Callahan’s ramai oleh suara tamu mengobrol selama jam makan siang di rumah makan itu, sejak jam sebelas sampai jam dua selama hari kerja. Terletak di pusat kota, bangunan yang sudah di restorasi itu, yang dulu pernah dipakai sebagai toko obat pada awal tahun tiga puluhan hingga pertengahan tahun delapan puluhan.Mereka menempati lokasi yang sangat strategis untuk melayani kegiatan bisnis sehari-hari, termasuk karyawan pengadilan, perbankan serta para karyawan yang kantornya tersebar di segala penjuru kota. Pesaing mereka hanya rumah kana cepat saji yang melayani pengendara mobil, dan restoran kecil yang melayani roti isi.Jika seseorang ingin mengadakan rapat atau pertemuan sambil makan siang, Callahan’s-lah tempat yang paling nyaman.Ketika Angela tiba, pelayan mengantarkannya ke meja di belakang yang agak terpencil, di tempat Mark sudah menunggu. Mark, kepala keamanan rumah Sebastian dan Angela yang menggantikan posisi Zoe.Angela sengaja mengajak Mark bertemu di luar. Selain ia tid
Edward Harrison mengedarkan pandangannya ke lapangan tempat para pengunjung membentangkan selimut di tanah di depan panggung, dan asyik menikmati daging panggang sambil mendengarkan musik yang dibawakan band berirama country dan penyanyi lokal.Ia bertanya-tanya, dimana Alexandria di tengah lautan manusia ini. Ia tadi mengunjungi toko roti Alex dan menurut karyawannya, Alex menghadiri perayaan tanggal empat juli yang selalu diadakan setiap tahun di taman ini, jadilah Edward tahu gadis itu ada disini.Terlintas dalam benaknya untuk mengajak Alex datang bersamanya, tapi, itu sungguh perbuatan yang lancang. Ya, setelah apa yang dilakukannya pada gadis itu. Edward cukup tahu diri untuk tidak terlalu bertingkah meski tahu bahwa ia menguasai hati dan pikiran Alex.Banyak lelaki hari ini merasa iri padanya karena seorang wanita seksi, berambut panjang dan pirang dengan kedua tonjolan yang memukau di dadanya, duduk di sebelahnya. Ya, ia sengaja mengajak Cornellia Marshall, Asistennya di kanto
“Kau jelas menyukainya, Mr. Harrison. Kau menyukainya lebih dari yang kau duga.”Edward terdiam. Cornelia benar. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya selama ini? Bagaimana mungkin orang lain bahkan lebih mengetahuinya dibandingkan dirinya sendiri?“Lalu, bagaimana perasaanmu melihat pemandangan itu?”Edward menatap wajah Cornellia bingung lalu mengikuti arah matanya. Kini ia melihat Alex, wanita yang menjadi alasan kehadirannya ke tempat ini, wanita itu membuat seolah matanya terhipnotis. Teman lelakinya, memojokkan Alex ke tikar, rok wanita itu tersingkap sehingga menampakkan pahanya yang langsing. Lalu tangan si lelaki menyelinap ke balik rok, mendekap bokong Alex.Mulut Cornelia menganga. “Aku tidak menyangka Alex seberani itu.”Edward kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin Alex yang polos dan ceria, yang bahkan Edward tidak menyangka usianya sudah dua puluhan, melakukan hal itu di tengah keramaian acara yang bertema keluarga seperti ini?“Aku tanya, bagaimana perasaanmu, Ed?”
Diluar dugaan, Anna justru tertawa. Suara tawa keras yang membuat Edward bingung haruskah ia ikut tertawa atau hanya menunggu tawa Anna selesai.“Apa kau berharap aku mempercayaimu begitu saja?” tanya Anna sambil menepuk pundak Edward. “Kau tidak bisa membodohiku, Ed. Aku sudah melakukan segala upaya untuk mendapatkan dirimu tapi kau jelas-jelas menolakku. Lalu tiba-tiba, setelah tiga hari aku merawatmu saat kau sakit, kau datang padaku dan bilang bahwa kau mencintaiku?”Edward tidak mengatakan apapun. Untuk sesaat mereka hanya saling memandang berlama-lama, pandangan yang makin lama membuat nafas mereka sesak dan tak pelak lagi, pandangan itu membuat mereka bergairah.Edward mengambil langkah maju. Ia mencium lagi. Lebih lembut. Semesra mungkin. Anna tidak menolak, tidak melawan, tidak berusaha lari. Edward menggoda mulut Anna dengan kecupan-kecupan lembut, gigitan mesra, dan gelitikan kecil di lidahnya.Ketika Anna mendesah senang, Edward memanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke
Angela membantu Sebastian mencuci peralatan makan dengan mesin cuci piring, lalu membersihkan dapur setelah mereka selesai makan. Angela tidak tahu apa yang tengah terjadi, Sebastian tiba-tiba mengajaknya berlibur ke villa dekat pantai dan menugaskan tidak ada satu pelayan pun yang ikut bersama mereka. Ini aneh, pikir Angela. Mereka terbiasa liburan ke villa tapi Sebastian tidak pernah meliburkan pelayan di villa. Apalagi, saat aku sedang hamil, pikir Angela. Tetapi ia menduga, mungkin Sebastian hanya ingin menghabiskan waktu berdua, benar-benar berdua dengan dirinya. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuannya dengan Mark dan pria itu jelas pembual yang ulung. Kurang dari dua puluh empat jam katanya? Huh, sudah berlalu tujuh hari dan Mark belum melaporkan apapun padanya. Pria itu bahkan terkesan menghindari dirinya. Telepon iseng itu memang sudah berhenti. Tapi Angela tidak menemukan ada satu pun pelayan yang menghilang atau diberhentikan. Semua berjalan seperti biasa. Seperti tidak
"Hei kalian berdua!!" Jari telunjuk laki-laki paruh baya itu menuding ke arah pasangan pengantin, "Bisa-bisanya kalian tertawa senang sementara anakku baru saja meninggal! Bisa-bisanya kalian mengadakan pesta semewah ini padahal keluarga kita sedang berduka! Ya Tuhan, bahkan tanah kuburan anakku saja belum kering, Angela!!" Angela yang tengah sibuk mengendalikan pikirannya seketika roboh. Ia mengangkat gaunnya, hendak berjalan turun menghampiri laki-laki itu tapi dicegah oleh Sebastian. Tangannya dengan cepat memegang lengan Angela, menatapnya tajam,"Kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya, bukan?! Jangan kemana-mana, tetap disini!" Angela jelas menolak, dalam hatinya berteriak, "Kamu tidak ada hak untuk mengaturku!" perasaannya terasa teriris melihat laki-laki paruh baya yang dihormatinya terlihat sangat kacau. Ia berusaha melepaskan pegangan tangan Sebastian namun seketika tubuhnya dipaksa menurut saat mendengar bisikan Sebastian di telinganya. "Jangan kamu kira aku sudi m
Angela membuang gaun pengantin yang tadi ia pakai ke atas kasur. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Ia muak terhadap semua kepalsuan yang harus ia tunjukkan. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Bukan tangisan kesedihan yang ia ratapi, tapi kepanikan dan kebodohan yang telah ia lakukan. Hatinya sibuk berteriak menyesali keputusan terbodoh yang pernah ia buat. Ya, menikah dengan Sebastian bagaikan menggali kuburannya sendiri. Ia dengan bodohnya memancing dewi kematian menghantuinya setiap hari. Apa yang sudah kamu lakukan, Angela?!! Angela menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan tidak peduli jika ada orang lain yang mendengar jeritannya. Ia tidak peduli prasangka apa yang akan melekat padanya setelah acara resepsi hari ini. Ia mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ia baik-baik saja namun nyatanya, ia sangat bersukur sampai saat ini pikirannya tidak menjadi gila. Ia hanya ingin lari dari kepedihan dan rasa sesak yang menyiksanya. Sorot matanya menatap sendu telapak tangann
"Aku mohon, penuhi janjimu, Sebastian!" Sebastian menarik rambutnya kasar, ia berjalan mondar mandir di depan seorang laki-laki yang sedang kesulitan mengatur nafasnya,"Kamu gila, Garvin! Bagaimana mungkin aku menikahi kekasihmu? Apalagi kamu adalah adik sepupuku!" Garvin memejamkan matanya, berusaha mengatasi rasa sakit yang teramat sangat di dadanya. Namun ketika mengingat nama Angela, ia membuka matanya lalu berkata pelan, "Bukankah kamu sudah berjanji padaku akan menjaga Angela setelah aku pergi?" "Ya! Tapi maksudku bukan untuk menikahinya, Garvin!" Tanpa sadar Sebastian mengeraskan suaranya, membuat ia dengan cepat menyesali kesalahannya lalu mendekati Garvin, "I'm so sorry, Garvin. Tapi kamu tahu, Angela sangat membenciku. Dia tidak mungkin mau menikah denganku." Garvin tersenyum, "Bukankah hubungan kalian mulai membaik akhir-akhir ini? Angela bahkan sudah beberapa kali menegurmu terlebih dahulu." "Kamu benar, tapi... dia tetap tidak menyukai aku." Perasaan takut dan sakit