BAB 4
"Apa maksudnya, sih?" tanyaku.
Wajah cantik istriku seketika menegang, terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Mengapa ia sekaget itu, pikirku.
"Kenapa, Sayang?" ulangku, merangkul bahunya, hingga menempel ke dadaku.
"Eu ... itu, Mas. Ini, tuh ... sebentar," jawabnya terputus-putus. Kulihat ibu jari dan telunjuknya mencubit layar ponsel, hingga foto yang sore tadi kulihat membesar.
"Apa, Mas curiga padaku?" tanyanya dengan tatapan mengiba.
"Emm ... sedikit." Aku sengaja bercanda, ingin tahu saja reaksinya.
"Ya ampun, Mas. Lihat! Aku gak mungkin pergi pakai baju seksi begini," cebiknya, menunjukkan kaki mulus dari foto itu.
"Iya juga, sih. Tapi lihat, Sayang. Dresnya mirip punyamu," ujarku, menunjuk dres yang dikenakan wanita dalam foto itu.
Puk! Ia menjauh dan menepuk lenganku, hingga aku mengaduh dan mengusapnya.
"Baju kayak gini, tuh, banyak di mal. Mas kira aku ini istri presiden, yang bajunya dipesan dan dijahit khusus."
Seketika aku tergelak. Melihat matanya melotot seperti itu, membuatku semakin gemas dan ingin segera mengajaknya pulang.
"Tapi perawakannya dari belakang gini, persis kamu, sih!" tukasku, berusaha berbicara jujur.
"Ish, bukanlah. Dia langsing begitu."
"Kamu juga singset. Hanya ini saja yang terlihat sedikit maju," ucapku, mengusap perutnya yang terlihat lebih padat dan bulat.
Yulia menepis tanganku dengan halus, tersenyum kaku ke arahku.
"Terus, itu maksud Siska apa? Kok, kirim ke kamu, seolah-olah kamu yang ada dalam foto itu." Aku kembali menetralisir desakan yang terasa. Bertanya sesuatu yang menurutku penting. Karena jujur saja, jiwa mudaku seolah bangkit setelah mengusap perutnya.
"Emm, anu. Dia salah kirim. Iya, salah kirim, Mas. Padahal kita obik bareng. Masa, dia nge-chat aku begitu." Kulihat wajahnya kembali canggung, gugup dan seperti tengah menutupi sesuatu.
Aku tak merespon. Menatapnya keheranan, karena menurutku tidak masuk akal.
"Teman kita itu, ada yang namanya Yuli juga. Gak pake A. Nah, dia itu lagi hamil dan udah gak pernah lagi datang obik. Tujuan Siska, mau chat ke si Yuli itu. Eh, malah terkirim ke aku." Yulia menjelaskan, kemudian terkekeh di ujung kalimat.
Cukup masuk akal, meskipun seharusnya Siska bisa membedakannya dari foto profil, sebelum mengirim foto itu.
Meski tetap terlihat menggemaskan, namun aku merasa ada yang janggal. Apa yang Yulia tutupi dariku.
"Andai aku juga bisa hamil, ya, Mas." Wanitaku menunduk sendu. Tentu saja aku tak kuasa melihatnya.
"Sayang ... Sudah, jangan jadi beban pikiran. Bebaskan saja pikiranmu, supaya gak stres." Aku segera merangkulnya lagi, memberikan ketenangan yang tentu saja tengah ia butuhkan.
"Iya, Mas. Tapi, misalkan aku hamil, apa Mas tetap bahagia?" tanyanya, mendongak ke arahku.
"Tentu saja. Selagi dia anak Mas," jawabku pasti.
Wanitaku menunduk dalam dekapanku. Terasa cairan hangat mengenai kemeja yang kukenakan. Dia menangis. Gegas kusapu air matanya dengan tangan ini.
"Jangan nangis," pintaku, membingkai wajahnya.
"Kita pulang, ya, Mas."
Sebetulnya masih ada yang ingin kutanyakan. Tentang nama temannya yang hampir sama dengan nama studio aerobiknya. Namun aku tak tega melihat wajah lelah dengan sedikit sembabnya itu. Kugamit tangannya, agar segera bangun dari duduk. Kami berjalan berdampingan menuju anak tangga.
Karena tangganya tak begitu besar, kami harus menunggu orang yang tengah naik sampai ke atas lebih dulu.
Kulihat dua orang yang naik, sepertinya pasangan yang cukup harmonis. Si wanita memeluk pinggang lelakinya, sementara lelakinya merangkul bahu si wanita. Aku jadi iri. Gegas kurangkul bahu istriku, menirukan gaya pasangan kulihat.
"Mas!" Yulia menepisnya. Aku terheran melihat raut marah di wajahnya.
Mengapa ia sampai marah. Apa salah, jika aku merangkul istriku sendiri? Pertanyaan itu hanya mampu kukatakan di dalam hati.
Yulia melirik pasangan yang baru sampai ke atas tadi, menatapnya tajam. Terlihat dari ekor mataku, laki-laki yang tengah merangkul pasangannya itu pun melirik Yulia. Entah aku salah lihat, atau memang seperti itu, karena penerangannya memang sengaja dibuat remang.
"Kenapa?" tanyaku.
"Susah, lah. Masa, turun tangga harus gandengan. Sendiri-sendiri saja," tukasnya terdengar marah. Ia lantas menuruni anak tangga di hadapan kami, sedikit tergesa-gesa.
"Yul, tunggu, Yul. Jangan buru-buru, bahaya!" Aku mengejarnya, melakukan hal yang sama dengannya.
Sesampainya di bawah, Yulia terduduk di teras halaman resto. Ia menutupi wajahnya yang terlihat tersedu, dengan kedua tangannya.
"Lho, kok, nangis?" Kudepak tubuhnya, namun ia menolak dengan cara mendorongku.
Ada apa, Yulia? tanyaku di dalam hati.
"Aku capek! Aku pusing! Mas gak mau aku stres, bukan?" tanyanya setelah mengatakan keluhannya.
Dan aku hanya mengangguk, menanggapi.
"Kita pulang sekarang! Aku mau tidur saja," ajaknya, lantas segera masuk ke dalam mobil yang tak jauh kuparkir.
Tak ada yang bisa kulakukan, selain menurutinya. Saat ini hatinya mungkin tengah tidak stabil, gara-gara pembahasan hamil tadi. Ya, sudah. Lagipula sudah malam.
Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam. Kulirik Yulia yang betul-betul terlihat badmood, sesekali mengusap wajahnya. Kalau sudah begini, alamat jatahku malam ini gagal total.
Apa, sih, yang kamu pikirkan? Sampai tiba-tiba kamu segalau itu, batinku.
Dan benar saja. Sesampainya di rumah, ia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Aku juga yang harus merapikan sepatunya, karena ia tak mau sepatu-sepatu mahalnya terkena debu jika dibiarkan berada di luar.
**
Aku sudah melaksanakan shalat isya di kamar sebelah, lalu menyusulnya ke kamar utama. Wanitaku sudah terlelap dengan masih mengenakan pakaian dan hijab yang sama. Tasnya bahkan masih teronggok di atas kasur, belum ia taruh ke tempatnya.
Kuraih benda berukuran sedang itu, hendak menaruhnya ke dalam lemari khusuh tas. Tapi aku ingat, ponsel dan dompetnya masih ada di dalam tas.
Kuambil terlebih dahulu dua buah benda di dalam tas itu, lalu menaruhnya ke atas nakas. Tapi ponsel Yulia menyala tanda daya baterai hampir habis.
"Ponselmu saja Mas yang charge. Masa, kamu enggak," gumamku, meraih benda pipih itu kembali.
Sekilas tampak sebuah tanda pesan chat dari layar ponsel yang menyala itu. Penasaran, aku membukanya.
Pesan dari Evani. Evani lagi? tanyaku membatin.
[Maafkan aku.]
Apa maksudnya?
Siapa sebenarnya Evani? Dan mengapa ucapannya dalam pesan terdengar ambigu. Kebetulan juga, sikap Yulia tiba-tiba berubah, seperti telah terjadi sesuatu. Apa perubahan sikap Yulia ada kaitannya dengan permintaan maaf Evani?
Ibu jariku terasa gatal ingin membalasnya. Tentu saja tanpa mengatakan bahwa aku suaminya, yang membalas.
[Maaf, untuk?]
[Yang baru saja kamu lihat.]
Yang mana, maksudnya? Aku lagi-lagi hanya membatin. Duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan tangan kiri memeluk Yulia. Mataku awas memerhatikan Yulia yang bisa saja terjaga. Kali ini, jangan sampai ia tahu aku membalaskan pesan chat yang masuk ke ponselnya.
Menurutku ada sesuatu yang disembunyikan oleh Yulia. Dan aku harus mencaritahu sendiri.
[Aku enggak lihat apa-apa,] balasku. Berlagak polos saja dulu, karena aku tidak tahu harus menjawab apa.
[Tidak mungkin. Aku melihat sendiri kau lari. Lain kali hati-hati. Jaga kandunganmu,] balas Evani, sontak membuat mataku membulat sempurna.
BAB 5[Tidak mungkin. Aku melihat sendiri kau lari. Lain kali hati-hati. Jaga kandunganmu,] balas Evani, sontak membuat mataku membulat sempurna.Sebuah teka-teki memenuhi isi kepalaku. Kutautkan alis, berpikir sejenak untuk mencerna kalimat yang baru saja kubaca. Sekilas melirik ke arah Yulia yang tengah terlelap. Tubuhnya terlentang, menonjolkan sebongkah bulat di perutnya."Kandungan?" gumamku. Kulihat kembali perutnya tidak terlalu tampak saat tengah terlentang. Namun tetap berbeda dari biasanya. Jika kuperhatikan, tidak seperti lemak yang biasanya akan menggelambir ke samping, jika posisinya seperti itu.Apa maksud Evani? tanyaku di dalam hati.Jangan-jangan, Yulia hamil?Ah, tidak mungkin. Jika benar, sudah pasti aku adalah orang pertama yang mengetahuinya.Yulia bergerak miring ke arahku. Gegas kuhapus jejak percakapan dengan temannya yang belum kukenal itu."Mas, ngapain?" tanyanya, mengerjapkan mata yang belum terbuka sepenuhnya."Bersih-bersih dulu, sana. Ganti baju, habis i
Mengapa Yulia terlihat ketakutan setelah aku menerima kunci mobilnya. Jelas ada yang ia sembunyikan. Kuamati terus gerak-geriknya, sambil menghampiri mobil di sebelahnya."Mas. Maksud aku ... itu, di dalam ada barang-barang punya Evani, Siska dan Audy. Ya, rencananya siang ini mau aku antar ke mereka." Tanpa kuminta, Yulia menjelaskannya."Oh. Barang apa?" tanyaku, menatapnya serius."Biasalah. Barang-barang wanita. Kamu inget, 'kan kemarin kita habis belanja-belanja," ucapnya seraya tersenyum kaku.Kali ini jelas terlihat raut wajahnya yang berbeda. Ada ketakutan mendalam dari sorot mata indahnya. Sepertinya benar dugaanku."Barang apa, Yulia? Jangan muter-muter!" tukasku sinis. Aku sangat jarang memanggil namanya. Hanya saat emosi saja."Dal*man, Mas. Lingerie, yang suka aku pakai kalo malam," jawabnya sedikit berbisik."Oh. Kirain barang apaan. Mas udah ngira ke obat-obatan terlarang," ungkapku sedikit terkekeh. Kulihat dari ekor mataku, Yulia tersenyum tenang. Tapi aku tidak perca
Sebuah benda kecil memanjang, bertuliskan nama merek di atasnya, lantas terdapat pula dua buah garis berwarna merah di bawahnya.Aku ingat. Ini test pack yang pernah Yulia gunakan beberapa tahun lalu, saat kami mengira dirinya hamil karena terlambat datang bulan. Hanya saja, test pack yang ia gunakan saat itu hanya muncul satu garis merah. Itu artinya, test pack yang saat ini kupegang menunjukkan penggunanya positif hamil."Kamu hamil?" tanyaku lirih, menatapnya penuh haru."Bukan milikku, Mas," jawab Yulia, tertunduk lesu."Oh, ya? Tapi Mas merasa, kamu memang hamil." Tetesan embun sedikit membasahi wajahku, namun aku terus tersenyum ke arahnya."Enggak, Mas." Yulia menggeleng pasti "Kita periksa sekarang, untuk membuktikanya. Ya?" ajakku, sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi."Enggak. Aku memang gak hamil," tukasnya sambil memegangi perutnya yang terbungkus sebuah midi dres yang panjangnya hanya sampai betis."Tapi Mas yakin, di dalam sini ada malaikat kecil." Aku be
PoV Author"Mengapa Ibu tidak periksa, sejak awal ketahuan hamil?" tegur dokter pada Yulia."Saya masih ragu, Dok. Kebetulan, sudah beberapa kali kecewa oleh alat tes kehamilan sebelum-sebelumnya. Jadi, ketika mendapat garis dua, saya memilih untuk tidak terlalu peduli." Yulia menjawab bohong. Ia sengaja memilih rumah sakit yang belum pernah didatanginya.Sejak dua bulan lebih yang lalu, dirinya melakukan tes kehamilan. Dan seketika itu pula, ia memberitahukan pada kekasih gelapnya dan rutin memeriksakan kandungannya setiap bulan. Terhitung sudah tiga kali dirinya periksa bersama pria itu. Dan yang terakhir adalah ketika suami Siska menangkap gambarnya dari belakang."Setidaknya, beritahu aku, suamimu." Wajah Raffa tampak tak baik-baik saja. Bukannya bahagia, ia malah berpikir ke segala arah tentang kehamilan istrinya yang ia anggap janggal."Mas, kamu marah padaku?" tanya Yulia dengan wajah sendu."Apa bayinya sehat, Dok?" tanya Raffa, tak mempedulikan rengekan istrinya."Alhamdulill
PoV Author"Apa, suamimu yang balas chatku?" tebak Evano."Ya Allah. Bagaimana ini?" Wajah cantik Yulia berbias ketakutan. Ia telihat sangat panik, takut suaminya sudah mengetahui semuanya.Wanita itu lantas mengatakan pada Evano, tentang chat dari Siska yang mengirim foto mereka saat di rumah sakit pagi itu."Ceroboh! Aku sudah bilang, bercerai dengan cara yang anggun, agar kamu mendapat banyak bagian dari suamimu!" omel Evano.~~Sementara di tempat lain, Raffa tengah memantau incarannya. Ia sudah menyuruh orang untuk memata-matai istrinya, serta mencari info tentang alamat studio aerobik yang biasa Yulia datangi.Tak hanya itu, Raffa juga telah melacak nomor telepon dua kontak yang ia dapat dari ponsel Yulia. Siska dan Evani.Meski terus berpikir positif, bayangan hal buruk yang diperbuat istrinya tetap saja menghantui pikirannya. Ia tak akan tenang, sebelum membuktikan semua yang pernah diucapkan istrinya.Sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Target berada tak jauh dari rumah sakit B
Terik matahari terasa membakar kulit. Aku harus menyusuri jalanan untuk sampai di kafe terdekat, hendak bertemu dengan klien. Mobilku sudah dijemput oleh pihak bengkel langganan, untuk diperbaiki.Karena jarak kantor dengan kafe tersebut tidak begitu jauh, aku pun cukup berjalan kaki saja. Kulirik jam di pergelangan tangan, khawatir klien sudah menunggu di sana. Kebetulan aku sendiri, karena sekertarisku sedang cuti.Di depan kafe, aku tak sengaja menabrak seorang pramusaji. Minumam berwarna orange yang dibawanya tumpah mengenai kemejaku."Maaf, Pak, saya gak sengaja." Pramusaji itu meminta maaf, mengelap kemejaku dengan celemeknya."Gak pa-pa. Sudah, biarkan saja. Lagipula, ini salah saya juga terlalu buru-buru."Ah, si*l. Bagaimana aku bisa bertemu klien jika pakaianku basah seperti ini. Aku menggerutu di dalam hati. Tiba-tiba seorang wanita mendekat ke arahku."Mas Raffa?" tegurnya.Aku mendongak, meliriknya sekilas dan kembali fokus pada kemejaku. Tapi saat melihatnya sekilas tadi
Pria yang datang untuk menyaksikan sendiri perbuatan sang istri, mendapat kabar dari orang suruhannya, tentang keberadaan sang istri.'Aku tidak akan masuk dan merusak pesta kalian. Tapi, lihat saja nanti!' batin pria itu, melangkah pergi dari depan pintu apartement itu.Sang pria yang tengah merasa frustasi itu memilih pergi ke suatu tempat yang ia rasa adalah tempat yang patut didatangi, untuk mencari bukti lain.Ia mendatangi studio aerobik tempat istrinya biasa datangi."Permisi, saya mencari Yulia. Apa ada yang mengenalnya?" tanya pria itu, yang tak lain adalah Raffa."Yulia? Emm ... kami gak kenal. Beda jadwal, mungkin." Seorang wanita menjawab dengan suara terbata."Oh. Kalau begitu, saya mau bertemu dengan pemilik studio ini.""Apa? Eu, itu. Pemiliknya sedang pergi liburan ke luar kota, katanya." Wanita yang tadi menjawab, semakin bergetar mendengar pertanyaan pria di hadapannya. Tanpa disebutkan, wanita itu bisa menebak bahwa pria di hadapannya adalah suami Yulia."Oh, terima
Hingga larut malam, Raffa enggan pulang ke rumah. Ia tak ingin bertemu dengan Yulia, karena takut tidak mampu menahan emosinya.Meski dirinya marah, ia tidak ingin sampai melukai wanita yang telah dinikahinya selama sembilan tahun.Raffa tertidur di atas kursi dan meja kerjanya, setelah memandangi foto pernikahan mereka yang terpajang di atas meja.Menjelang subuh ia terjaga, menyalakan layar ponsel untuk melihat jam karena lampu ruang kerjanya sudah ia matikan sejak semalam.Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Yulia. Juga banyak chat yang wanita itu kirim.[Mas, kok, belum pulang?][Ini sudah malam sekali.][Kamu di mana, Mas?][Apa aku ada salah?][Sudah kubelikan kemejanya, langsung kucuci. Besok pagi kusetrika, supaya bisa kamu pakai (Disertakan sebuah foto kemeja)][Apa kamu lembur? Tolong angkat telfonku, aku khawatir.][Sudah lewat tengah malam. Aku takut sendirian.][Mas, ada apa? Mengapa tidak angkat telfonku?]Raffa tak bereaksi apa-apa. Ia kecewa luar biasa pada istri