Share

Bab 6 - Bukan Lagi Bagian Dari Keluarga Lysander

Ucapan Chris membuat hati Amora merasa lega. Setidaknya masih tersisa sedikit rasa di dalam hati pria itu untuknya walaupun dirinya bukan lagi wanita yang pantas untuk bersanding di sisinya.

Lain halnya dengan Cassandra, wajah wanita itu langsung berubah nanar. “Kenapa? Kamu masih ingin menikahi wanita kotor itu?” bentaknya.

Cassandra mengacungkan telunjuknya ke arah Amora dengan penuh amarah. Membuat Amora tersudutkan dengan kata-kata kasarnya tersebut.

Helaan napas panjang bergulir dari bibir Chris. Pria itu mencoba menimpali dengan tetap tenang, “Bukan begitu, Ma. Aku tidak mencintai Bianca. Bagaimana bisa Mama menyuruhku menikahinya?”

“Cinta bisa dipupuk nanti,” timpal Cassandra dengan ketus.

Kedua netra Chris terbelalak lebar mendengar ucapan ibunya itu. “Mama!”

Nada suara Chris mulai meninggi. Membuat Cassandra terperangah selama beberapa detik. Namun, wanita itu kembali melayangkan ancamannya, “Kalau kamu tidak ingin melihat Mama mati di hadapanmu, lebih baik kamu mengikuti ucapan Mama.”

Kali ini Chris tampak tak berkutik. Rahangnya mengetat. Meskipun ia tidak suka dengan pengaturan ibunya, tetapi ia tidak lagi membantahnya.

Sepasang netra Chris bertemu pandang dengan Amora yang sedang menatapnya dengan kecewa. Sayangnya, Chris sendiri juga tidak bisa membenarkan kesalahan yang dilakukan kekasih tersebut. Ia tidak bisa memaafkan pengkhianatan wanita itu kepada dirinya dan kesetiaannya.

Kelvin Walden dan istrinya akhirnya sepakat untuk mengganti mempelai wanita dengan Bianca Lysander. Amora tidak bisa mengubah kesepakatan kedua kepala keluarga yang tidak mempertimbangkan perasaannya yang hancur saat ini. Begitu juga dengan perasaan Chris yang dipenuhi dengan rasa sakit atas pengkhianatan dan sekarang harus memilih untuk menikahi dengan wanita yang tidak pernah dicintainya.

Chris tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Dibandingkan mengajukan protesnya yang berakhir sia-sia, ia memilih untuk pergi dari kediaman itu tanpa pamit kepada siapa pun.

“Biarkan saja dia. Nanti juga dia sadar kalau pilihan kami itu benar.” Cassandra berkata dengan penuh keyakinan atas penilaiannya sendiri kepada Charlie Lysander.

“Baiklah. Kalau kalian sudah menyetujuinya, saya juga hanya bisa menerimanya,” timpal Charlie dengan nada yang terdengar pasrah. Padahal di dalam hatinya ia merasa sangat senang.

Hal yang terbesit di dalam benak kepala keluarga Lysander itu hanyalah menyelamatkan nama baik keluarganya saja. Ia tidak peduli siapa yang akan menikah dengan Chris Walden. Setidaknya mereka akan tetap menjadi besan keluarga tersebut.

Setelah mencapai kesepakatan bersama, pasangan suami istri Walden tersebut pun pamit dari kediaman Lysander. Julia dan putrinya juga ikut bersama mereka karena harus segera melakukan penyesuaian gaun pengantin untuk acara pesta nanti.

Suasana hening kembali menghiasi ruangan keluarga Lysander. Kini hanya ada Charlie, Gilda dan Mario yang sedang memandang Amora yang terduduk seperti seorang yang kehilangan harapan. Cucu kesayangan Gilda itu masih bersimpuh dengan pandangan yang kosong. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap di bibirnya.

Gilda benar-benar merasa iba dengan kondisi cucunya tersebut. Ia seperti melihat kembali sosok Patricia beberapa puluh tahun silam di dalam diri Amora.

“Apa kamu masih tidak mau mengatakan siapa lelaki yang sudah menidurimu itu?”

Suara Charlie kembali membahana di dalam ruangan itu. Pria tua itu masih belum menyerah untuk mencari tahu sosok pria yang sudah menghancurkan rencananya tersebut.

Sayangnya, Amora masih memilih untuk bungkam. Ia menundukkan wajahnya dan buliran kristal pun mengalir kembali dari kelopak matanya.

Wajah Charlie berubah semakin menggelap dengan sikap diam cucunya tersebut. Ia mengetukkan tongkat di tangannya berulang kali ke lantai.

“Kamu benar-benar seperti ibumu. Kalian hanya bisa memalukan nama keluarga. Kalau tau seperti ini, seharusnya dulu aku tidak membawamu kembali ke rumah ini!” bentak Charlie dengan penuh emosi yang meluap-luap.

Mario Lysander segera menghampiri ayahnya tersebut. Karena tidak dapat mengendalikan amarahnya, pria tua itu terbatuk-batuk. Deru napasnya pun tersengal-sengal.

Mario pun mengusap pelan pundak pria tua tersebut. “Ayah, tenanglah. Marah-marah seperti ini tidak baik untuk kesehatanmu,” bujuknya. Ia menyerahkan segelas minuman yang diambilnya dari atas meja tamu.

Charlie mengeluarkan sebutir pil dari saku kemejanya, lalu menelannya bersamaan dengan air yang diberikan putranya. Setelah merasa lebih baik, ia kembali berkata, “Bagaimana aku bisa tenang? Mungkin dia ingin melihatku mati baru dia akan merasa senang!”

Mario terus menepuk pelan pundak ayahnya. Menenangkannya agar tidak terus larut dalam emosinya. Kesehatan ayahnya sudah tidak terlalu baik di usia senja seperti ini.

Mario khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan jika ayahnya itu terus meluapkan kemarahannya. Di satu sisi, ibunya hanya terus menangis dalam diam. Sebagai putra mereka, Mario harus membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.

“Amora, diam seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Setidaknya kamu katakan kepada kami, siapa laki-laki itu? Biar Paman menemuinya dan meminta pertanggungjawaban darinya!” cetus Mario yang juga kesal dengan sikap keras dari keponakannya itu.

Seulas senyuman sinis terukir di wajah Amora. Ia tahu jika pamannya hanya berpura-pura peduli dengan masalahnya agar mendapatkan penilaian positif di mata kakeknya.

Amora berpikir jika selama ini pamannya dan bibinya selalu menganggapnya sebagai batu sandungan untuk mendapatkan hak waris dari kakeknya dan sekarang mungkin adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk menghancurkan dirinya.

Perlahan Amora mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata, lalu berkata, “Aku tidak mengenalnya.”

Kedua netra Charlie terbelalak lebar atas jawaban yang diberikan cucunya. Kali ini tongkat di tangannya benar-benar melayang dan mengenai pelipis Amora. Darah pun sedikit demi sedikit mengalir dari luka yang terbuka.

“Amora!” Gilda dan Mario berteriak bersamaan dengan syok.

Pandangan Amora mengabur secara perlahan-lahan karena derasnya darah yang mengalir dari pelipisnya itu. Akan tetapi, ia masih bisa melihat pamannya masih berusaha menghentikan kakeknya yang ingin memukulnya kembali.

Sementara itu, neneknya telah mendorong kursi rodanya menghampirinya dan memanggil para pelayan dengan histeris. Melihat kepanikan neneknya, Amora merasa sangat bersalah.

Akan tetapi, Amora berpikir kematian mungkin adalah jalan terbaik untuknya daripada harus menanggung malu dan penghinaan seperti ini. Lambat laun kesadaran Amora semakin menipis. Akan tetapi, suara tangisan neneknya masih terdengar di telinganya. Begitu juga dengan teriakan kakeknya.

“Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini, Amora!”

Sudut bibir Amora terangkat tipis saat mendengar keputusan akhir kepala keluarga Lysander terhadap dirinya, lalu kesadarannya perlahan menghilang dan semuanya menjadi sangat gelap.

AliceLin

Jangan lupa tinggalkan komentar dan dukungan kalian ya kak. Terima kasih ^^

| 9
Comments (19)
goodnovel comment avatar
Fitria Pangumpia
ceritanya membuat pembaca tegang.........
goodnovel comment avatar
Ummi Laila Ummi Laila
mati itu tidak pernah bisa menjamin selesai nya suatu masalah
goodnovel comment avatar
Siti Aminah Aminah
baca bab ini kebawa suasana smpe ngeluarin air mata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status