Sebuah benda kecil memanjang, bertuliskan nama merek di atasnya, lantas terdapat pula dua buah garis berwarna merah di bawahnya.
Aku ingat. Ini test pack yang pernah Yulia gunakan beberapa tahun lalu, saat kami mengira dirinya hamil karena terlambat datang bulan. Hanya saja, test pack yang ia gunakan saat itu hanya muncul satu garis merah. Itu artinya, test pack yang saat ini kupegang menunjukkan penggunanya positif hamil.
"Kamu hamil?" tanyaku lirih, menatapnya penuh haru.
"Bukan milikku, Mas," jawab Yulia, tertunduk lesu.
"Oh, ya? Tapi Mas merasa, kamu memang hamil." Tetesan embun sedikit membasahi wajahku, namun aku terus tersenyum ke arahnya.
"Enggak, Mas." Yulia menggeleng pasti
"Kita periksa sekarang, untuk membuktikanya. Ya?" ajakku, sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Enggak. Aku memang gak hamil," tukasnya sambil memegangi perutnya yang terbungkus sebuah midi dres yang panjangnya hanya sampai betis.
"Tapi Mas yakin, di dalam sini ada malaikat kecil." Aku berjongkok dan memeluk perutnya, menempelkan pada telingaku.
Keharuan menyeruak di dalam kalbu, meski aku belum membuktikan bahwa Yulia benar-benar hamil.
"Kita ke dokter sekarang, ya," ajakku lagi, mengajaknya masuk ke dalam mobil. Biarlah kali ini aku sedikit memaksa.
"Aku memang hamil, Mas," ucap Yulia. Tatapannya lurus ke depan, tak berani menatapku sedikitpun.
Seketika jantungku berhenti berdetak, seluruh persendianku terasa lepas. Jadi benar, istriku hamil.
"Jadi, ini memang milikmu?" tanyaku, mengacungkan test pack tadi.
Yulia mengangguk, tersenyum gembira ke arahku, dengan deraian basah di wajahnya.
"Ya Allah, Sayang. Akhirnya, kita akan menjadi orang tua." Dengan hangat, kupeluk tubuhnya. Aku tak menyangka, di tahun ke sembilan Allah mengirimkan anugerah ke dalam rahim istriku.
"Mengapa tidak bilang?" Kuurai pelukan, beralih pada kedua pipinya.
"Aku sendiri belum yakin, Mas. Selama ini, tanpa sepengetahuan Mas Raffa, aku sering menggunakan alat ini setiap kali terlambat datang bulan."
"Dan kali ini berhasil. Harusnya langsung melapor pada Mas." Kujawil pipi meronanya.
"Takutnya tidak benar dan Mas akan kecewa." Bibir ranum itu mencebik manja, membuatku kian tak sanggup menahan keterpanaan ini.
"Tidak akan, Sayang. Oh, ya, apa test pack ini sudah lama kamu gunakan?" tanyaku lagi.
"Dua bulan setengah yang lalu, Mas," jawabnya.
Apa? Sudah dua bulan lebih Yulia tidak berkata jujur padaku. Pantas saja perutnya terlihat padat dan membulat. Anak kami di dalam rahimnya, pasti sudah tumbuh besar, pikirku.
"Sudah periksa?" tanyaku dengan tatapan penuh selidik.
Yulia menggeleng. Bibirnya sedikit melengkung ke bawah.
"Ya Allah. Kita ke dokter sekarang!" ajakku, kali ini aku benar-benar tidak ingin dibantah.
Akhirnya Yulia pun mengangguk. "Aku ambil tas dan pakai celana rangkapan dulu, ya." Wanitaku masuk ke dalam rumah untuk merapikan penampilannya.
Biarlah urusan pekerjaan bisa nanti saja. Yang terpenting saat ini adalah kesehatan bayiku. Bayi kami. Ya Allah, aku sangat bahagia dengan kabar kehamilan ini. Akhirnya, setelah penantian kami sekian lamanya, Kau ijabah doa-doa yang tak pernah terlupa.
Kuraih ponsel di dalam saku kemejaku, hendak mengabari sekretaris agar menggantikanku, meeting hari ini.
"Ya, ada urusan penting. Tolong kamu handle semuanya, oke?" tanyaku pada sekretarisku.
"Siap, Pak!"
Aku yakin, gadis itu bisa diandalkan.
Namun saat aku tengah menelepon, terdengar samar-samar ucapan Yulia. Kalau tidak salah seperti ini, "Jangan ganggu aku lagi."
Siapa yang Yulia ajak bicara? Mungkin hanya perasaanku saja.
Selesai menelepon, rupanya Yulia tengah berjalan ke arahku. Aku dapat melihat kedatangannya dari ekor mataku.
"Jangan buru-buru! Santai saja." Kutegur dirinya. Aku tak suka melihatnya berjalan setengah berlari. Takutnya, akan berbahaya pada kehamilannya.
"Apa tadi kamu bicara?" tanyaku, ketika kami sudah saling berhadapan.
"Enggak. Mas salah dengar, mungkin." Sekali lagi aku melihat kegalauan di matanya. Ah, masa bodoh. Yang terpenting sekarang, hanya kehamilan Yulia dan perbaikan hubungan kami.
Kubukakan pintu mobil untuknya, lalu duduk di kursi kemudi setelah wanita cantikku sudah duduk dengan nyaman. Kulajukan kendaraan milik Yulia dengan perlahan, lagi-lagi khawatir mengganggu kehamilannya.
Tiba-tiba saja bayangan tentang chat dari Siska dan Evani kembali berputar. Apa hubungannya chat itu dengan kehamilan Yulia?
**
Kami sampai di rumah sakit. Menunggu beberapa waktu, hingga tiba giliran kami dipanggil oleh seorang perawat, agar segera masuk ke dalam ruang pemeriksaan dokter kandungan.
"Selamat ya, Pak, Bu. Ibu Yulia memang hamil. Bahkan usia kehamilannya sudah menginjak 15 minggu. Sudah besar," tutur seorang dokter kandungan bernama Destyna.
"15 minggu? Berati, hampir 4 bulan?" tanyaku pada dokter wanita itu. Selain terkejut, aku juga merasa tidak percaya jika kehamilan Yulia sudah sebesar itu.
Bagaimana mungkin Yulia menyembunyikan ini dariku, selama ini? 15 minggu kehamilannya, tentu bukan hal yang mudah untuk menutupi semua ini. Aku membatin, berpikir dalam-dalam tentang alasanya menutupi ini dariku. Kulirik wanita cantikku, mencari jawab atas ribuan tanya yang bergelayut di kepala.
PoV Author"Mengapa Ibu tidak periksa, sejak awal ketahuan hamil?" tegur dokter pada Yulia."Saya masih ragu, Dok. Kebetulan, sudah beberapa kali kecewa oleh alat tes kehamilan sebelum-sebelumnya. Jadi, ketika mendapat garis dua, saya memilih untuk tidak terlalu peduli." Yulia menjawab bohong. Ia sengaja memilih rumah sakit yang belum pernah didatanginya.Sejak dua bulan lebih yang lalu, dirinya melakukan tes kehamilan. Dan seketika itu pula, ia memberitahukan pada kekasih gelapnya dan rutin memeriksakan kandungannya setiap bulan. Terhitung sudah tiga kali dirinya periksa bersama pria itu. Dan yang terakhir adalah ketika suami Siska menangkap gambarnya dari belakang."Setidaknya, beritahu aku, suamimu." Wajah Raffa tampak tak baik-baik saja. Bukannya bahagia, ia malah berpikir ke segala arah tentang kehamilan istrinya yang ia anggap janggal."Mas, kamu marah padaku?" tanya Yulia dengan wajah sendu."Apa bayinya sehat, Dok?" tanya Raffa, tak mempedulikan rengekan istrinya."Alhamdulill
PoV Author"Apa, suamimu yang balas chatku?" tebak Evano."Ya Allah. Bagaimana ini?" Wajah cantik Yulia berbias ketakutan. Ia telihat sangat panik, takut suaminya sudah mengetahui semuanya.Wanita itu lantas mengatakan pada Evano, tentang chat dari Siska yang mengirim foto mereka saat di rumah sakit pagi itu."Ceroboh! Aku sudah bilang, bercerai dengan cara yang anggun, agar kamu mendapat banyak bagian dari suamimu!" omel Evano.~~Sementara di tempat lain, Raffa tengah memantau incarannya. Ia sudah menyuruh orang untuk memata-matai istrinya, serta mencari info tentang alamat studio aerobik yang biasa Yulia datangi.Tak hanya itu, Raffa juga telah melacak nomor telepon dua kontak yang ia dapat dari ponsel Yulia. Siska dan Evani.Meski terus berpikir positif, bayangan hal buruk yang diperbuat istrinya tetap saja menghantui pikirannya. Ia tak akan tenang, sebelum membuktikan semua yang pernah diucapkan istrinya.Sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Target berada tak jauh dari rumah sakit B
Terik matahari terasa membakar kulit. Aku harus menyusuri jalanan untuk sampai di kafe terdekat, hendak bertemu dengan klien. Mobilku sudah dijemput oleh pihak bengkel langganan, untuk diperbaiki.Karena jarak kantor dengan kafe tersebut tidak begitu jauh, aku pun cukup berjalan kaki saja. Kulirik jam di pergelangan tangan, khawatir klien sudah menunggu di sana. Kebetulan aku sendiri, karena sekertarisku sedang cuti.Di depan kafe, aku tak sengaja menabrak seorang pramusaji. Minumam berwarna orange yang dibawanya tumpah mengenai kemejaku."Maaf, Pak, saya gak sengaja." Pramusaji itu meminta maaf, mengelap kemejaku dengan celemeknya."Gak pa-pa. Sudah, biarkan saja. Lagipula, ini salah saya juga terlalu buru-buru."Ah, si*l. Bagaimana aku bisa bertemu klien jika pakaianku basah seperti ini. Aku menggerutu di dalam hati. Tiba-tiba seorang wanita mendekat ke arahku."Mas Raffa?" tegurnya.Aku mendongak, meliriknya sekilas dan kembali fokus pada kemejaku. Tapi saat melihatnya sekilas tadi
Pria yang datang untuk menyaksikan sendiri perbuatan sang istri, mendapat kabar dari orang suruhannya, tentang keberadaan sang istri.'Aku tidak akan masuk dan merusak pesta kalian. Tapi, lihat saja nanti!' batin pria itu, melangkah pergi dari depan pintu apartement itu.Sang pria yang tengah merasa frustasi itu memilih pergi ke suatu tempat yang ia rasa adalah tempat yang patut didatangi, untuk mencari bukti lain.Ia mendatangi studio aerobik tempat istrinya biasa datangi."Permisi, saya mencari Yulia. Apa ada yang mengenalnya?" tanya pria itu, yang tak lain adalah Raffa."Yulia? Emm ... kami gak kenal. Beda jadwal, mungkin." Seorang wanita menjawab dengan suara terbata."Oh. Kalau begitu, saya mau bertemu dengan pemilik studio ini.""Apa? Eu, itu. Pemiliknya sedang pergi liburan ke luar kota, katanya." Wanita yang tadi menjawab, semakin bergetar mendengar pertanyaan pria di hadapannya. Tanpa disebutkan, wanita itu bisa menebak bahwa pria di hadapannya adalah suami Yulia."Oh, terima
Hingga larut malam, Raffa enggan pulang ke rumah. Ia tak ingin bertemu dengan Yulia, karena takut tidak mampu menahan emosinya.Meski dirinya marah, ia tidak ingin sampai melukai wanita yang telah dinikahinya selama sembilan tahun.Raffa tertidur di atas kursi dan meja kerjanya, setelah memandangi foto pernikahan mereka yang terpajang di atas meja.Menjelang subuh ia terjaga, menyalakan layar ponsel untuk melihat jam karena lampu ruang kerjanya sudah ia matikan sejak semalam.Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Yulia. Juga banyak chat yang wanita itu kirim.[Mas, kok, belum pulang?][Ini sudah malam sekali.][Kamu di mana, Mas?][Apa aku ada salah?][Sudah kubelikan kemejanya, langsung kucuci. Besok pagi kusetrika, supaya bisa kamu pakai (Disertakan sebuah foto kemeja)][Apa kamu lembur? Tolong angkat telfonku, aku khawatir.][Sudah lewat tengah malam. Aku takut sendirian.][Mas, ada apa? Mengapa tidak angkat telfonku?]Raffa tak bereaksi apa-apa. Ia kecewa luar biasa pada istri
Namaku Yulia Kamania, seorang perawat di salah satu rumah sakit ternama di kota ini, tadinya. Sekarang tidak lagi, setelah seorang pria tampan, berkharisma dan mapan melamarku.Ya, Mas Raffa namanya. Dia bukan kekasihku, melainkan sahabat dekat pamanku. Aku sendiri ketika itu sedang dekat dengan seorang pria bernama Ervan Evano, teman kuliahku. Dia sebetulnya adik tingkatku di akademi keperawatan.Mengapa aku lebih memilih menikah dengan Mas Raffa? Tentu saja karena dia jauh lebih dewasa dari Vano, lebih mapan dan sepertinya baik. Evano sendiri belum siap menikah, kala itu.Ternyata penilaianku tidak salah, Mas Raffa benar-benar pria yang baik. Tahun pertama kami menikah, ia masih menjabat sebagai manager di kantornya. Tapi aku tetap bersyukur. Semua gajinya ia berikan padaku, memintaku untuk me-menag semuanya, termasuk biaya sekolah adik-adikku.Tiga tahun berjalan, namun aku tak kunjung hamil. Jujur saja, aku merasa kesepian setiap kali Mas Raffa tengah bekerja. Hanya ponsel dan tel
PoV YuliaEvano ingin menjadi penyumbang pembuahan untuk rahimku."Ayolah, Yulia. Selain kita sama-sama menikmatinya, kamu juga bisa memanfaatkan apa yang kutanam di dalam rahimmu. Siapa tau, kamu bisa hamil olehku. Dan pastinya, suamimu akan sangat bahagia."Kedua kalinya kami melakukan itu, dengan kesadaran penuh dan tentu saja dengan penyesalan yang tak kunjung usai."Aku hamil." Hari itu, aku menunjukkan sebuah alat tes kehamilan pada Evano. Pria itu berjingkrak kegirangan."Aku akan berjuang untuk bisa hidup dengan kalian," katanya. Padahal mulanya, ia tidak berniat seperti itu."Tapi, apa kamu yakin jika bayi ini anakmu?""Tentu saja. Suamimu belum pernah membuahi rahimmu, bukan?""Lalu, apa rencanamu?" Aku sudah tak tahu harus berbuat apa. Aku takut Mas Raffa curiga, jika aku tiba-tiba hamil setelah sembilan tahun tak pernah hamil.Sejak kehamilan itu, Evano semakin menggila. Ia selalu memintanya, lagi dan lagi. Dan bodohnya, aku tidak mampu menolak. Bahkan melakukan pemeriksaa
PoV AuthorSenja menghilir angin sejuk yang terasa menenangkan. Raffa menyusuri jalanan menuju rumahnya, seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana. Tas yang biasanya ia taruh di jok mobil, kini ia sangsangkan pada bahunya.Menatap ke kiri dan kanan jalan, ia merasakan sedikit damai. Terutama ketika melewati sebuah taman, yang ramai dengan anak-anak dan para ibu yang sedang menyuapi anaknya.Raffa sengaja pulang dengan berjalan kaki, karena sebetulnya ia enggan untuk kembali ke rumah. Bayangan wajah pengkhianat seolah membuatnya tak ingin lagi melihat.Namun Raffa memiliki sebuah rencana. Ia hanya tinggal menunggu hasil pemeriksaan kesuburannya di sebuah rumah sakit. Dan setelah hasilnya keluar nanti, ia akan bertindak sesuai dengan hasil pemeriksaan itu.Ada dua pilihan yang akan diambilnya.'Andai kesuburanku baik-baik saja, maka aku akan mengijinkanmu tetap tinggal di rumah kita, sampai bayi itu lahir. Kita akan buktikan nanti, siapa ayah dari bayi itu. Jika pun bayi itu anakku,