“Kau jelas menyukainya, Mr. Harrison. Kau menyukainya lebih dari yang kau duga.”Edward terdiam. Cornelia benar. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya selama ini? Bagaimana mungkin orang lain bahkan lebih mengetahuinya dibandingkan dirinya sendiri?“Lalu, bagaimana perasaanmu melihat pemandangan itu?”Edward menatap wajah Cornellia bingung lalu mengikuti arah matanya. Kini ia melihat Alex, wanita yang menjadi alasan kehadirannya ke tempat ini, wanita itu membuat seolah matanya terhipnotis. Teman lelakinya, memojokkan Alex ke tikar, rok wanita itu tersingkap sehingga menampakkan pahanya yang langsing. Lalu tangan si lelaki menyelinap ke balik rok, mendekap bokong Alex.Mulut Cornelia menganga. “Aku tidak menyangka Alex seberani itu.”Edward kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin Alex yang polos dan ceria, yang bahkan Edward tidak menyangka usianya sudah dua puluhan, melakukan hal itu di tengah keramaian acara yang bertema keluarga seperti ini?“Aku tanya, bagaimana perasaanmu, Ed?”
Diluar dugaan, Anna justru tertawa. Suara tawa keras yang membuat Edward bingung haruskah ia ikut tertawa atau hanya menunggu tawa Anna selesai.“Apa kau berharap aku mempercayaimu begitu saja?” tanya Anna sambil menepuk pundak Edward. “Kau tidak bisa membodohiku, Ed. Aku sudah melakukan segala upaya untuk mendapatkan dirimu tapi kau jelas-jelas menolakku. Lalu tiba-tiba, setelah tiga hari aku merawatmu saat kau sakit, kau datang padaku dan bilang bahwa kau mencintaiku?”Edward tidak mengatakan apapun. Untuk sesaat mereka hanya saling memandang berlama-lama, pandangan yang makin lama membuat nafas mereka sesak dan tak pelak lagi, pandangan itu membuat mereka bergairah.Edward mengambil langkah maju. Ia mencium lagi. Lebih lembut. Semesra mungkin. Anna tidak menolak, tidak melawan, tidak berusaha lari. Edward menggoda mulut Anna dengan kecupan-kecupan lembut, gigitan mesra, dan gelitikan kecil di lidahnya.Ketika Anna mendesah senang, Edward memanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke
Angela membantu Sebastian mencuci peralatan makan dengan mesin cuci piring, lalu membersihkan dapur setelah mereka selesai makan. Angela tidak tahu apa yang tengah terjadi, Sebastian tiba-tiba mengajaknya berlibur ke villa dekat pantai dan menugaskan tidak ada satu pelayan pun yang ikut bersama mereka. Ini aneh, pikir Angela. Mereka terbiasa liburan ke villa tapi Sebastian tidak pernah meliburkan pelayan di villa. Apalagi, saat aku sedang hamil, pikir Angela. Tetapi ia menduga, mungkin Sebastian hanya ingin menghabiskan waktu berdua, benar-benar berdua dengan dirinya. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuannya dengan Mark dan pria itu jelas pembual yang ulung. Kurang dari dua puluh empat jam katanya? Huh, sudah berlalu tujuh hari dan Mark belum melaporkan apapun padanya. Pria itu bahkan terkesan menghindari dirinya. Telepon iseng itu memang sudah berhenti. Tapi Angela tidak menemukan ada satu pun pelayan yang menghilang atau diberhentikan. Semua berjalan seperti biasa. Seperti tidak
"Hei kalian berdua!!" Jari telunjuk laki-laki paruh baya itu menuding ke arah pasangan pengantin, "Bisa-bisanya kalian tertawa senang sementara anakku baru saja meninggal! Bisa-bisanya kalian mengadakan pesta semewah ini padahal keluarga kita sedang berduka! Ya Tuhan, bahkan tanah kuburan anakku saja belum kering, Angela!!" Angela yang tengah sibuk mengendalikan pikirannya seketika roboh. Ia mengangkat gaunnya, hendak berjalan turun menghampiri laki-laki itu tapi dicegah oleh Sebastian. Tangannya dengan cepat memegang lengan Angela, menatapnya tajam,"Kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya, bukan?! Jangan kemana-mana, tetap disini!" Angela jelas menolak, dalam hatinya berteriak, "Kamu tidak ada hak untuk mengaturku!" perasaannya terasa teriris melihat laki-laki paruh baya yang dihormatinya terlihat sangat kacau. Ia berusaha melepaskan pegangan tangan Sebastian namun seketika tubuhnya dipaksa menurut saat mendengar bisikan Sebastian di telinganya. "Jangan kamu kira aku sudi m
Angela membuang gaun pengantin yang tadi ia pakai ke atas kasur. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Ia muak terhadap semua kepalsuan yang harus ia tunjukkan. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Bukan tangisan kesedihan yang ia ratapi, tapi kepanikan dan kebodohan yang telah ia lakukan. Hatinya sibuk berteriak menyesali keputusan terbodoh yang pernah ia buat. Ya, menikah dengan Sebastian bagaikan menggali kuburannya sendiri. Ia dengan bodohnya memancing dewi kematian menghantuinya setiap hari. Apa yang sudah kamu lakukan, Angela?!! Angela menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan tidak peduli jika ada orang lain yang mendengar jeritannya. Ia tidak peduli prasangka apa yang akan melekat padanya setelah acara resepsi hari ini. Ia mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ia baik-baik saja namun nyatanya, ia sangat bersukur sampai saat ini pikirannya tidak menjadi gila. Ia hanya ingin lari dari kepedihan dan rasa sesak yang menyiksanya. Sorot matanya menatap sendu telapak tangann
"Aku mohon, penuhi janjimu, Sebastian!" Sebastian menarik rambutnya kasar, ia berjalan mondar mandir di depan seorang laki-laki yang sedang kesulitan mengatur nafasnya,"Kamu gila, Garvin! Bagaimana mungkin aku menikahi kekasihmu? Apalagi kamu adalah adik sepupuku!" Garvin memejamkan matanya, berusaha mengatasi rasa sakit yang teramat sangat di dadanya. Namun ketika mengingat nama Angela, ia membuka matanya lalu berkata pelan, "Bukankah kamu sudah berjanji padaku akan menjaga Angela setelah aku pergi?" "Ya! Tapi maksudku bukan untuk menikahinya, Garvin!" Tanpa sadar Sebastian mengeraskan suaranya, membuat ia dengan cepat menyesali kesalahannya lalu mendekati Garvin, "I'm so sorry, Garvin. Tapi kamu tahu, Angela sangat membenciku. Dia tidak mungkin mau menikah denganku." Garvin tersenyum, "Bukankah hubungan kalian mulai membaik akhir-akhir ini? Angela bahkan sudah beberapa kali menegurmu terlebih dahulu." "Kamu benar, tapi... dia tetap tidak menyukai aku." Perasaan takut dan sakit
Angela menepikan mobil sedan Lexus GS F miliknya di pinggir kawasan Chinatown. Letaknya berada di pusat Pender Street, dikelilingi oleh Gaston dan Kawasan pusat bisnis dan keuangan. Dengan sangat hati-hati Angela menutup pintu mobil. Sebenarnya mobil ini bukan miliknya, namun Sebastian bersikeras agar ia memakai mobil pemberiannya ini kemanapun ia pergi. Angela tidak punya pilihan, mobil yang ia beli dengan jerih payahnya harus ia relakan sesaat setelah ia resmi menikah dengan Sebastian. Ia yang tidak mempunyai celah untuk membela diri, dengan bodohnya harus merelakan uang hasil jerih payahnya membeli mobil sedan BMW i8 coupe hybrid jatuh begitu saja ke tangan adiknya Lavenska. Bukan hanya mobil, tapi rumah, beauty studio dan juga butik kecil miliknya. Semua yang ia punya. Angela menggelengkan kepalanya kuat, Tidak... Lavenska bukan adiknya. Ia tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun dengan wanita itu. Kehadiran Lavenska dan Ibunya membuat hari di dalam hidupnya mendadak gelap, ta
Sebastian segera menyambar kunci mobilnya. Ia merutuki dirinya yang telah membiarkan Angela pergi keluar sendirian sedangkan ia tahu, kondisi psikis Angela sedang tidak baik-baik saja. "Tuan, Zoe baru saja mengirimkan lokasi hotel." Edward, orang kepercayaan Sebastian berjalan mensejajari langkah Tuannya. "Bawa mobilnya kedepan!" Edward mengangguk cepat. Ia segera mengambil kunci mobil yang diserahkan tuannya dan segera berlari ke arah basement. Jari kokoh Sebastian menekan handsfree di telinganya, "Hey, jangan lakukan pergerakan apapun! Tunggu aba-aba dariku! Kau dengar?!" Laki-laki di seberang sana tidak melepaskan tatapannya dari kamar nomor 708, ia berbisik pelan menahan rasa takut pada Tuannya, "T-tapi Tuan... mereka sudah lima menit yang lalu di dalam. Apa Nona Angela baik-baik saja?" "Ah, sial!!" Teriak Sebastian kesal. Ia terdiam sesaat, "Panggil dua orang lain. Tunggu aku di depan kamar!" Mobil Land Cruiser VX-R berhenti tepat di depan teras rumah mewah Sebastian. Seten