Share

Bab 7 - Rayden Lysander

[Tujuh tahun kemudian]

“Hei, anak haram!”

Bocah laki-laki berparas mungil nan tampan menghentikan langkahnya ketika seorang teman sebayanya yang bertubuh gemuk menghalangi pintu masuk kelasnya. Ia menatap lurus bocah sebayanya itu dengan ekspresi yang datar.

Anak laki-laki tampan bernama Rayden Lysander tersebut menghela napas pelan. Entah sudah ke berapa kalinya temannya itu memanggilnya dengan sebutan kasar tersebut. Seperti biasanya, ia memutuskan untuk tidak mempedulikan ledekan temannya itu.

Rayden kembali melanjutkan langkahnya. Namun, bocah berwajah bulat itu malah membentangkan kedua tangannya sehingga langkah Rayden terurung.

“Apa kamu tidak mendengarku, Anak Haram?!” bentak Benjamin Brown, bocah laki-laki bertubuh gempal tersebut.

“Kamu berbicara denganku, Ben?” tanya Rayden dengan nada yang terdengar polos.

Wajah Benjamin langsung memerah karena merasa dipermainkan Rayden. “Memangnya siapa lagi anak haram di sini kalau bukan kamu?” cetusnya seraya mengacungkan tangannya berulang kali ke dada Rayden.

Kedua alis Rayden bertaut. Ia menatap Benjamin dengan malas. Ia sudah berjanji kepada ibunya untuk bersikap baik di sekolah agar menjadi panutan yang dapat membanggakan ibunya tersebut. Akan tetapi, Rayden merasa sikap Benjamin padanya setiap hari semakin kasar dan ia mulai merasa kesal karenanya.

Terkadang Rayden tidak ingin bersekolah karena malas menghadapi perundungan yang dilakukan teman sekelasnya itu. Namun, ia tidak ingin membuat ibunya kecewa.

“Aku punya nama, Ben. Apa otak kecilmu itu tidak pernah mengingatnya?” ucap Rayden dengan wajah yang masih terlihat tenang.

Namun, kalimat yang dilontarkannya terdengar dingin dan tajam. Kali ini ia tidak bermaksud untuk berdiam diri lagi. Ia sudah muak mendengar kesombongan Benjamin.

Sontak, kedua netra Benjamin terbelalak lebar. Teman sekelas mereka yang berada di dalam ruangan langsung menertawakannya.

“Diam!” teriak Benjamin dengan wajah memerah sempurna.

Rahang mungilnya yang penuh dengan gumpalan daging itu terlihat mengetat. Ia langsung menarik kerah baju Rayden.

“Dasar anak haram! Beraninya kamu mengataiku, hah! Apa kamu tidak tau siapa ayahku? Aku akan membuatmu tidak dapat bersekolah lagi di sini!” bentak Benjamin dengan murka.

Rayden yang bertubuh lebih kecil tampak terhuyung-huyung saat Benjamin mengguncang tubuhnya dengan kedua tangannya. Kesal dengan sikap semena-mena temannya itu, Rayden pun menarik lengan Benjamin dan menggigitnya dengan kuat sehingga cengkeraman pada kerah seragamnya terlepas.

Benjamin berteriak kesakitan.

“Dasar anak papa. Sepertinya tanpa ayahmu, kamu bukan siapa-siapa,” cetus Rayden. Ia tidak bisa tinggal diam dengan ancaman teman sebayanya itu.

“Kau!” geram Benjamin.

Kepalan tinju Benjamin langsung melayang ke wajah Rayden. Membuat tubuh Rayden tersungkur di lantai.

Sontak, para siswa sebaya mereka berteriak histeris. Namun, mereka tidak ada yang berani menghentikan Benjamin.

Rayden meringis. Meskipun pukulan anak umur enam tahun tidak seperti orang dewasa, tetapi tubuh Ben yang lebih besar darinya tentu saja memberikan rasa sakit yang sama besarnya.

Sudut bibir Rayden telah mengeluarkan darah. Ia mengusap pelan dengan jempolnya

“Dasar anak pelacur! Makanya kamu tidak punya ayah!” cetus Benjamin.

Bola mata hazel Rayden langsung mendelik tajam. Emosi yang ditahannya sejak tadi akhirnya meledak seketika!

Suara tawa keras yang dipenuhi nada mengejek terdengar dari bibir Benjamin. Sorak sorai dari beberapa teman sekelas kedua bocah laki-laki itu semakin memperkeruh keadaan. Mereka ikut menghina Rayden karena ajakan Benjamin.

Beberapa anak perempuan sekelas mereka tidak ada yang berani mendekati Rayden karena takut menjadi bulan-bulanan Benjamin nanti. Tidak ada yang tidak tahu jika Benjamin Brown memiliki orang tua yang memiliki pengaruh besar di Sekolah Dasar Sunrise tersebut.

Karena hal inilah, Benjamin selalu bertindak semena-mena di sekolah dan tidak ada yang berani menghentikannya. Kalaupun ada yang berani melaporkannya kepada guru, mereka pasti hanya akan menggunakan jalan damai.

Para orang tua murid yang lain selalu memperingatkan putra-putri mereka untuk tidak mencari masalah dengan Benjamin di sekolah. Karena alasan ini pulalah, sikap Benjamin semakin menjadi-jadi dan merasa menjadi seorang penguasa kecil di sekolah tersebut.

Namun, Rayden tidak menyangka akan menjadi korban penindasan temannya itu. Selama ini ia berusaha mengabaikan ejekan Benjamin dengan harapan temannya itu akan merasa bosan jika ia tidak mempedulikannya.

Sayangnya, Benjamin menganggapnya sebagai seorang penakut dan terus mengejeknya sesuka hatinya. Para guru seolah menutup mata atas tindakan semena-mena bocah laki-laki itu.

Sampai saat ini Rayden tidak dapat memahami alasan kebencian Benjamin hingga terus mengganggunya.

Rayden juga tidak tahu dari mana Benjamin mendengar tentang dirinya yang hanya hidup tanpa seorang ayah. Padahal ia tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun, tetapi tiba-tiba saja sebulan yang lalu Benjamin memanggilnya dengan sebutan anak haram!

Tentu saja lelucon yang dilontarkan Benjamin sudah melewati batas. Akan tetapi, Rayden selalu mengingat pesan ibunya untuk tidak menggunakan kekerasan fisik agar tidak terluka.

Sejak lahir Rayden memiliki tubuh yang lemah. Sang ibu selalu menjaganya dengan hati-hati dan Rayden tidak ingin membuat ibunya khawatir sehingga tidak pernah menceritakan penindasan yang terjadi padanya di sekolah.

Meskipun sudah berjanji kepada ibunya untuk tidak beradu fisik dengan temannya, tetapi sekarang Rayden tidak dapat lagi menahan dirinya. Terlebih mereka telah menghina ibunya!

“Rayden anak pelacur!”

Kalimat ejekan bernada terlontar dari bibir para teman sekelas Rayden atas arahan Benjamin. Wajah Rayden yang tertunduk tampak nanar. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

“Hentikan!” teriak Rayden.

Sayangnya, tidak ada yang mau mendengarkan ucapan bocah malang tersebut. Kedua netranya telah basah oleh air mata, tetapi ia berusaha untuk menahan cairan bening tersebut karena tidak ingin terlihat lemah di depan para pengganggunya itu.

“Ibumu cuma pelacur. Tidak seperti ibuku dan ayahku. Bisa-bisanya kamu berani melawanku, hah?” ejek Benjamin. Suara tawanya kembali membahana.

Ucapannya itu berhasil memancing kemarahan Rayden. Akhirnya tanpa aba-aba Rayden segera bangkit dan melayangkan tinjunya ke wajah Benjamin yang sedang lengah.

Sontak, suara teriakan menggema di koridor dan suasana langsung menjadi ricuh karena adegan tersebut.

Tubuh gemuk Benjamin terhuyung sedikit. Ia merasakan perih di area matanya karena kepalan tinju Rayden tepat mengenai di sana.

“K-Kamu …,” Benjamin menunjuk ke arah Rayden. Ia sangat syok dengan tindakan pembalasan Rayden kepadanya, “beraninya kamu memukulku!”

Benjamin langsung memberikan pukulan balasan. Kali ini ia memukul Rayden berulang kali hingga Rayden terbaring di lantai koridor dengan Benjamin yang berada di atas tubuhnya. Pergelutan tersebut menimbulkan kepanikan para siswa.

Tidak ada yang berani menghentikan Benjamin yang telah naik pitam hingga akhirnya suara bel masuk kelas berbunyi. Para siswa bergegas masuk ke kelas mereka karena tidak ingin terlibat.

Para guru yang berniat masuk ke dalam kelas pun sangat terkejut melihat perkelahian kedua bocah laki-laki di tengah koridor dan tidak ada seorang pun yang berani melerai mereka.

“Rayden Lysander, Benjamin Brown! Hentikan!”

Seorang wanita muda berkacamata cukup tebal bergegas menghentikan kedua siswa tersebut. Dia adalah wali kelas kedua anak itu, Daisy Miller.

Sontak, Rayden yang saat ini berada di atas tubuh gemuk Benjamin pun menghentikan pukulannya. Wajahnya sudah terlihat lebam di beberapa titik. Begitu juga dengan Benjamin, tetapi luka bocah gempal itu tidak seberapa parah jika dibandingkan dengan Rayden.

Melihat Rayden yang lengah, Benjamin sengaja mendorong tubuhnya dengan kuat hingga Rayden terjatuh. Punggung mungilnya membentur keras di atas lantai.

“Hentikan, Ben!” teriak Daisy. Ia bergegas membantu Rayden yang meringis kesakitan. Darah telah mengalir tanpa henti di hidungnya.

Guru yang lain ikut membantu dan memapah Rayden.

“Apa yang sudah kalian lakukan?” bentak Daisy dengan kesal. Selama ini ia benar-benar pusing menghadapi tingkah nakal Benjamin Brown di kelas. Sekarang bocah laki-laki itu malah melakukan tindakan kekerasan seperti ini.

Tanpa bertanya pun Daisy Miller tahu jika biang kerok masalah tersebut adalah Benjamin Brown. Selama ini ia sering menegur bocah tersebut saat mengusik Rayden di kelas. Namun, ia tidak menyangka kedua siswanya itu akan berkelahi seperti ini.

“Miss Miller, dia yang memulainya lebih dulu. Dia mengejekku dan memukulku,” tuduh Benjamin seraya mengacungkan telunjuknya ke arah Rayden.

Wajah Rayden memucat. Ia pun menampik hal tersebut, “Bohong! Dia berbohong, Miss!”

“Tidak! Dia yang bohong!” timpal Benjamin yang tidak mau kalah.

Daisy Miller memijat pelipisnya. Tekanan darahnya seketika memuncak melihat perdebatan kedua bocah laki-laki tersebut.

“Sudah cukup! Kalian berdua ikut saya ke ruang guru. Saya akan menghubungi orang tua kalian!” cetus Daisy Miller dengan tegas.

Komen (21)
goodnovel comment avatar
Fitria Pangumpia
ceritanya lebih seru
goodnovel comment avatar
Aisyah
bagus cerita nya
goodnovel comment avatar
Ummi Laila Ummi Laila
jd MLS baca klu bgtu setiap kali seru pasti berhenti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status