini. Lampak penuh, Mah. 2 season! Udah lama Kita nggak begitu.""Tapi cuma 3 hari, Pah. Bagaimana kalau pemancing Kita yang memilih pergi?""Nggak akan, Mah. Mereka pemancing - pemancing setia Kita. Udah tahunan mereka di sini."Meski tidak suka, Nisa tidak ingin berdebat lagi. Ia hanya berharap para pemancingnya tidak benar - benar 77kabur ke tempat lain gara - gara ini."Apalagi orang gila itu ada terus!" dengusnya sebal. Anet harus datang lebih awal karena Ina tidak mau menghadapi mereka sendirian."Sebel, Net. Mereka itu udah samanya sama yang punya empang.""Sama gimana, Bu?" Anet bertanya meski ia sudah dapat menebak jawabannya. Ina memiringkan telunjuk di dahinya. "Sinting, gila, miring." Anet tertawa. Ia menyerahkan kopi pada orang di depannya sambil bertanya, "Nama Abang siapa?""Ko
Meski yang bertugas di lampak kecil tetap merasa berat melangkah, mereka tetap bertahan. Kini Cepot juga merasakannya. "Beneran berat, Bos." kali ini Iman percaya."Sekarang banyakin kocokan di lampak besar."Iman meminta yang bertugas di papan lebih banyak memilih nomor di lampak besar untuk dikocok. "Bagaimana kalau lampaknya penuh, Bos?""Itu 'kan baru kalau. Nyatanya lampak Kita nggak pernah penuh bulan - bulan terakhir ini.""Ini 'kan kalau, Bos.""Nanti Aku bantuin. Rewel banget, sih?" sungut Iman. Tapi ia berharap lampaknya akan penuh lagi seperti dulu. "Maaf ya para sedulur." Ia juga meminta pemancing yang duduk di lampak kecil agar lebih bersabar. "Nambaha orang aja atuh, Bos!" tetap saja para pemancing itu complain. Mereka itu memang selalu ingin cepat. Iman hanya dapat tersenyun pahit. "Jangan nambah orang ya, Bos."Anak - anak itu sendiri yang tidak mau orangnya ditambah karena penghasilan mereka lebih sedikit karena harus dibagi 4."Memang nggak bisa terus begini, Bo
Dahi Anet yang berkerut menjadi pertanyaan Ina. Ia meletakkan gelas - gelas kotor di dalam tempat cucian piring tapi tidak langsung mencucinya. Ina memilih mendekati Anet yang menghadapi buku catatannya. "Kenapa, Net?" Anet mengangkat wajahnya. Alisnya yang tebal juga terangkat menanggapi pertanyaan Ina. "Itu, muka Kamu sampai butek banget kayak air kobokan." Anet menarik nafas panjang. "Ada orang gila, Bu." hah? "Ada orang gila? Dimana? Kok nggak ada yang ribut? Kenapa nggak diusir, sih?" tanya Ina beruntun. Ia langsung berdiri di pintu warung dan melihat keluar. Mana orang gilanya? "Orang gilanya ikut mancing." Hah? Ada orang gila ikut mancing? Ina semakin tidak mengerti. "Ibu nyuci gelasnya aja dulu, Aku ngitung dulu. Nanti Aku ceritain, deh." Ina terpaksa mengangguk. Ina kembali ke tempat cuci piring dan mengerjakan tugasnya. Anet juga mulai menghitung. Ina lebih dulu selesai. Ia dengan tidak sabar duduk menunggu Anet. "Cepat, Net! Keburu masuk season 2.""Iya." jawab Ane
"Okelah kalau begitu." Nisa tersenyum. Ina memilih sendiri tugas yang tepat untuknya."Tapi Kamu beneran nggak capek, Na?""Nggak lah, Nis. Biasanya Aku jauh lebih capek dari ini.""Tapi hasilnya juga jauh lebih banyak." Nisa mengusap bahu Ina. "Bagaimana reaksi Tanto kalau Kamu kerja di sini? Malam, lagi.""Aku nggak perduli, Nisa. Aku bilang Aku cari uang cuma buat jajan anak - anakku. Sekarang kalau Dia masih malu nganggep Aku istrinya, masih ngerasa jadi Bapak, Dia harus usaha." pikiran Nisa traveling. Sebenarnya dirinya juga bernasib sama andai tidak ada pemancingan ini. "Aku bilang, Aku dan anak - anak nggak makan kalau Dia nggak mau nyari uang."Nisa menghela nafas."Kamu pasti masih punya simpanan, ya?" Ina mengangguk. Tapi Tanto tidak tahu ia punya simpanan itu karena Ina selalu mengatakan tidak punya uang untuk mereka makan sehari - hari."Nisa yang kasih." itu kalauTanto bertanya bila ada lauk di meja makan mereka. Kalau simpanan itu sudah habis, ia tidak tahu lagi baga
"Yasa berhenti kerja kayaknya. Udah beberapan hari Dia nggak masuk. Nggak ngasih kabar juga.""Catur dan Anda kerja berdua aja, Mereka sanggup, Pah?""Itulah." tentu saja mereka keteteran. Seringkali Iman harus turun tangan untuk me membantu mereka. "Nggak ada orang lagi ya, Bos?" komentar para pemancing. "Emang kenapa kalau Saya ikut bantuin?" sergah Iman kesal. Para pemancing ini selalu ada saja yang dikomentarin."Bos lelet!" kurang ajar banget memang. Iman menjebik. "Kan emang bukan passionnya!" "Terus passionnya apa?" netra - netra bertanya menatap Iman. "Passionnya jadi Bos, lah! Beginian mah nggak level!" Adududududuh..!"Cepot suruh jadi Cady aja, Mah." Iman meminta pada Nisa. "Biar Ina bisa masuk warung." kata Iman lagi. Sepertinya itu bagus, tapi apa Cepot mau?Dan tanggapan Cepot adalah:"Nggak mau, Bu. Saya nggak mau jadi Cady.""Kenapa? Penghasilan Cady lebih besar, lho.""Biarin. Saya senang di warung, bu.""Tapi Cady lagi butuh orang, Sep.""Ibu ngusir Saya dari w
'Malam ini aja? Bisa jadi kebiasaan!' gerutu hati Anda. Para pemancing itu tidak boleh diberi kesempatan. Mereka memang gila memancing. Hoby mengalahkan kebutuhan utama."Bu Nisa gimana, sih? Dia mau tidur mah tidur aja! Yang kerja 'kan ada!""Padahal kalau di sini sampai season 3, Kita nggak usah kemana - mana.""Iya! Payah banget!" Anda, Catur dan Yasa hanya diam tanpa dapat membela. Tapi mereka memang tidak sanggup bila harus ke season 3.'Maaf, Bu.' ucap hati mereka masing - masing. Dengan cara ini mereka tidak mendapat omelan dari Bos mereka, Iman. Dan Nisa rela mendapat kecaman dari para pemancing.Setelah ucapan salam terkirim si Mbak akhirnya benar - benar datang."Maaf, Bu. Saya mau pamit." katanya to the point. Meskipun kesal, Nisa merasa lega. "Di tempat Saya nggak ada yang jagain warungnya." Katanya lagi melihat Nisa hanya diam menatapnya. "Ya. Baik - baik di sana." ujar Nisa tanpa ingin menahannya. Si Mbak terperangah. Nisa bersikap tidak perduli atas pengunduran dir
Bibir Raihan lalu mengerucut. Doni pada awalnya memang tidak mengijinkannya meminjam sepedanya. Tapi lama kelamaan ia akan memberikan sepedanya untuk ia bawa bermain. Mereka akan bergantian bermain sepeda.Doni pulang mengikuti Mamahnya. Mukanya ditekuk. Bukan kali ini ia mendapat dampratan dari Uwaknya itu. Dan itu sangat mengganggu moodnya saat bermain. "Lagian ngapain sih, orang itu selalu duduk di sana? Mengganggu banget!" sungutnya kesal. Doni secara tidak sadar tumbuh sebagai pribadi yang suka mengumpat seperti Ijay. Ia juga mempunyai stok bahasa yang tidak dimiliki anak - anak seusianya. "Orang itu? Siapa?" tanya Nisa heran. "Itu! Kakak Mamah yang tercinta!" Nisa speechless. Sejak kapan ia mempunyai kakak? Begitulah, Doni dan Ijay tidak saling menyukai satu sama lain. Doni pulang setelah mengantarkan semua oleh - oleh seperti yang diperintahkan Mamahnya dan kembali ke kamarnya. Ia ingin rebahan. "Don, bantuin Mbak dulu, dong." pinta Wiwi. Doni keluar lagi dari kamarnya.
Seperti yang Nisa perkirakan, Yanah dan suaminya menanyakan oleh - oleh dari mereka. Yanah melihat saat Iman, Nino dan Doni menurunkan barang dari mobil. Selain koper - koper, banyak sekali bungkusan panganan khas oleh - oleh dari Bandung yang menerbitkan air liurnya. Ia juga melihat kotak bolen pisang dari merek terkenal. "Doni! Bagi Uwak oleh - olehnya, dong!" teriaknya saat Doni keluar untuk mengambil sapu atas permintaan Wiwi. Meski Deni ada di rumah, rumah yang ditinggalkan seperti rumah kosong. Begitu kotor dan berdebu. "Sebentar, Wak. Lagi di rapihin dulu sama Mamah.""Mau misah - misahin dulu, ya? Yang enak - enak buat Kalian!" nyinyir Ijay. Doni mengusap dahinya. Kebiasaannya kalau Dia berusaha menahan kesal."Donii!" teriakan Wiwi yang menganggap Doni begitu lama."Nggak gitu, Wak." Doni bergegas ke dalam rumah untuk memberikan sapu pada kakak iparnya itu. Padahal sang Mamah sedang membagi oleh - oleh itu sama rata. Agar semua saudara Papahnya kebagian. Iman mendenga
Nisa sungguh kesal. Iman selalu ingin bersikap seenaknya dalam segala hal. Masa' mereka harus berdebat dulu hanya gara - gara asbak?"Kenapa sih, kalau buang abu itu di dalam asbak? Capek, ya?"Bukan capenya, ribetnya. Kalau langsung begini 'kan enak." Iman yang duduk di samping jendela mengetukkan abunya keluar. "Begini juga enak." Nisa menyorongkan asbak itu di depan Iman. Iman hanya menjebikkan bibirnya. Itu karena Ia yang tidak perduli akan pentingnya kebersihan bagi mama Wida. Tidak ambil pusing akan pentingnya asbak untuk perokok seperti dirinya. "Aawh!" Iman menjerit tertahan. Ia mengusap lengannya yang menjadi sasaran kekesalan Nisa. Gigi Nisa beradu karena menahan kesal. "Kok Mamah nyubit Papah, sih?" bibir Iman mengerucut. "Gemes! Mau lagi?" Iman cepat - cepat menggeleng. Ia tidak ingin membuat masalah di rumah mertuanya.'Awas Kamu nanti kalau sudah di rumah." ancamnya dalam hati. Begitulah Iman, ia menurut bukan karena mengerti, tapi takut mendapat teguran dari mer
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.