Selama belanja di pasar, Ambar tak banyak bicara. Membuat Fitri jadi serba salah, akhirnya dia hanya mengikuti langkah wanita berhidung mungil itu. Sebenarnya Fitri ingin menegur Ambar karena dia membeli barang tanpa menawar.
"Kok gak ditawar sih, Mbak?" tanya Fitri yang sudah tak tahan lagi. Ambar hanya menoleh sekilas, tanpa ingin membalasnya. Saat ini pikirannya benar-benar kacau. Bayangan Rudi tengah 'bermain' dengan wanita lain, selalu terlihat jelas ketika Ambar menutup mata, sampai-sampai dia enggan berkedip karena tak ingin melihat hal menjijikkan itu.
"Mbak ditawar dong, kemahalan itu. Di tempat saya gak sampai segitu." Lagi Fitri mencoba memperingatkan Ambar.
"Berapa ongkos dari sini ke tempatmu, Fit?" tanya Ambar tanpa menoleh pada Fitri.
"Ma puluh lebih, Mbak. Ada apa?" tanyanya bingung.
"Berarti pulang pergi seratus ribu?" tanya Ambar semakin membuat Fitri bingung. Wanita yang sedang memakai rok sepan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Terserah kamu lah, Mbak. Mau nawar apa nggak," ujarnya sewot. Membuat bibir Ambar tersenyum sedikit.
Semua keperluan sudah terbeli, Ambar dan Fitri bergegas pulang karena Rahayu sudah berkali-kali menelpon, mengingatkan agar segera pulang.
"Dikira kita ini ninja apa, yang bisa menghilang begitu saja," gerutu Ambar yang didukung anggukan oleh Fitri.
Setelah sampai di rumah mereka langsung mengeksekusi bahan makanan yang mereka beli dengan ditemani wejangan dari Rahayu.
"Dalam hubungan yang penting itu perut. Kalau perut kenyang maka cinta itu akan selalu tumbuh dan berkembang.
Ambar hanya mendengarkan saja, tanpa ada keinginan untuk menjawab. Dalam benaknya, dia sibuk memikirkan cara untuk membuka aib suaminya di depan ibunya. Namun, dia bimbang, bagaimana kira-kira tanggapan mertuanya tersebut.
"Mbar! Diajak ngomong kok malah ngelamun. Rugi aku ngomong tadi, lebih baik aku ngobrol sama Alif," gerutunya sambil bangkit dari tempat duduknya. Belum juga dia keluar dari dapur tiba-tiba terdengar bel berbunyi. "Nah, itu suamimu datang, pasti itu. Cepetan ndang ditata makanannya. Setelah itu segera bersihkan diri. Mandi bebek juga ndak pa-pa, asal bau minyaknya hilang. Cepat!" titahnya pada sang menantu.
Ambar tak langsung menjalankan perkataan mertuanya. Membuat Rahayu semakin kesal padanya. "Mbar!" bentaknya dengan mata melotot, persis seperti seorang ibu yang memarahi anaknya sendiri.
"Ibu nginep di sini kan?" Rahayu semakin melotot mendengar pertanyaan menantunya.
"Iya ...! Haduh, Ambar! Kamu kenapa sih, dari tadi ndak nyambung kalau diajak bicara. Embulah, aku mau keluar. Terserah kamu mau apa," sungutnya sambil berlalu meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di tempatnya semula.
"Mbak, cepatan mandi, biar aku yang menyelesaikan semuanya." Fitri ikut mengingatkan. Setelah menghela napasnya, Ambar pun melangkah menuju kamarnya.
Ambar sengaja mengulur waktu, dia benar-benar tak ingin melihat suaminya. Ambar takut jika dia tak bisa mengontrol emosinya. Sungguh, rasa sakit dikhianati membuatnya ingin mencakar atau mencekik suaminya itu.
"Assalamualaikum," ucap suara yang sangat dikenal oleh Ambar.
"Wa'alaikumussalam," balasnya tanpa menoleh. Seandainya saja menjawab salam bukanlah kewajiban, dia enggan untuk mengucapkannya.
Ambar langsung menghindar ketika Rudi hendak menyentuhnya. Dia pura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari."Ada apa?" tanya Rudi karena merasa aneh dengan sikap wanitanya akhir-akhir ini.
"Apanya yang ada apa?" Ambar balik bertanya.
"Kamu aneh, sejak seminggu yang lalu sikapmu berubah. Ada apa?" tanya Rudi lagi. Lelaki itu mulai tersulut emosi. Dia sama sekali tak merasa bersalah, karena menganggap istrinya itu tak tahu apa-apa.
"Ayo makan dulu, biar nanti kuat menghadapi kenyataan," ucap Ambar yang semakin membuat Rudi emosi.
"Ada apa?" tanyanya sambil mencekal lengan Ambar. Wanita yang sudah delapan tahun dinikahinya itu tak menjawab, hanya melirik sekilas lengannya yang tertahan oleh tangan kekar Rudi.
"Lepas," ucapnya dengan suara lirih. Bukannya melepaskan, Rudi malah menarik tubuh Ambar, hingga jatuh ke pelukannya.
Ambar berontak, dia benar-benar tak ingin disentuh oleh suaminya. Bayangan adegan dalam ponsel itu membuatnya mual dan benar-benar hendak muntah. Melihat kondisi istrinya, Rudi mengalah dia pun mengurai pelukannya.
Ambar segera berlalu ke kamar mandi, di ruang berukuran 2×1½ meter itu, wanita pemilik lesung pipi menumpahkan segala rasa. Setelah itu dia menguyur seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian. Tubuh dan hatinya benar-benar menolak, tak sudi lagi disentuh oleh Rudi.
Setelah beberapa saat Ambar tak kunjung keluar, Rudi pun beranjak. Dia menemui putra dan ibunya yang tengah bercengkrama di ruang keluarga.
"Istrimu mana?" tanya Rahayu ketika melihat anaknya berjalan sendiri.
"Masih di kamar," sahut Rudi malas. Rahayu menatap putranya, wanita paruh baya itu seakan mengerti jika ada yang tak beres dalam rumah tangga anaknya.
Rudi mendekati Alif, lelaki itu kemudian mengangkat tubuh anaknya tinggi-tinggi, hingga menimbulkan tawa di bibir mungil buah hatinya tersebut. Setelah itu Rudi mencium perut Alif, membuat bocah berambut seperti ibunya itu tertawa lebih girang.
Ambar menghentikan langkahnya ketika mendengar kebahagiaan putranya. Hatinya bimbang. Mungkin, setelah dia mengutarakan niatnya, dia bisa bertahan dan menyerahkan pada waktu sebagai pengobat luka, tetapi bagaimana dengan Alif? Bisakah anaknya itu hidup tanpa ayahnya. Ambar teringat dengan sebuah tulisan, jika seorang ibu terluka, seorang anak juga akan menanggung akibatnya, sang anak tak kan bahagia. Lalu apa yang harus dilakukannya, jika kenyataan tak semudah tulisan yang banyak beredar.
"Alif, panggil Bundamu, kenapa lama sekali di dalam kamar. Gak tahu apa kalau kita semua menunggunya," titah Rahayu pada sang cucu. Setelah sudah terlalu lama menunggu di meja makan.
"Iya, Nek," sahut Alif. Bocah itu segera berlalu sambil berlari kecil. Rahayu kembali menatap Rudi, sebenarnya dia ingin sekali bertanya 'ada apa' namun harus ditahan karena masih ada Fitri diantara mereka.
"Ayo makan," ucap Rahayu setelah Ambar sampai di tengah-tengah mereka. Seolah mengerti, semua menikmati hidangan dalam diam, bahkan Alif yang biasanya banyak bertanya juga ikut diam. Jagoan kecil itu sesekali melirik ibunya, Alif seolah tahu jika ibunya sedang bersedih dan itu membuatnya terlihat tak bersemangat.
Ditengah-tengah keheningan yang tercipta, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Semua yang berada di ruangan itu saling berpandangan.
"Aku aja yang buka," ucap Fitri mendahului Ambar. Tanpa menunggu ada yang menjawab perempuan berwajah manis itu segera bangkit dari duduknya, kemudian berlalu dengan langkah cepat.
"Di luar ada wanita yang mencari Pak Rudi," ucap Fitri setelah dia kembali masuk. "Tak suruh menunggu apa tak suruh masuk, Mbak?" imbuhnya bertanya pada Ambar.
Ambar merasa ada yang tak beres, karena selama ini tak ada temannya Rudi yang bertamu ke rumahnya di akhir pekan. Apalagi kata Fitri yang datang seorang wanita.
"Biar aku saja," sahut Rudi gugup. Membuat istri dan ibunya menatapnya penuh selidik.
"Kamu lanjutin makan, biar aku yang keluar," sahut Rudi. Lelaki itu berusaha mati-matian agar terlihat biasa saja. Sementara Ambar memilih tak acuh. Jika benar firasatnya, dia tak menjamin bisa mengontrol emosinya pada perempuan jalang tersebut. Sikap dingin Ambar membuat Rahayu yakin, jika ada yang tak beres dengan hubungan mereka. Namun, wanita paruh baya itu memilih bungkam, menunggu sampai salah satu dari mereka membuka pembicaraan."Bunda, aku sudah selesai. Temani aku yuk," pinta Alif diluar kebiasaannya. Ambar menatap buah hatinya itu dengan tatapan sendu. "Ok, Mbak Fitri. Tolong nanti dibereskan ya. Yuk, salim sama Nenek dulu," sahut Ambar sambil tersenyum, sementara tangannya mengelus rambut putranya.Bocah itu menurut, dia meraih tangan keriput sang nenek, lalu menciumnya dengan takzim. "Alif udah ngantuk?" tanya Rahayu sebelum melepaskan tangan mungil cucunya. Alif hanya mengangguk mengiyakan."Waktunya tidur siang, Bu," ucap Ambar dengan suara pelan.Tak ada tegur atau t
"Keluarga Bu Rahayu," panggil seorang perawat, wanita yang memakai seragam putih-putih itu berdiri di bibir pintu sambil membawa map. Wanita berkulit bersih itu tersenyum ketika aku mendekat."Mari silahkan ikut saya, Bu," pinta perawat tadi pada Ambar. Tanpa banyak bicara Ambar pun mengikuti langkah sang perawat. Bunyi sepatu pantofel yang dipakai perawat memecah keheningan diantara mereka di sepanjang koridor rumah sakit."Silakan, Bu," ucap perawat itu setelah membuka pintu sebuah ruangan. Ambar tersenyum sebagai rasa terima kasih."Permisi, Dok. Ini hasil pemeriksaan pasien yang di ruang ICU, dan ibu ini keluarganya." Setelah menyerahkan map pada sang dokter, perawat itu pun mengundurkan diri.Dokter paruh baya itu tengah meneliti catatan medis yang dibawakan perawat tadi. Setelah itu terdengar helaan napasnya, tanpa sadar Ambar juga melakukan hal yang sama. Wanita itu khawatir jika terjadi hal buruk pada mertuanya."Bu Rahayu sudah sadar ya, Bu. Dari hasil pemeriksaan, semuanya t
Flashback "Mas, ayo," panggil Santi yang baru saja masuk ke kamar Rudi. Wanita bertubuh seksi yang bekerja sebagai asisten manajer itu tak sabar ingin segera meneguk madu bersama kekasihnya tersebut.Rudi masih sibuk dengan ponselnya setelah melakukan video call dengan sang putra, lelaki itu melirik Santi sekilas, kemudian menyimpan ponselnya di meja tanpa mengakhiri panggilan karena sudah tergiur ingin meneguk kenikmatan yang akan diberikan Santi. Senyum kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu mengembang, mereka sama-sama mendamba kenikmatan surga dunia, walaupun mereka sadar kalau semua itu salah. ..Rudi seorang suami sekaligus ayah, memilih menyerah setelah sekian purnama bertahan dari godaan sang bawahan. Kenikmatan yang ditawarkan Santi kini menjadi candu, hingga dia melupakan segalanya. Sepuluh bulan yang lalu dia ditugaskan di kantor cabang baru sebagai manajer pemasaran, sekaligus sebagai promosi kenaikan jabatan. Lelaki itu dipandang layak karena memiliki sikap tangg
Rudi membernarkan posisinya."Buat apa ikut?" tanya Rudi sambil mencium keningnya."Aku gak bisa lama-lama pisah denganmu, Mas," ujarnya beralasan. Suaranya terdengar manja di telinga Rudi. Membuat lelaki itu gemas dan kembali memberinya sebuah ciuman."Hanya dua hari, Sayang," sahutnya, kali ini lelaki itu mencium rambut Santi yang mengeluarkan aroma wangi shampoo."Lama, Mas. Aku gak bisa jauh-jauh darimu," ucapnya. "Pasti nanti kamu menghabiskan waktu dengan wanita bau bawang itu.""Dia kan istriku, Sayang. Nanti kalau aku tak memanjakannya, dia malah curiga," sahut Rudi sambil menowel hidung Santi karena gemas...Pagi-pagi Rudi dan Santi siap untuk bekerja. Mereka sarapan sambil bercanda gurau, terkadang juga membahas tentang masa depan mereka, benar-benar seperti pasangan halal yang bahagia.Setelah selesai Santi berangkat terlebih dulu, agar tak menimbulkan kecurigaan dari rekan kerjanya. Untuk saat ini memang belum ada yang tahu karena mereka sangat pandai menyembunyikan hubun
Hampir setiap bersama, kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu melakukan penyatuan, tak ada kata lelah bagi keduanya. Seolah benar adanya, jika kesalahan itu dilakukan maka akan mendapatkan sensasi yang berbeda."Terima kasih, Sayang," ucap Rudi sambil mencium pucuk kepala Santi. Setelah raganya merasakan kelelahan yang luar biasa karena dipaksa bekerja menuruti hasratnya."Apa sih nggak buat kamu, Mas, yang penting kamu bahagia," sahut Santi sambil tersenyum menggoda. Dengan Rudi gadis bukan perawan itu mempunyai perasaan lebih. Tak seperti lelaki yang sempat singgah di hidupnya, yang hanya dimanfaatkan hartanya saja."Kamu memang paling mengerti diriku, Sayang," balas Rudi. Setelah itu lelaki itu memejamkan matanya dengan bibir mengulas senyum kepuasan. Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran halus dari bibir tipisnya. Santi tersenyum, baginya wajah itu tak pernah membosankan, semakin dipandang semakin membuatnya terpesona.Besok Rudi akan pulang, menemui anak dan istrinya. Me
Kerasnya kehidupan yang dulu dialami Santi, membuatnya menghalalkan segala cara agar keinginannya bisa tercapai. Santi terjebak dalam pergaulan bebas. Gadis itu sudah berpetualang dalam dekapan lelaki hidung belang sedari memasuki bangku SMA. Santi muda sempat berpikir untuk mengakhiri pekerjaannya. Namun, keadaan ekonomi orang tuanya yang pas-pasan tak bisa memenuhi keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke bangku kuliah. Hingga dia kembali menjadi wanita panggilan.Dengan tekad yang kuat, dia pamit kepada orang tuanya untuk menempuh pendidikan di kota. Banyaknya tuntutan gaya hidup membuatnya tak bisa melepaskan diri dari lembah hitam kenistaan. Namun, ada satu hal yang bisa dibanggakan darinya, Santi tetap berhasil menamatkan kuliahnya walaupun dengan sedikit sogokan pada dosen pembimbingnya. Dengan kemolekan tubuhnya.Selepas kuliah Santi langsung bekerja sebagai asisten manajer di sebuah kantor. Sesekali dia masih menerima panggilan jika memasuki akhir bulan. Gajinya yang tak
Ambar masih bertahan di dalam taksi, menunggu kira-kira apa yang akan terjadi. Firasatnya mengatakan kalau dia adalah wanita yang berada di video itu. Namun, Ambar tak mau gegabah, ibunya Alif itu mengamati gerak-gerik sang wanita yang masih berdiri di depan dengan membawa sebuah bungkusan di tangan kirinya.Pintu rumah terbuka, Rudi terlihat keluar sambil menggendong Alif. Seketika Ambar menjadi emosi. Namun, dia mengurungkan niatnya untuk turun setelah melihat Rudi membuka pagar. "Hallo, Alif," sapa Santi. Namun, bocah berambut ikal itu terlihat cuek bahkan memundurkan tubuhnya ketika hendak dicium Santi. Alif juga diam saja ketika Santi memberikan bingkisan yang sedari tadi dipegangnya."Ini Tante bawain mainan buat Alif. Diterima dong, Nak ganteng," ranyunya. Mendengar kata mainan bocah itu tampak tertarik, dia terlihat mencondongkan badannya. Namun, tiba-tiba dia kembali mundur."Nggak pa-pa, Sayang. Ini ambil gih," rayunya lagi. Kali ini Alif malah menyembunyikan wajahnya di be
Ambar masih terpaku di tempatnya sambil menatap ponsel yang sudah tak berbentuk. Perlahan wanita berambut ikal itu menunduk lalu mengambil pecahan ponsel tersebut. Dengan sangat menyesal dia berjalan ke arah taksi yang masih setia menunggunya."Bapak, maaf. Ponsel bapak rusak. Em, gini sekarang tolong antar saya ke ATM terdekat, setelah itu kita ke counter untuk beli ponsel baru. Em, Bapak masih ingat email-nya kan?" tanya Ambar panjang lebar, wanita yang suka dengan warna merah hati itu benar-benar merasa bersalah."Wah, saya nggak tahu kalau urusan itu, Bu. Anak saya yang ngotak-ngatik itu," sahutnya polos."Oh, ya udah kalau gitu. Sekarang kita langsung ke ATM ya, Pak. Terus beli ponsel untuk bapak. Semoga saja anaknya ndak lupa sama email-nya ya, Pak.""Iya, Bu. Gak pa-pa. Ibu gak usah khawatir. Saya yang minta maaf, karena ponselnya rusak jadi gak punya barang bukti.""Kok malah bapak yang minta maaf," sahut Ambar yang masih merasa tak enak hati. Setelah itu Ambar dan Pak supir t