“Kamu masih tidak mau bicara, hah?”
Suara teriakan pria tua yang menggelegar terdengar membahana di tengah ruang keluarga kediaman Lysander. Terlihat sosok Amora yang tengah duduk bersimpuh di lantai ruangan tersebut. Wajahnya tertunduk dalam.
Manik mata Amora melihat sepasang kaki milik pria tua yang sedang berdiri di hadapannya dengan satu tongkat di tangannya. Dia adalah Charlie Lysander, kakek kandungnya.
Plak!
Tiba-tiba saja sebuah tamparan pedas yang dilayangkan pria tua itu mendarat di pipi Amora. Tubuh Amora tersungkur di lantai karena tamparan tersebut.
Kedua bola mata Amora membulat besar. Buliran kristal mengalir deras di kedua pipi Amora. Salah satu tangannya memegang pipinya yang memanas karena tamparan tersebut. Ia tidak menyangka sang kakek akan memberikan pukulan atas sikap diamnya.
“Cukup, Charlie! Apa kamu harus memukulnya seperti ini?”
Seorang wanita tua yang sedang duduk di kursi rodanya, segera menyela tindakan Charlie yang hendak melayangkan tamparan kepada Amora lagi. Wanita tua itu adalah Gilda Orlena, nenek kandung Amora yang tidak lain adalah istri Charlie sendiri.
Perlahan Charlie menurunkan tangannya kembali dan mendengkus kesal. “Tamparan saja tidak cukup untuknya!” cetus pria tua itu.
Wajah Charlie benar-benar nanar. Ia sangat murka ketika mengetahui hal bodoh yang dilakukan cucunya semalam.
Perlahan Amora bangkit, tetapi ia masih duduk bersimpuh di depan kakeknya. Wajahnya masih tertunduk dalam. Ia tidak berani menatap langsung wajah orang-orang yang sedang berkumpul di ruang keluarga kediaman Lysander tersebut.
Amora tidak tahu kenapa semua orang tiba-tiba bisa berkumpul di rumahnya. Ketika ia diantar oleh Chris, ia menemukan semua orang sudah berada di sana seolah sedang menunggu kedatangannya untuk melihat dirinya yang hina.
“Dia sudah mempermalukan nama baik keluarga Lysander! Apa menurutmu, aku tidak harus menamparnya? Ini semua karena kamu yang sudah terlalu memanjakannya, Gilda!” teriak Charlie lagi dengan penuh amarah kepada istrinya.
Amora terisak lirih. Ia tahu jika perbuatan yang dilakukannya tanpa sadar telah memalukan nama keluarga besar Lysander. Ia tidak bisa menampik perkataan kakeknya. Namun, ia tidak bisa diam saja melihat neneknya dibentak di hadapannya dan semua orang yang hadir di dalam ruangan itu.
“Kakek, jangan menyalahkan Nenek. Ini tidak ada hubungannya dengan Nenek,” timpal Amora dengan berani.
Selama ini di dalam keluarga Lysander, hanya Gildalah yang selalu menyayanginya dan memperlakukannya seperti layaknya keluarga. Keberadaan Amora selama ini di dalam keluarga Lysander tidak sebaik seperti yang dibayangkan orang-orang luar.
“Kamu masih bisa membantah, hm?” Charlie langsung mengangkat tongkat di tangannya, lalu mengayunkannya dengan kuat ke arah cucunya tersebut.
Netra Amora terpejam erat. Ia langsung menciutkan tubuhnya dengan kedua tangan menyilang di depan wajahnya. Ia berpikir tongkat itu akan menghantamnya dengan kuat. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi karena Chris telah lebih dulu menahan tongkat tersebut dengan satu tangannya.
“Tuan Besar, maafkan kelancangan saya. Tapi, memukul dan menampar bukanlah penyelesaian yang baik,” ujar Chris mengingatkan pria tua itu dengan tegas.
Wajah Charlie memerah seketika, lalu perlahan ia menurunkan tongkatnya. Ia berdeham pelan untuk menutupi rasa malunya.
Helaan napas lega pun bergulir dari bibir Gilda. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak ketika melihat tindakan suaminya tadi.
Pandangan Gilda beralih kepada wajah para tamu agungnya, yaitu pasangan suami istri Walden yang juga sangat terkejut dengan aksi Chris yang menghentikan tongkat kepala keluarga Lysander tersebut.
Cassandra Winston, ibu kandung Chris Walden segera menghampiri putranya dengan panik dan memeriksa keadaan putranya yang hampir terkena pukulan tongkat kakek Amora tersebut.
"Apa kamu tidak apa-apa? Apa ada yang luka, Dear?" tanya Cassandra dengan cemas.
Chris hanya menggeleng kecil, lalu menepuk pundak ibunya agar tenang. “Saya baik-baik saja, Mom.”
“Maafkan suami saya, Nyonya Walden. Maafkan juga kami yang tidak bisa mendidik Amora dengan baik,” ucap Gilda dengan penuh sesal.
Ekspresi penuh rasa bersalah juga menghiasi wajah Amora. Ia tidak suka melihat neneknya harus menundukkan kepalanya kepada Cassandra.
“Benar-benar mirip sekali dengan ibunya,” cibir Cassandra.
Nyonya Walden tersebut mendengkus sinis. Ia menatap Amora dengan sinis, lalu beralih kepada putranya yang berdiam diri dengan raut wajah datar. Ia melihat sikap datar yang ditunjukkan putranya saat bertemu pandang dengan Amora. Hal tersebut membuat Cassandra cukup senang.
Dada Amora terasa sesak melihat sikap asing yang ditujukan Chris padanya. Ia tahu jika rasa sesalnya tidak dapat menggantikan kekecewaan dan kemarahan kekasihnya tersebut.
“Padahal aku sudah memperingatkanmu, Chris. Tapi, kamu tidak mau mendengarkan ucapanku. Sekarang kamu lihat sendiri kan seperti apa wanita pilihanmu ini?” lanjut Cassandra yang langsung menyudutkan Amora di depan putranya.
Chris tidak menjawab. Kedua tangannya terkepal erat dan memandang kekasihnya yang masih tertunduk dalam tangisan diam di bawah kaki Charlie. Ia pun melangkah pelan, lalu mengulurkan tangannya kepada kekasihnya itu.
Amora tersentak. Ia tidak menyangka Chris masih mau mengulurkan tangan untuknya. Perlahan Amora mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. Uluran tangan yang diberikan padanya seolah memberikan sebuah harapan untuknya.
Akan tetapi, sebelum Amora menyambutnya, Cassandra dengan cepat menghampiri Chris. Wanita paruh baya itu menarik tangan putranya menjauh dari Amora.
“Chris, apa kamu sudah gila? Apa kamu masih mau menerimanya sebagai istrimu? Dia sudah kotor!”
Ucapan yang dilontarkan Cassandra membuat hati Amora terasa perih. Akan tetapi, Amora tidak dapat membantah perkataannya karena memang demikian kenyatannya.
“Sadarlah, Chris. Buka matamu lebar-lebar. Apa bagusnya dia? Mama tidak akan setuju dengan pernikahan kalian. Kalau kamu masih mau menerimanya, langkahi dulu mayat Mama!” Cassandra langsung mengeluarkan pernyataan perangnya kepada putranya.
Chris tersentak. Ia merasa tidak berdaya untuk menentang keputusan ibunya itu. Namun, di satu sisi, Chris tidak dapat memungkiri bahwa perasaannya kepada Amora sangatlah besar.
Meskipun wanita itu sudah mengkhianati cinta mereka, tetapi Chris tidak bisa langsung menghapus perasaannya kepada kekasihnya itu. Ia yakin ada alasan besar hingga Amora melakukan hal yang tidak sepatutnya ia lakukan.
Kebencian Cassandra terhadap Amora tidak mengejutkan Chris. Ketika baru memulai hubungan mereka, sang ibu memang sudah tidak menyukai Amora.
Cassandra pernah memperingatkan Chris bahwa Amora Lysander adalah putri dari wanita yang telah diusir dari keluarga Lysander. Akan tetapi, Chris tetap bersikeras dengan hubungan mereka dan berkata untuk tidak menyamakan Amora dengan seseorang yang sudah tiada.
Patricia Lysander—ibu kandung Amora adalah putri bungsu keluarga Lysander. Karena hamil di luar nikah, Patricia diusir dari keluarga Lysander. Sampai saat ini Amora tidak tahu siapa identitas ayah kandungnya yang sebenarnya karena tidak ada yang mengetahuinya selain ibunya sendiri.
Saat kehamilannya baru diketahui, Patricia hanya mengatakan kepada keluarganya bahwa lelaki itu tidak akan pernah mempertanggungjawabkan kehamilannya. Kala itu Charlie Lysander juga semurka ini kepada putrinya, lalu memintanya untuk menggugurkan kandungannya.
Akan tetapi, Patricia sangat keras kepala ingin mempertahankannya sehingga Charlie mengusirnya dari rumah dan mencoret nama putrinya dari kartu keluarga.
Setelah melahirkan Amora, Patricia meninggal karena kehilangan banyak darah. Sebagai seorang wanita, Gilda Orlena tidak bisa diam saja melihat cucunya yang baru lahir harus dibawa ke panti asuhan sehingga ia memohon kepada suaminya untuk mengakui bayi tak berdosa itu menjadi anggota keluarga mereka.
‘Ya Tuhan … Apa kesalahan yang sudah kuperbuat di masa lalu sampai anak dan cucuku harus mengalami hal yang sama?’ batin Gilda yang merasa sangat sedih. Sungguh, wanita tua itu tidak pernah menyangka tragedi memalukan itu kembali terulang pada diri Amora, cucu kesayangannya.
“Mau sampai kapan kamu menutup mulutmu, Amora? Apa kamu tidak mau mengatakan siapa lelaki yang sudah menidurimu?"
Suara Charlie membuyarkan lamunan Gilda. Suaminya itu kembali membentak Amora. Sebelum Amora membuka suaranya, Charlie telah melemparkan lembaran foto yang diambilnya dari atas meja ke wajah Amora.
"Katakan! Siapa lelaki berengsek ini?" bentak Charlie sekali lagi.
Amora tercengang. Sepasang netranya yang basah memandang foto yang berserakan di atas lantai dengan bingung. Di dalam foto itu terlihat jelas wajah Amora yang sedang digendong oleh seorang pria masuk ke dalam lift hotel.
Meskipun wajah pria itu tidak terlihat jelas, tetapi foto itu sudah menjelaskan bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka selama semalaman suntuk. Akhirnya Amora sadar bahwa ada seseorang yang sengaja ingin menjebaknya untuk menghancurkannya. Jika tidak, foto-foto ini tidak mungkin jatuh ke tangan kakeknya.
“Siapa yang sudah memberikan foto ini?” tanya Amora dengan penuh selidik.
“Apa sekarang perlu mencari tahu siapa yang memberikan fotonya?”
Kelvin Walden, ayah Chris yang sejak tadi duduk diam akhirnya membuka suaranya. Wajahnya benar-benar tampak nanar hingga ia merasa hanya makian saja yang akan dilontarkannya jika ia ikut campur dalam penghukuman yang dilakukan Charlie Lysander terhadap Amora tadi.
Sebenarnya pagi ini ia dan istrinya datang untuk membahas masalah pernikahan yang akan diadakan satu minggu lagi. Akan tetapi, mereka malah mendapatkan foto yang memalukan seperti ini. Ia pun menuntut pertanggungjawaban dari Charlie Lysander atas tindakan yang dilakukan Amora.
“Saya tidak ingin menghabiskan waktu melihat drama keluarga kalian. Apa pun alasannya, saya tidak bisa menerima Amora menjadi menantu keluarga Walden!”
‘Sepertinya semuanya sudah berakhir,’ batin Amora yang telah terduduk lemas. Ia berusaha meredam isak tangisnya dengan menggigit bibirnya kuat-kuat. Keputusan yang baru saja bergulir dari kepala keluarga Walden tersebut membuat Amora terhenyak. Ia hanya bisa meratapi ucapan Kelvin Walden dalam diam. Buliran bening kembali lolos dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua belah pipinya. Meskipun Kelvin telah mengeluarkan keputusannya, tetapi kakek Amora masih berusaha membujuknya. Pria tua itu tidak bisa menerima keputusan tersebut begitu saja. “Tuan Walden, sebaiknya kita bicarakan lagi. Saya tau Anda dan Nyonya Walden sangat marah karena hal ini. Saya juga merasa sangat malu. Tapi, undangan sudah kita sebar. Bagaimana bisa kita membatalkannya begitu saja?” cetus Charlie Lysander. Sebagai seorang yang lebih tua, tentu saja merupakan sebuah penghinaan bagi Charlie untuk menundukkan wajahnya kepada orang yang lebih muda darinya. Akan tetapi, pria tua itu tidak memiliki pilihan lain k
Ucapan Chris membuat hati Amora merasa lega. Setidaknya masih tersisa sedikit rasa di dalam hati pria itu untuknya walaupun dirinya bukan lagi wanita yang pantas untuk bersanding di sisinya. Lain halnya dengan Cassandra, wajah wanita itu langsung berubah nanar. “Kenapa? Kamu masih ingin menikahi wanita kotor itu?” bentaknya. Cassandra mengacungkan telunjuknya ke arah Amora dengan penuh amarah. Membuat Amora tersudutkan dengan kata-kata kasarnya tersebut. Helaan napas panjang bergulir dari bibir Chris. Pria itu mencoba menimpali dengan tetap tenang, “Bukan begitu, Ma. Aku tidak mencintai Bianca. Bagaimana bisa Mama menyuruhku menikahinya?” “Cinta bisa dipupuk nanti,” timpal Cassandra dengan ketus. Kedua netra Chris terbelalak lebar mendengar ucapan ibunya itu. “Mama!” Nada suara Chris mulai meninggi. Membuat Cassandra terperangah selama beberapa detik. Namun, wanita itu kembali melayangkan ancamannya, “Kalau kamu tidak ingin melihat Mama mati di hadapanmu, lebih baik kamu mengikut
[Tujuh tahun kemudian]“Hei, anak haram!”Bocah laki-laki berparas mungil nan tampan menghentikan langkahnya ketika seorang teman sebayanya yang bertubuh gemuk menghalangi pintu masuk kelasnya. Ia menatap lurus bocah sebayanya itu dengan ekspresi yang datar.Anak laki-laki tampan bernama Rayden Lysander tersebut menghela napas pelan. Entah sudah ke berapa kalinya temannya itu memanggilnya dengan sebutan kasar tersebut. Seperti biasanya, ia memutuskan untuk tidak mempedulikan ledekan temannya itu.Rayden kembali melanjutkan langkahnya. Namun, bocah berwajah bulat itu malah membentangkan kedua tangannya sehingga langkah Rayden terurung.“Apa kamu tidak mendengarku, Anak Haram?!” bentak Benjamin Brown, bocah laki-laki bertubuh gempal tersebut.“Kamu berbicara denganku, Ben?” tanya Rayden dengan nada yang terdengar polos.Wajah Benjamin langsung memerah karena merasa dipermainkan Rayden. “Memangnya siapa lagi anak haram di sini kalau bukan kamu?” cetusnya seraya mengacungkan tangannya ber
“Amora, tolong nanti kamu bersihkan lantai koridor empat ya!”Seorang wanita paruh baya memanggil Amora yang sedang menyusun beberapa produk makanan ke dalam etalase. Wanita muda berpakaian seragam karyawan toko bernama Amora Lysander itu menoleh.“Ada anak yang menumpahkan minumannya tadi,” lanjut wanita paruh baya itu.Dia adalah Della Houston, manajer toko WW Mart tempat Amora bekerja saat ini.“Baik, Nyonya Houston. Saya akan ke sana setelah ini,” sahut Amora.Della pun kembali berkeliling ke area toko yang lain untuk memeriksa kelengkapan barang dan kebersihan serta operasional toko tersebut.Helaan napas lelah bergulir dari bibir Amora. Ia sudah bekerja sejak pukul lima pagi tadi dan belum sempat beristirahat untuk meminum seteguk air. Toko serba ada tempatnya bekerja merupakan toko yang beroperasi 24 jam penuh.Toko tersebut berlokasi di area yang cukup padat aktivitasnya sehingga tidak mengherankan jika banyak pengunjung yang datang berbelanja ke toko tersebut.Meskipun lelah,
“Lihatlah nodanya sekarang semakin melebar!”Gadis pelajar itu merebut sepatunya dari tangan Amora. Wajahnya terlihat sangat kesal. Namun, Amora tahu jika gadis itu hanya ingin mencari masalah dengannya saja.Amora tidak tahu apa tujuan gadis itu menyudutkannya, tetapi ia berpikir untuk segera menyelesaikannya dengan pikiran yang tenang. Ia tidak ingin tersulut oleh emosi remaja angkuh itu.Amora kembali menghela napas panjang. Ia akui jika noda sepatu gadis itu memang melebar karena ia menggosoknya tadi.“Jika Anda ingin meminta ganti rugi, saya tidak sanggup membayarnya,” aku Amora. Ia kembali mengambil sepatu dari tangan gadis itu dan lanjut berkata, “Tapi, kalau Anda mau memberikan saya kesempatan dan waktu. Saya akan membersihkannya di rumah nanti.”Gadis itu terlihat kesal, tetapi ia tidak bisa mempersulit Amora lebih jauh lagi karena pandangan para pengunjung yang lain membuat posisiya tersudutkan.Suara desas-desus mulai terdengar dari bibir mereka tentang sikap semena-menanya
"Maaf saya sedikit terlambat." Amora baru saja tiba di sekolah putranya. Ia telah berada di dalam ruang guru di mana terlihat sosok wali kelas Rayden yang sedang duduk bersama seorang wanita berpenampilan serba elit dari atas hingga ujung kakinya. Tidak seperti Amora yang datang dengan penampilan kusut karena debu dan peluh yang menempel pada tubuhnya. Namun, ia tetap tersenyum dengan percaya diri. "Tidak apa-apa, Nyonya. Silakan duduk." Daisy Miller yang merupakan wali kelas dari Rayden Lysander, mempersilakan Amora untuk duduk bersamanya. Ia pun menjelaskan hal yang terjadi terkait masalah yang melibat dua anak didiknya kepada kedua wanita yang duduk menghadapnya di dalam ruangan itu. "Begitulah ceritanya, Nyonya Lysander. Saya mendengar jika Rayden yang memulai lebih dulu dalam perkelahian itu," ujar Daisy. Ia mendapatkan informasi tersebut berdasarkan kesaksian dari para anak didiknya. Wanita itu tidak tahu jika semua kebohongan itu tercipta karena tekanan yang diberikan Ben
“Menyombongkan diri?” Amora terkekeh kecil mendengar ucapan Lisa yang sedang menilai dirinya. Wajah ibu Benjamin tersebut berubah nanar melihat respon Amora atas keangkuhannya saat ini. Amora tahu, sejak dirinya diusir oleh kakeknya, dirinya bukanlah siapa-siapa dan tidak pantas menyombongkan diri di depan Lisa Taylor. Seluruh kehidupannya berubah sejak dianggap telah mempermalukan nama keluarga Lysander. Sayangnya, Lisa terlalu menganggapnya remeh. Amora Lysander bukan lagi seorang gadis polos yang hanya bisa menangisi nasibnya. Ia telah menjadi sosok wanita tegar yang akan menghadapi badai yang datang menerjang bertubi-tubi kepadanya tanpa takut. Semua ia lakukan demi permata hatinya yang selalu ia lindungi di dalam genggamannya. Noda dan penghinaan yang diterimanya tujuh tahun silam memberikan perubahan besar di dalam hidupnya. Dulu Amora sempat terpuruk sangat dalam. Ia pernah berniat mengakhiri hidupnya karena merasa malu dengan cemooh yang diterima dari anggota keluarga Lysa
Netra Amora memicing tajam. Ia tidak menyangka Lisa akan mengumbar aibnya dengan santai seperti ini. Ia tahu jika wanita itu sengaja menyerang kelemahannya dengan kata-kata pedas yang tidak lagi disaring dari bibir tebalnya itu.Amora sama sekali tidak terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Lisa. Mengingat hubungan keluarga mereka di masa lalu, tidak heran jika Lisa mengetahui aibnya.Meskipun kakeknya telah berusaha mati-matian menutupi hal tersebut, aib tetaplah aib. Hal itu pasti selalu menjadi sorotan empuk bagi para penggosip seperti Lisa. Tanpa menyelidikinya, Amora yakin ada seseorang di dalam keluarga Lysander yang telah mengumbar aibnya itu tanpa sepengetahuan sang kakek.Lisa mengira Amora akan tersulut amarah karena ucapannya tersebut. Namun, Amora sama sekali tidak berniat menampiknya tersebut."Kenapa? Sekarang kamu tidak bisa berkata-kata lagi, hm? Memang seharusnya kamu sadar diri, Amora. Kamu bukan lagi nona muda keluarga Lysander yang diagungkan. Melahirkan anak hara